Musyawaratutthalibin
Musyawaratutthalibin, disingkat MTh, adalah organisasi massa Islam dari Kalimantan Selatan pada 1931-1942. Organisasi ini memiliki basis massa dari masyarakat Banjar dan tersebar di Kalimantan dan Sumatra.
Sejarah
suntingPada permulaan abad ke-20, Kalimantan mulai dimasuki oleh beberapa organisasi Islam seperti Sarekat Islam, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah. Masuknya organisasi-organisasi ini turut membawa perdebatan antara Kaum Tua (tradisonalis) dengan Kaum Muda (modernis). Atas dasar perselisihan tersebut, beberapa ulama dan guru agama di Kalimantan Selatan mendirikan Musyawaratutthalibin pada 12 Syakban 1349 atau 2 Januari 1931 di Banjarmasin dengan H. Majdi Effendi sebagai ketua umum.[1]
Pembentukan Musyawaratutthalibin mendapat sambutan luas dari masyarakat Banjar di kampung dan perantauan sehingga cabang MTh berdiri di Kalimantan dan Sumatra dalam waktu singkat. Di Kalimantan, MTh memiliki cabang dari Sampit sampai Tarakan, sedangkan di Sumatra, cabang MTh tersebar di Indragiri, Jambi, Bangka, dan Belitung. Di daerah-daerah tersebut juga sudah didirikan madrasah binaan MTh.[2]
Musyawaratutthalibin memiliki beberapa onderbouw, yakni Da'watutthalibin untuk dakwah dan tablig, Nasrul Umum untuk kepanduan, dan Jam'iyatunnisa untuk urusan perempuan. Pada 1939 H, MTh menerbitkan majalah Soeara Moesjawaratoetthalibin dengan H. Muhammad Arsyad dan Ahmad Abbas sebagai redaktur dan Abdul Jabbar sebagai pengurus administrasi.[1]
Beberapa tokoh Musyawaratutthalibin dikenal aktif dalam politik di Hindia Belanda. Para petinggi MTh seperti H. Muhammad Sukeri, H. Muhammad Syamsi Rais, Abdul Jabbar, dan H. Juhri tergabung dalam Partai Indonesia Raya (Parindra). Pada 1939, Zafri Zamzam yang juga anggota MTh mendirikan Partai Politik Islam (PPI) di Kandangan. MTh juga menjadi anggota Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada 7 Juli 1941 dengan utusannya ialah Ketua Umum Musyawaratutthalibin waktu itu, H. Muhammad Arsyad.[1]
Pandangan keagamaan
suntingMusyawaratutthalibin secara umum dapat digolongkan sebagai Kaum Tua seperti Nahdlatul Ulama di Jawa dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Sumatra. Hal ini tergambar dalam anggaran dasar MTh yang menyatakan bahwa mereka menjunjung tinggi al-Quran, hadis, ijmak, dan kias seperti yang dianut dalam mazhab Syafii, serta banyaknya anggota MTh yang berpindah ke NU setelah pembubaran MTh. Walaupun demikian, Musyawaratutthalibin beberapa kali mengadakan diskusi dengan tokoh Muhammadiyah untuk mencari titik temu antara Kaum Tua dengan Kaum Muda, seperti hadirnya Hamka dalam tablig akbar Da'watutthalibin pada 1936.[1][2]