Orthosiphon aristatus atau dikenal dengan nama kumis kucing [2] termasuk tanaman dari famili Lamiaceae/Labiatae.[3] Tanaman ini merupakan salah satu tanaman obat asli Indonesia yang mempunyai manfaat dan kegunaan yang cukup banyak dalam menanggulangi berbagai penyakit.[4]

Kumis Kucing
Bunga Kumis Kucing
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Asterid
Ordo: Lamiales
Famili: Lamiaceae
Genus: Orthosiphon
Spesies:
O. aristatus
Nama binomial
Orthosiphon aristatus
(Blume) Miq.
Sinonim[1]
  • Ocimum aristatum Blume
  • Trichostema spirale Lour., rejected name
  • Clerodendrum spicatum Thunb
  • Ocimum grandiflorum Blume 1826 not Lam. 1785
  • Orthosiphon stamineus Benth.
  • Orthosiphon spiralis (Lour.) Merr.
  • Clerodendranthus stamineus (Benth.) Kudô
  • Orthosiphon velteri Doan
  • Orthosiphon spicatus (Thunb.) Backer, Bakh.f. & Steenis 1950 not Benth. 1848
  • Orthosiphon tagawae Murata
  • Clerodendranthus spicatus (Thunb.) C.Y.Wu

Sejarah

sunting

Kumis kucing merupakan tanaman obat berupa tumbuhan berbatang basah yang tegak. Tanaman ini dikenal dengan berbagai istilah seperti: kidney tea plants/java tea (Inggris), giri-giri marah (Sumatera), remujung (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan songot koceng (Madura). Tanaman Kumis kucing berasal dari wilayah Afrika tropis, kemudian menyebar ke wilayah Asia dan Australia.

Nama daerah

sunting

Kumis kucing adalah sebutan dalam bahasa (Melayu hingga Sumatra). Ada juga, kumis ucing (Sunda), remujung (Jawa), se-salaseyan, atau songkot koceng (Madura).

Ciri-ciri

sunting
 
Kumis kucing dalam masa pemekaran bunga

Kumis kucing termasuk terna tegak, pada bagian bawah berakar di bagian buku-bukunya dan tingginya mencapai 2 meter.[4] Batang bersegi empat agak beralur berbulu pendek atau gundul.[4] Helai daun berbentuk bundar atau lonjong, lanset, bundar telur atau belah ketupat yang dimulai dari pangkalnya,[4] ukuran daun panjang 1–10 cm dan lebarnya 7.5mm–1.5 cm. urat daun sepanjang pinggir berbulu tipis atau gundul, di mana kedua permukaan berbintik-bintik karena adanya kelenjar yang jumlahnya sangat banyak, panjang tangkai daun 7–29 cm. Ciri khas tanaman ada pada bagian kelopak bunga berkelenjar, urat dan pangkal berbulu pendek dan jarang sedangkan di bagian yang paling atas gundul. Bunga bibir, mahkota yang bersifat terminal yakni berupa tandan yang keluar dari ujung cabang dengan panjang 7–29 cm, dengan ukuran panjang 13–27mm, di bagian atas ditutupi oleh bulu pendek berwarna ungu dan kemudian menjadi putih, panjang tabung 10–18mm, panjang bibir 4.5–10mm, helai bunga tumpul, bundar. Benang sari ukurannya lebih panjang dari tabung bunga dan melebihi bibir bunga bagian atas. Buah geluk berwarna coklat gelap, panjang 1.75–2mm. 2.3. gagang berbulu pendek dan jarang, panjang 1 mm sampai 6 mm.[4]

Distribusi

sunting

Distribusi kumis kucing yaitu di:[5]

  • asia-Iklim subtropis
  1. Cina: Cina - Fujian, Guangxi, Hainan, Yunnan
  2. Asia Timur: Taiwan
  1. Indo-Cina: Kamboja; Laos; Myanmar; Thailand; Vietnam
  2. Malesia: Indonesia; Malaysia; Papua Nugini; Filipina
  • AUSTRALASIA: Australia: Australia - Queensland

Kegunaan secara empiris

sunting

Daun Kumis kucing basah maupun kering digunakan sebagai menanggulangi berbagai penyakit, Di Indonesia daun yang kering dipakai (simplisia) sebagai obat yang memperlancar pengeluaran air kemih (diuretik) sedangkan di India untuk mengobati reumatik. Masyarakat menggunakan kumis kucing sebagai obat tradisional sebagai upaya penyembuhan batuk encok, masuk angin dan sembelit. Disamping itu daun tanaman ini juga bermanfaat untu pengobatan radang ginjal, batu ginjal, kencing manis, albuminuria, dan penyakit syphilis., reumatik dan menurunkan kadar glukosa darah.[4] Selain bersifat diuretik, kumis kucing juga digunakan sebagai antibakteri.[4]

Metabolomik

sunting

Penelitian mengenai tumbuhan kumis kucing saat ini salah satunya dalah senyawa inhibitor α-Glukosidase dan antioksidan dari kumis kucing yang dilakukan dengan pendekatan metabolomic berbasis FTIR (fourier transform infrared). Senyawa inhibitor ini dapat mengganggu kerja enzim α-Glukosidase dalam memecah karbohidrat menjadi glukosa pada saluran pencernaan sehingga dapat mencegah meningkatnya kadar gula darah yang merupakan penyebab penyakit diabetes. Selain itu juga tanaman kumis kucing kaya akan senyawa antioksidan sehingga tanaman ini berpotensi pula untuk menurunkan risiko komplikasi diabetes akibat stress oksidatif. Dari sejumlah penelitian teridentifikasi 116 senyawa aktif dari tanaman kumis kucing yang berasal dari kelompok monoterpene, diterpene, trirerpena, saponin, flavonoid, minyak atsiri, dan asam organik. Berdasarkan hasil karakterisasi menggunakan FTIR, dan pengujian terhadap kemampuan inhibisi, dan antioksidan didapatkan cukup banyak senyawa yang dapat berperan hanya sebagai inhibitor enzim α-Glukosidase, maupun dapat berfungsi sebagai antioksidan. Hasil dari metode FTIR menangkap adanya senyawa dengan gugus fungsi karbonil, metoksi, hidroksil, dan C-O yang mengindikasikan keberadaan senyawa dari kelompok metoksi flavonoid (sinensitin dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon), diterpene (ortosifol, ortoarisin, neoortotosifol, staminal, dan staminolakton), dan triterpene (asam ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, asam maslinat). Sementara senyawa yang terbukti sebagai antioksidan yaitu senyawa fenolik (asam rosmarinate), flavonoid (eupatorine, sinensetin, 5-hidroksi-6,7,3’,4’-tetranetoksiflavon, salvigenin, 6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon), diterpene (ortosifol, ortoarisin, neoortosifol, staminal, dan staminalakton), triterpene (asam ursolat, asam olenolat, asambetulinat, asam hidrolsibetulinat, asam maslinat, dan amirin).[6]

Agronomi

sunting

Dalam skala produksi, kumis kucing dikemas dalam bentuk kering yang sering disebut simplisia. Di Indonesia sendiri budidaya kumis kucing masih dalam skala ekstensif, sehingga produksinya cukup rendah. Data produktivitas kumis kucing tahun 2015 di sukabumi mencatat produksi kumis kucing di sukabumi tidak lebih dari 0,25 ton ha−1.[7] Untuk itu dapat dilakukan Teknik budidaya yang tepat untuk dapat menghasilkan produksi simplisia yang tinggi. Produksi simplisia sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan dan pengaturan panen. Pemupukan adalah salah satu bagian dari Teknik budidaya yang penting untuk mendukung pertumbuhan dan produksi simplisia kumis kucing. Salah satunya adalah pengaturan waktu pemupukan dan jenis pupuk. Umumnya digunakan pupuk organik, sebab fungsi dari penumbuhan tanaman untuk obat, namun pupuk organik memiliki kelemahan karena pelepasan hara yang lambat pada pupuk organik. Pemupukan umumnya dilakukan saat awal tanam untuk mendukung pertumbuhan awal tanaman, namun pemupukan selama masa pertumbuhan juga perlu untuk mendapatkan supply hara yang cukup dalam mendukung pertumbuhan berikutnya, terutama karena bagian yang dipanen dari kumis kucing adalah bagian vegetatif. Selain itu juga perlu diperhatikan pengaturan ketinggian panen, agar tanaman dapat mempertahankan kondisinya sehingga produksi pada panen-panen berikutnya tidak terganggu. Hermansyah et al. (2009) menyatakan bahwa pemangkasan pada nilam yang menyisakan sisa cabang satu dan dua pada panen kedua menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak pada pertumbuhan berikutnya dibandingkan dengan pemangkasan yang tidak menyisakan cabang. Contohnya pada pemanenan basil India (Ocimum basilicum L.) pada 40 dan 60 hari setelah tanam (HST) menghasilkan total biomassa dua kali panen yang lebih banyak dengan pemangkasan 7,5 cm dan 15 cm dari permukaan tanah dibandingkan pemangkasan 0 cm dari permukaan tanah.[8] Menurut Rista et al. (2017), produksi simplisia daun kumis kucing tertinggi diperoleh dengan memberikan pupuk kadang secara sekaligus sebanyak 10 ton ha−1 saat pindah tanam dan memangkas kumis kucing dengan ketinggian pangkas 30 cm dari permukaan tanah. Perlakuan ini dapat meningkatkan produksi hingga mencapai produksi 3,09 ton ha−1, yang produksinya dilakukan selama 23 minggu setelah penanaman, dengan enam kali pemanenan (produksi dilakukan tiap 4 minggu sekali).[9]

Produksi

sunting

Di Jawa Barat, kumis kucing masih menjadi komoditas yang kurang diminati oleh petani untuk bercocok tanam. Hal ini terbukti dengan sangat rendahnya produksi tanaman ini di Jawa Barat yaitu hanya 55 ton daun per tahunnya.[7]

Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman di Jawa Barat, 2016
Jenis Tanaman Luas Areal (Hektar) Produksi (Ton)
Tanaman Muda Menghasilkan Tanaman Rusak Jumlah Jumlah Wujud Produksi
Jenis Tanaman
1. Akar Wangi - 2,360.00 - 2,360.00 71.00 Minyak Atsiri
2. Aren 4,026.00 8,329.00 1,972.00 14,327.00 22,526.00 Gula Aren
3. Cengkih 8,482.00 18,058.00 6,459.00 32,998.00 6,749.00 Bunga Kering
4. Guttapercha - - - - - Gutta
5. Jambu Mete 30.00 76.00 28.00 134.00 18.00 Glondong
6. Jarak 229.00 353.00 512.00 1,095.00 316.00 -
7. Kakao 1,808.00 2,779.00 1,197.00 5,784.00 937.00 Biji Kering
8. Kapok 347.00 1,651.00 685.00 2,683.00 331.00 Serat
9. Karet 8,388.00 5,891.00 1,775.00 16,054.00 4,737.00 Karet Kering
10. Kayumanis 21.00 74.00 27.00 122.00 21.00 Kulit Kering
11. Kelapa Dalam 16,904.00 112,222.00 24,220.00 153,345.00 92,413.00 Kopra
12. Kelapa Hibrida - 3,207.00 2,856.00 6,063.00 3,183.00 Kopra
13 Kelapa Sawit 124.00 120.00 - 244.00 1,237.00 Minyak Sawit
14. Kemiri 1,015.00 506.00 321.00 1,841.00 230.00 Biji Kupas
15. Kemiri Sunan 878.00 9.00 106.00 992.00 2.00 Biji Kupas
16. Kenanga - 21.00 23.00 44.00 10.00 Minyak Atsiri
17. Kina 159.00 39.00 44.00 242.00 29.00 Kulit Kering
18. Kopi 9,992.00 20,462.00 3,175.00 33,630.00 17,628.00 Biji Kering
19. Kumis Kucing - 217.00 - 217.00 55.00 Daun
20. Lada 619.00 1,308.00 457.00 2,384.00 808.00 Biji Kering
21. Mendong - 301.00 - 301.00 1,299.00 Daun Kering
22. Nilam - 803.00 - 803.00 202.00 Minyak Nilam
23 Pala 2,963.00 3,268.00 417.00 6,648.00 1,393.00 Biji kering
24. Pandan 76.00 331.00 127.00 535.00 207.00 Daun Kering
25. Panili 123.00 538.00 308.00 969.00 179.00 Polong
26. Pinang 82.00 367.00 45.00 494.00 147.00 Irisan Kering
27. Serehwangi - 1,575.00 - 1,575.00 489.00 Minyak Atsiri
28. Tebu - 6,671.00 - 6,674.00 31,139.00 Hablur
29. T e h 3,061.00 27,809.00 14,384.00 45,253.00 40,602.00 Teh Kering
30. Tembakau - 10,106.00 - 10,106.00 8,601.00 Rajangan
31. Kelapa Deres 1,093.00 11,485.00 1,708.00 14,286.00 83,913.00 Gula Merah
Jawa Barat 60,420.00 240,934.00 60,845.00 362,199.00 319,473.00
60,420.00 240,936.00 60,846.00 362,203.00 319,472.00
Sumber Data: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat

Hasil ini diperoleh dari hanya 217 hektar kebun di Jawa Barat. Hal ini masih sangat kecil dibanding luas perkebunan kelapa dalam yang mencapai 112 ribu hektar. Oleh sebab itu produksi dari tanaman ini dapat ditingkatkan lagi sebab waktu untuk produksi tanaman ini termasuk lebih cepat daripada waktu yang diperlukan untuk produksi tanaman lainnya. Di Indonesia, produk utama dari tumbuhan kumis kucing adalah daunnya yang dikeringkan yang bermanfaat sebagai bahan dasar obat.[10] Tetapi belum ada standar mutunya sendiri dari produk daun kering kumis kucing di Indonesia, sebab masih belum terlalu umum digunakan secara luas oleh masyarakat Indonesia sebagai obat. Umumnya daun kumis kucing ini masih tergolong sebagai obat-obatan tradisional dan belum diproduksi menjadi suatu produk dengan skala produksi yang besar.

Pertumbuhan

sunting
  • 1) Curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan tanaman ini adalah lebih dari 3.000 mm/tahun.
  • 2) Dengan sinar matahari penuh tanpa ternaungi. Naungan akan menurunkan kadar ekstrak daun.
  • 3) Keadaan suhu udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman ini adalah panas sampai sedang.

Media Tanam

sunting
  • 1) Tanaman ini dapat dengan mudah tumbuh di lahan-lahan pertanian, untuk produksi sebaiknya dipilih tanah yang gembur, subur, banyak mengandung humus/bahan organik dengan tata air dan udara yang baik.
  • 2) Tanah Andosol dan Latosol sangat baik untuk budidaya kumis kucing.

Ketinggian

sunting

Ketinggian tempat optimum tanaman kumis kucing adalah 500–1200 m dpl.

Hama dan penyakit

sunting

Selama ini tidak ada hama atau penyakit yang benar-benar merusak tanaman kumis kucing. Hama yang sering ditemukan adalah kutu daun dan ulat daun.

Penyakit

sunting

Penyakit yang menyerang disebabkan oleh jamur upas (Upsia salmonicolor atau Corticium salmonicolor). Jamur ini menyerang batang atau cabang tanaman yang berkayu. Pengendalian dilakukan dengan perbaikan tata air, meningkatkan kebersihan kebun, memotong bagian yang sakit, pergiliran tanaman dan penyemprotan pestisida selektif.

Gulma yang banyak tumbuh di lahan pertanaman kumis kucing cukup bervariasi dan kebanyakan dari jenis gulma kebun seperti rumput teki, lulangan, ageratum, alang-alang, dan rumput-rumput lainnya

Pengendalian hama/penyakit secara organik

sunting

Sama seperti pada tanaman obat lainnya, pengendalian hama/penyakit secara organik pada pertanaman kumis kucing lebih diusahakan secara PHT (pengendalian hama secara terpadu). Termasuk di dalamnya sistem bercocok tanam secara tumpang sari akan dapat menghambat serangan hama/penyakit. Untuk pengendalian gulma sebaiknya dilakukan secara manual dengan cara penyiangan seperti telah dijelaskan di atas. Namun, apabila diperlukan dapat diterapkan penyemprotan dengan insektisida maupun pestisida nabati. Beberapa tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati dan digunakan dalam pengendalian hama antara lain yaitu sebagai berikut.

  • Tembakau (Nicotiana tabacum) yang mengandung nikotin untuk insektisida kontak sebagai fumigan atau racun perut. Aplikasi untuk serangga kecil misalnya Aphids.
  • Piretrum (Chrysanthemum cinerariaefolium) yang mengandung piretrin yang dapat digunakan sebagai insektisida sistemik yang menyerang urat saraf pusat yang aplikasinya dengan semprotan. Aplikasi pada serangga seperti lalat rumah, nyamuk, kutu, hama gudang, dan lalat buah.
  • Tuba (Derris elliptica dan Derris malaccensis) yang mengandung rotenone untuk insektisida kontak yang diformulasikan dalam bentuk hembusan dan semprotan.
  • Neem tree atau mimba (Azadirachta indica) yang mengandung azadirachtin yang bekerjanya cukup selektif. Aplikasi racun ini terutama pada serangga penghisap seperti wereng dan serangga pengunyah seperti hama penggulung daun (Cnaphalocrocis medinalis). Bahan ini juga efektif untuk menanggulangi serangan virus RSV, GSV dan Tungro.
  • Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) yang bijinya mengandung rotenoid yaitu pakhirizida yang dapat digunakan sebagai insektisida dan larvasida.
  • Jeringau (Acorus calamus) yang rimpangnya mengandung komponen utama asaron dan biasanya digunakan untuk racun serangga dan pembasmi cendawan, serta hama gudang Callosobrocus.

Referensi

sunting
  1. ^ Kew World Checklist of Selected Plant Families
  2. ^ "Tanaman Kumis Kucing Memiliki 5 Manfaat Bagi Kesehatan, Simak Daftar Selengkapnya". Pikiran Rakyat. Diakses tanggal 2023-05-22. 
  3. ^ (Inggris) Orthosiphon aristatus, Taxonomy
  4. ^ a b c d e f g Herawaty, Tety dan Ari Novianti. 2006. Kumis Kucing. Badan Pengawas Obat dan Makanan, Direktorat Obat Aasli Indonesia. Halaman 4-13
  5. ^ (Inggris) Orthosiphon aristatus (Blume) Miq Diarsipkan 2015-09-24 di Wayback Machine.
  6. ^ N. Yuliana, "Senyawa Inhibitor α-Glukosidase dan Antioksidan Dari Kumis Kucing Dengan Pendekatan Metabolomik Berbasis FTIR.," vol. 27, pp. 13-18, 2016.
  7. ^ a b B. P. Statistik, "Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman di Jawa Barat, 2016," 28 Maret 2018. [Online]. Available: https://jabar.bps.go.id/statictable/2018/03/29/521/luas-areal-dan-produksi-perkebunan-rakyat-menurut-jenis-tanaman-di-jawa-barat-2016.html.
  8. ^ Hermansyah, Y. Sasmita, E. Inoriah. 2009. Penggunaan pupuk daun dan manipulasi jumlah cabang yang ditinggalkan pada panen kedua tanaman nilam. Akta Agrosia. 12(2): 194-203.
  9. ^ R. Delyani, "Produksi Simplisia Kumis Kucing dengan Perbedaan Cara Pemupukan dan Ketinggian Pangkas pada Rotasi Panen Tiga Minggu," J. Hort. Indonesia, vol. 8, no. 3, pp. 209-217, 2017.
  10. ^ S. Purwandari, "Studi Serapan Tumbuhan Obat Sebagai Bahan Baku pada Berbagai Industri Obat Tradisional di Indonesia [Tesis]," Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, 2001.