Negara terbelakang
Negara Terbelakang dapat didefinisikan sebagai negara berkembang yang memiliki tingkat pembangunan yang rendah dibandingkan dengan negara berkembang lainnya M.L Jhingan (2014)[1]. Umumnya, kondisi tersebut ditandai dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, ketimpangan pendapatan yang besar, pendidikan dan kesehatan yang rendah, infrastruktur yang tidak memadai, serta akses terhadap sumber daya yang terbatas. Paul Hoffman, menggambarkan keadaan suatu negara terbelakang dalam suatu ungkapan sebagai berikut:
"Setiap orang dapat memahami suatu negara terbelakang apabila ia melihatnya"
Negara terbelakang adalah suatu negara yang ditandai oleh kemiskinan, kota yang dipadati oleh pengemis dan penduduk desa yang sulit untuk mencari nafkah di kampung halamannya sendiri. Ia adalah suatu negara yang jarang memiliki suatu industri, sering kali dengan persediaan tenaga dan listrik yang tidak memadai. Negara seperti itu biasanya tidak memiliki jalan raya dan jalan kereta api yang cukup, pemerintah belum dapat memberikan pelayanan yang memadai dan komunikasi yang ada biasanya buruk. Rumah sakit dan lembaga pendidikan tinggi juga sangat sedikit.
Sejarah
suntingSejarah negara keterbelakangan dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode sebelum abad ke-20 dan periode setelah abad ke-20. Pada periode sebelum abad ke-20, negara keterbelakangan biasanya merupakan negara koloni dari negara maju. Negara-negara koloni tersebut didominasi oleh negara-negara Eropa, seperti Inggris, Prancis, dan Spanyol.[2] Negara-negara koloni tersebut sering kali dieksploitasi oleh negara-negara penjajahnya, sehingga menyebabkan keterbelakangan ekonomi dan sosial.[3] Pada periode setelah abad ke-20, negara keterbelakangan mulai mendapatkan kemerdekaan dari negara-negara penjajahnya. Namun, keterbelakangan ekonomi dan sosial yang telah terjadi selama masa penjajahan masih terus berlanjut.[4] Masa penjajahan telah meninggalkan warisan buruk berupa struktur ekonomi yang tidak seimbang, ketimpangan pendapatan, dan korupsi. Beberapa negara keterbelakangan memiliki kondisi geografis yang sulit, seperti kondisi alam yang tidak bersahabat, atau lokasi yang terisolasi.[5] "Mereka" juga memiliki sistem politik yang tidak stabil atau tidak demokratis, yang menghambat pembangunan ekonomi dan sosial.[6] Dan yang terakhir, banyak dari mereka memiliki struktur ekonomi yang tidak seimbang, dengan sektor pertanian yang dominan dan sektor industri yang kurang berkembang.[7]
Karakteristik
sunting- Tingkat kemiskinan yang tinggi. Negara terbelakang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, dengan rasio penduduk miskin yang mencapai 50% atau lebih. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti rendahnya pendapatan per kapita, ketimpangan pendapatan, dan ketimpangan akses terhadap sumber daya[8].
- Ketimpangan pendapatan yang besar. Negara terbelakang biasanya memiliki ketimpangan pendapatan yang besar, dengan sebagian kecil penduduk yang memiliki kekayaan yang sangat besar, sementara sebagian besar penduduk lainnya hidup dalam kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ketidaksetaraan dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja.[9]
- Pendidikan dan kesehatan yang rendah. Negara terbelakang memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah. Hal ini menyebabkan kualitas sumber daya manusianya juga rendah, yang berdampak pada produktivitas dan daya saing ekonominya.[10]
- Infrastruktur yang tidak memadai. Negara terbelakang memiliki infrastruktur yang tidak memadai, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dan jaringan listrik. Hal ini menyebabkan biaya transportasi dan logistik menjadi tinggi, yang menghambat pertumbuhan ekonomi.[11]
- Akses terhadap sumber daya yang terbatas. Negara terbelakang biasanya memiliki akses terhadap sumber daya yang terbatas, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Hal ini menyebabkan kemampuannya untuk mengembangkan ekonomi menjadi terbatas.[12]
Upaya
suntingBerbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi keterbelakangan, baik oleh negara-negara keterbelakangan itu sendiri maupun oleh negara-negara maju yang mencoba mengulurkan tangan. salah satu upaya yang dijadikan pondasi adalah Pembangunan Ekonomi, dimana aspek ini merupakan upaya utama untuk mengatasi keterbelakangan. Pembangunan ekonomi dapat dilakukan melalui berbagai kebijakan, seperti investasi di sektor industri, peningkatan produktivitas pertanian, dan perbaikan infrastruktur[13]. Selain itu, Pembangunan Sosial juga penting untuk mengatasi keterbelakangan. Pembangunan sosial dapat dilakukan melalui berbagai kebijakan, seperti peningkatan pendidikan dan kesehatan, perbaikan kualitas sumber daya manusia, dan pemberdayaan masyarakat[14]. Lalu yang terakhir ialah Kerja sama internasional, dimana upaya ini juga dapat membantu negara keterbelakangan dalam mengatasi keterbelakangan. Kerja sama internasional dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti bantuan pembangunan, transfer teknologi, dan pelatihan.[15]
Daftar Negara
suntingAfrika
suntingAsia
sunting- Afganistan
- Bangladesh
- Bhutan
- India
- Kamboja
- Kirgizstan
- Laos
- Lebanon
- Myanmar
- Korea Utara
- Nepal
- Pakistan
- Palestina
- Suriah
- Tajikistan
- Timor Leste
- Uzbekistan
- Yemen
Oseania
suntingAmerika
suntingMantan negara terbelakang
sunting- Botswana (keluar dari status negara terbelakang pada tahun 1994)[16]
- Rwanda (keluar dari status pada tahun 2000)[16]
- Tanjung Verde (keluar dari status pada tahun 2007)[16]
- Maladewa (keluar dari status pada tahun 2011)[16]
- Samoa (keluar dari status pada tahun 2014)[17]
- Guinea Khatulistiwa (keluar dari status pada tahun 2017)[18]
- Vanuatu (keluar dari status pada tahun 2020)
Referensi
sunting- ^ Fogel, Robert (2000-07). "Simon S. Kuznets: April 30, 1901-July 9, 1985". Cambridge, MA.
- ^ Acemoglu, D.; Johnson, S.; Robinson, J. A. (2002-11-01). "Reversal of Fortune: Geography and Institutions in the Making of the Modern World Income Distribution". The Quarterly Journal of Economics. 117 (4): 1231–1294. doi:10.1162/003355302320935025. ISSN 0033-5533.
- ^ Martin, Guy (1975). "<em>How Europe Underdeveloped Africa</em>, by Walter Rodney, Dar es Salaam: Tanzania Publishing House and London: Bogle-L'Ouverture Publications 1972". Ufahamu: A Journal of African Studies. 6 (1). doi:10.5070/f761017487. ISSN 2150-5802.
- ^ Boettke, Peter J. (2006-08-18). "THE WHITE MAN'S BURDEN: WHY THE WEST'S EFFORTS TO AID THE REST HAVE DONE SO MUCH ILL AND SO LITTLE GOOD ‐ by William Easterly". Economic Affairs. 26 (3): 82–83. doi:10.1111/j.0265-0665.2006.660_1.x. ISSN 0265-0665.
- ^ Hardin, Garrett; Diamond, Jared (1997-12). "Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies". Population and Development Review. 23 (4): 889. doi:10.2307/2137390. ISSN 0098-7921.
- ^ Rosenbluth, Frances (2006-10-26). "Daron Acemoglu and James Robinson, Economic Origins of Dictatorship and Democracy, Cambridge: Cambridge University Press, 2006". Japanese Journal of Political Science. 7 (3): 307–309. doi:10.1017/s1468109906212416. ISSN 1468-1099.
- ^ Khan, M. Ali (1989). Harris—Todaro Model. London: Palgrave Macmillan UK. hlm. 148–153. ISBN 978-0-333-49531-5.
- ^ Benítez-Aurioles, Beatriz (2020-01-15). "Good Economics for Hard Times, PublicAffairs, Hachette Book Group, 2019, 457 páginas. Abhijit V. Banerjee and Esther Duflo". Revista de Economía Mundial (54). doi:10.33776/rem.v0i54.4577. ISSN 1576-0162.
- ^ Secilmis, Erdem (2016). "The Price of Inequality: How Today's Divided Society Endangers Our Future". Ekonomik Yaklasim. 27 (100): 223. doi:10.5455/ey.35942. ISSN 1300-1868.
- ^ Jamison, Dean T; Summers, Lawrence H; Alleyne, George; Arrow, Kenneth J; Berkley, Seth; Binagwaho, Agnes; Bustreo, Flavia; Evans, David; Feachem, Richard G A (2013-12). "Global health 2035: a world converging within a generation". The Lancet. 382 (9908): 1898–1955. doi:10.1016/s0140-6736(13)62105-4. ISSN 0140-6736.
- ^ Aschauer, David Alan (1989-03). "Is public expenditure productive?". Journal of Monetary Economics. 23 (2): 177–200. doi:10.1016/0304-3932(89)90047-0. ISSN 0304-3932.
- ^ Cooper, Richard N.; Easterly, William (2001). "The Elusive Quest for Growth: Economists' Adventures and Misadventures in the Tropics". Foreign Affairs. 80 (5): 160. doi:10.2307/20050271. ISSN 0015-7120.
- ^ Paudel, Ramesh C. (2019-12-31). "Collier, P. (2008). The Bottom Billion: Why the Poorest Countries are Failing and What Can be Done About It, Oxford University Press, USA". Economic Journal of Nepal. 42 (3-4): 79–82. doi:10.3126/ejon.v42i3-4.36039. ISSN 1018-631X.
- ^ "World Development Report 2019: The Changing Nature of Work". 2018-09-24. doi:10.1596/978-1-4648-1328-3.
- ^ "Transforming governance for the 2030 agenda for sustainable development". dx.doi.org. 2015-12-31. Diakses tanggal 2023-12-21.
- ^ a b c d "Istanbul forum offers chance to recommit to helping world's poorest nations". United Nations. 2011-01-10. Diakses tanggal 2014-07-28.
- ^ Ashton, Melanie (20 June 2012). "UN-OHRLLS Announces Samoa to Graduate from LDC Status". IISD's SDG Knowledge (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-24.
- ^ "Equatorial Guinea Graduates from the LDC Category". United Nations. 4 June 2017. Diakses tanggal 7 November 2017.