Nrima ing pandum (aksara Jawa: ꦤꦿꦶꦩꦲꦶꦁꦥꦤ꧀ꦢꦸꦩ꧀; ejaan tidak baku: nrimo ing pandum; bahasa Indonesia: menerima yang diberikan) adalah salah satu filosofi hidup Jawa yang mengajarkan manusia untuk senantiasa menerima apa saja yang diberikan oleh Tuhan atau manusia lain kepada dirinya. Pemberian ini dapat berupa sesuatu yang baik atau buruk, dalam ukuran yang banyak maupun sedikit. Ajaran ini ditujukan agar manusia dapat memperoleh ketentraman batin dan kebahagiaan hidup.[2][3][4]

Sikap nrima ing pandum masih banyak dipraktikkan di antara orang-orang pedesaan atau petani di Jawa.[1]

Selayang pandang

sunting

Sikap nrima ing pandum dapat dimengerti sebagai sebuah sikap yang menerima nasib apa adanya atau pasrah menerima keadaan hidup. Hal ini masih bertalian dengan ungkapan Jawa lainnya, seperti pasrah lan sumarah (pasrah dan tunduk patuh) atau sumeleh lan sumarah dumateng kersaning Gusti (berserah dan pasrah pada kehendak Tuhan) dan sikap hidup samadya. Ungkapan ini biasanya ditujukan ketika menghadapi kesengsaraan hidup sehingga orang tersebut mampu menjalaninya dengan tabah dan pasrah.[5] Sikap nrima ing pandum dapat berwujud mensyukuri dan merasa berkecukupan dengan kekayaan yang dimiliki.[4]

Ajaran ini kadang dihubungkan dengan alasan rendahnya etos kerja masyarakat Jawa, yang membuat masyarakat tidak memiliki motivasi untuk bekerja dengan giat dan menerima segalanya dengan apa adanya tanpa usaha yang maksimal. Oleh karena itu, sikap nrima ing pandum seharusnya ditempatkan pada konteks setelah mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencapai suatu tujuan hidup dan menyerahkan hasilnya kepada kehendak Tuhan.[6]

Dalam masyarakat Tengger, sikap nrimo ing pandum memiliki konotasi yang lebih positif. Sikap ini berwujud ajaran untuk tidak tamak atau berlebihan, tidak menginginkan apa yang dimiliki oleh orang lain, dan selalu bersyukur atas pemberian Tuhan.[5]

Pandangan

sunting

Pandangan nrima ing pandum sejalan dengan ajaran Islam untuk berserah dan menerima apa yang diberikan Allah. Hal ini dapat membuat batin dan jiwa menjadi tenteram. Akan tetapi, hal ini bukan berarti seseorang tidak perlu bekerja atau berusaha untuk mendapatkan rezeki.[7] Sebagian orang membandingkan nrima ing pandum dengan konsep tawakal dalam ajaran Islam yang menerima dengan lapang dada segala ketetapan Allah yang diberikan kepada manusia.[8]

Sosiologi

sunting

Dalam sudut pandang fungsionalisme struktural, ajaran nrima ing pandum memiliki sejumlah tujuan dan fungsi, di antaranya adalah agar hidup manusia mampu mencapai rasa nyaman dan tenteram, mengendalikan dan menyatukan bagian-bagian dari suatu sistem sosial masyarakat, serta dan pemeliharaan pola dalam kehidupan masyarakat.[5]

Konsep sejenis

sunting

Dalam budaya Jepang, dikenal istilah ukeireru うけいれる yang menekankan pada penerimaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.[9]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Gamma. Garda Media Mandiri. 2002-04. 
  2. ^ Maharani, Rizki (2018-08-08). "Penerapan falsafah narimo ing pandum dalam Pendekatan Person-Centered untuk mengatasi depresi remaja". Prosiding Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling (dalam bahasa Inggris). 2 (1): 2015–212. ISSN 2580-216X. 
  3. ^ Parlementaria. Bagian Hubungan Masjarakat DPRGR. 1993. 
  4. ^ a b Academy, Indonesia Writers (2019-05-01). Hari-Hari di Sukamiskin. Era Adicitra Intermedia. ISBN 978-623-7493-63-1. 
  5. ^ a b c Yuliati, Yayuk (2011-04-12). Perubahan Ekologis dan Strategi Adaptasi Masyarakat di Wilayah Pegunungan Tengger. Universitas Brawijaya Press. ISBN 978-602-8960-69-4. 
  6. ^ Musman, Asti (2020-11-25). The Power of IKIGAI: Dan Rahasia Hidup Bahagia ala Orang-orang di Dunia. Anak Hebat Indonesia. ISBN 978-623-244-445-4. 
  7. ^ Suwiknyo, Dwi (2020-07-24). Ubah Lelah Jadi Lillah. Genta Hidayah. ISBN 978-623-235-130-1. 
  8. ^ Amimah, Tuslikhatun. Merajut Asa. Guepedia. ISBN 978-623-309-248-7. 
  9. ^ Katayama, Akiko. "Ukeireru: This Japanese Mindset May Be Key To Your Happiness". Forbes (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-20.