Nafiri merupakan alat musik tradisional yang berasal dari provinsi Riau di pulau Sumatra yang bentuknya mirip dengan terompet. Masyarakat melayu di Riau sendiri tidak hanya mengembangkan alat musik seperti nafiri tetapi juga alat-alat musik seperti: canang, tetawak, lengkara, kompang, gambus, marwas, gendang, rebana, serunai, rebab, beduk, gong, seruling, kecapi, biola dan akordeon. Alat-alat musik di atas menghasilkan irama dan melodi tersendiri yang berbeda dengan alat musik lainnya. Kita dapat melihat permainan alat musik ini bersama dengan pertunjukkan makyong yang merupakan sebuah bentuk kesenian tradisional yang saat ini masih dimainkan dan diwariskan di provinsi Riau. Selain sebagai alat musik, nafiri juga digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat melayu. Terutama untuk memberitahukan tentang adanya bencana, dan berita tentang kematian.

Sejarah

sunting

Asal usul alat musik tersebut belum begitu jelas. Jika melihat perjalanan sejarah provinsi Riau, sejak dahulu sudah ditempati oleh orang-orang Melayu pada masa kerajaan Sriwijaya. Orang Melayu tersebut menempati berbagai macam tempat di selat malaka. Pembauran yang terjadi antara masyarakat melayu dengan suku bangsa Padang, Jawa, Minangkabau, Bugis, Banjar dan Batak menyebabkan munculnya berbagai macam budaya termasuk di dalamnya alat-alat musik. Akan tetapi, ada suatu pendapat bahwa alat musik ini berasal dari India karena mirip dengan alat musik untuk memainkan ular. Selain itu ada juga pendapat bahwa alat ini berasal dari daerah Timur Tengah karena adanya kemiripan nama yaitu naifr.

Pada zaman kerajaan-kerajaan, nafiri merupakan salah satu alat yang penting untuk digunakan pada acara penobatan raja selain sebagai alat musik di istana. Pada kerajaan melayu dulu alat pusaka Nobat seperti nafiri, gendang, sirih esar, dan cogan merupakan lambang negara atau yang biasa disebut dengan regelia kerajaan yang dijadikan sebagai kekuatan spiritual dan kehormatan kerajaan bersama dengan adat istiadat. Tanpa adanya alat-alat tersebut penobatan seorang raja tidak dapat disahkan. Ada kepercayaan pada zaman dahulu jika kedua kekuatan spiritual tersebut rusak maka akan hancur dan runtuhlah harkat dan harga diri bangsa tersebut. Bagi Kerajaan Kerajaan Melayu di rantau itu, sebuah kerajaan boleh saja ditaklukan, direbut, dan dikuasai oleh pihak lain. Raja atau sultannya bisa saja terusir dan melarikan diri ke negara atau daerah lain, mencari perlindungan. Tetapi, jika Regelia Kerajaan tidak dirampas dan tidak direbut, selagi Regelia sakti dan keramat itu masih dipegang oleh rajanya, maka kedaulatan negeri itu masih tegak. Sultannya tetap punya kedaulatan, dan dia bisa mendirikan kerajaan di mana saja, dan dijadikan raja di mana saja. Karena alat-alat yang dianggap memiliki kesaktian itu, belum ditaklukkan. Karena itulah, siapapun yang memegang dan diberi tugas menjaga Regelia itu, adalah seorang yang kuat dan perkasa. Seseorang yang memiliki kekuasaan jauh di atas kekuasaan lain, termasuk sultannya sendiri. Biasanya orang tersebut merupakan penasihat raja. Di Kedah nafiri bersama dengan alat-alat musik nobat lainnya disimpan di dalam sebuah tempat yang bernama Balai Nobat. Balai Nobat sendiri merupakan bangunan yang khas dengan arsitektur Islam. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kubah di atasnya. Bangunan ini telah sering kali direnovasi terutama pada zaman pemerintahan Sultan kedah yang ke-25 yaitu Sultan Ahmad Tajuddin Mukarram Shah yang telah menduduki takhta mulai tahun 1854 hingga 1879. Nobat berasal dari Kata Persia ‘Naubat” yang berarti sembilan instrumen. Nobat merupakan orkestra musik kerajaan yang digunakan terutama untuk penobatan raja, bangsawan serta penyambutan tamu istimewa. Para pemainnya disebut dengan Orang Nobat. Nobat juga dimainkan bersama dengan perayaan-perayaan suci lainnya seperti kematian. Ada sebuah kepercayaan bahwa nobat berasal tradisi India yang ditularkan oleh para pedagang yang saat itu singgah di selat Malaka.

Pada zaman kerajaan dulu, nafiri digunakan sebagai alat untuk menyatakan peperangan terhadap kerajaan lain. Selain itu juga, nafiri digunakan untuk memberitakan tentang kematian raja, diangkatnya raja. Alat ini juga digunakan untuk mengumpulkan rakyat, agar mereka segera datang ke alun-alun istana untuk mendengarkan berita atau pengumuman dari rakyat mereka. Oleh karena itu, alat ini dijadikan sebagai barang pusaka kerajaan.

Di Malaysia kita juga akan menemukan alat musik yang disebut dengan nafiri walaupun dengan bentuk yang sedikit berbeda. Di negara tersebut alat musik ini dapat kita jumpai untuk mengiringi lagu-lagu daerah dan juga upacara adat. Kita dapat melihat alat ini pada orkestra nobat di Malaysia. Alat musik ini juga digunakan untuk penobatan gelar kebangsawanan. Salah satu orang yang pernah mendapatkan gelar kehormatan Adat di Riau adalah sultan Hamengku Buwono X. Ketika penobatannya berlangsung suara Nafiri bersama dengan Alat musik tradisional lainnya mengiringi acara tersebut di depan sidang Majelis Perapatan Adat Melayu. Alat-alat tersebut digunakan sebagai penanda diangkatnya seseorang sebagai bangsawan. Saat ini fungsi nafiri menjadi lebih berkurang karena hanya digunakan pada acara-acara kerajaan atau perayaan-perayaan yang dilakukan oleh masyarakat melayu.

Menurut kepercayaan orang Melayu Riau, ketika memainkan alat musik ini para pemainnya dirasuki oleh para dewa, mambang, dan peri. Sehingga seolah-olah mereka menyampaikan pesan akan terjadinya bahaya atau kejadian penting lainnya. Oleh karena itu, sebelum ditiup alat musik ini perlu dipusung yaitu diasapi di atas pedupaan. Nafiri ditiup dengan aliran udara yang tidak terputus selama dua atau tiga jam. Pemain Nafiri harus orang yang memiliki napas panjang, sehat badannya, dan memiliki teknik khusus sehingga tidak putus tiupannya. Nafiri ditiup hanya dengan tangan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang bagian bawahnya.

Fungsi dan kegunaan

sunting
  1. Pengiring tarian tradisional, tari Inai, tari Jinugroho dan tari Olang.
  2. Sebagai alat musik yang utama di dalam musik robat yang merupakan musik yang dimainkan di lingkungan masyarakat.
  3. Sebagai melodi yang digunakan untuk menentukan gerakan-gerakan silat.
  4. Untuk penobatan raja-raja ketika Riau masih berbentuk kerajaan-kerajaan serta bangsawan.
  5. Tanda terhadap terjadinya peperangan, bencana, dan kematian.
  6. Alat yang digunakan sebagai penanda spiritual untuk memanggil dewa, roh, atau arwah nenek moyang.

Cara membuat Nafiri

sunting

Terbuat dari kayu yang berukuran 25 sampai 45 centimeter. Antara batang dengan dan tempat tiupnya diberi batas yang terbuat dari tempurung kelapa. Nafiri menggunakan semacam lidah yang terbelah dua terbuat dari daun kelapa yang muda atau ruas bambu yang sudah kering. Lidah tersebutlah yang disebut dengan vibrator yang akan mengeluarkan suara atau bunyi-bunyian. Lubang jari ada tiga buah yang besarnya kira-kira sebesar biji jagung untuk mengatur tinggi rendahnya nada. Pada bagian pangkalnya diberi sambungan berbentuk seperti bujur telur yang terpotong dan berongga untuk membuat volume yang dikeluarkan lebih besar. Musik yang dikeluarkan terdengar seperti meronta-ronta daripada melodi yang jelas untuk didengar.

Sepotong kayu yang telah dikerat menurut ukuran yang dikehendaki ditoreh besar dipangkalnya sehingga bentuknya mirip dengan telur yang sudah dipotong bagian ujungnya. Kemudian diberi bebatang, proses tersebut yang disebut dengan balan atau bakal nafiri. Kemudian balan tersebut diperhalus dengan menggunakan pisau raut dan digesek untuk dihaluskan dengan daun trap atau kelopak bunga sukon yang hanya ditemukan didaerah sumatera. Kemudian dilubangi dengan menggunakan gurdi kecil dan pahat, hal tersebut akan membuat nafiri tersebut berongga dengan tebal kulitnya kurang lebih setengah centimeter. Pada batang nafiri dibuat lubang-lubang jari dengan menggunakan besi yang dipanaskan. Cara memainkan dan membuat Nafiri diturunkan secara terus menerus dari generasi ke generasi oleh masyarakat Melayu Riau.

Pranala luar

sunting
  1. Makyong Diajukan RI, Malaysia Sebagai Catatan Sejarah Dunia
  2. Sejarah Pembinaan Balai Nobat Diarsipkan 2008-07-27 di Wayback Machine.

Referensi

sunting
  1. Hermawan. Agus. Budaya dan Adat Istiadat Riau. 1987. Jakarta: Resist Book
  2. Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara. Profil Provinsi Repubik Indonesia: Riau. 1992. Jakarta: Yayasan Bhakti Nusantara