Muslich
K.H. Muslich (Tambaknegara, Rawalo, Banyumas, 1910 - 28 Desember 1998) adalah seorang ulama Indonesia dan tokoh Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi Islam di Indonesia.[1]
Riwayat Hidup
suntingKH Muslich dilahirkan di desa Tambaknegara Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas tahun 1910 dan hidup di lingkungan pedesaan yang santri. Ayahnya bernama Hasan Basari dan ibunya bernama Sri Inten. Selesai Sekolah Rakyat-SR, Muslich melanjutkan belajar ke Madrasah Mambaul Ulum Solo hingga kelas sembilan. Siang harinya Ia belajar di pesantren Sunniyah Keprabon Tengah dan malam harinya belajar mengaji al-Qur’an di Pesantren KH Cholil Kauman. Ia Juga belajar kitab fiqih di Pesantren Keprabon dan Jamsaren.
Selama berada di Surakarta, Muslich banyak mengikuti kursus-kursus agama Islam dan pengetahuan umum dari berbagai kalangan. Secara temporer, Ia juga belajar mengaji dan mondok di Pesantren Bogangin Sumpiuh, Leler Kebasen, Tebuireng Jombang, Tremas, Pacitan dan Krapyak. Untuk memperoleh pengetahuan umum ia tempuh dengan otodidak dengan banyak membaca dan diskusi dengan para tokoh yang ditemui.
Pergerakan dan Aktivisme di NU
suntingPada zaman pergerakan kemerdekaan, Muslich menjadi anggota kepanduan SIAP (Syariat Islam Afdeling Pandu), waktu itu usianya baru 16 tahun. Setelah itu menjadi anggota Pemuda Muslimin Indonesia dan menjadi anggota Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Setelah HOS Tjokroaminoto meninggal dunia, Muslich dipecat dari PSII oleh Abikusno Tjokrosujoso bersama AM Sangaji, Mr Muhammad Roem dan H Agus Salim. Bersama teman-temannya yang dipecat kemudian ia mendirikan Gerakan Penyadar PSII yang dipimpin oleh H Agus Salim.
Setelah gerakan penyadar tidak aktif, Muslich baru bergabung ke dalam pengurus cabang NU Cilacap, kemudian dipromosikan sebagai pengurus NU wilayah Jawa Tengah dan akhirnya dipromosikan lagi menjadi pengurus besar NU di Jakarta. Kariernya yang cemerlang dan meyakinkan tersebut menjadikannya sebagai kader yang militan. Oleh karena itu, ketika NU bergabung dalam Masyumi (1946) Muslich ikut ke dalamnya dan ketika NU keluar dari Masyumi (1952) Muslich juga ikut keluar. Ia selalu mengikuti perkembangan situasi baik ketika NU bergabung ke dalam PPP (1973) maupun ketika kembali ke khittah 1926. Walaupun hanya sebatas mengamati, karena perhatinnya sudah tersita untuk bidang pendidikan yang digelutinya sejak lama.
Menjadi Guru dan Penghulu
suntingKetika masa tugasnya dianggap telah selesai dan tidak ada tugas baru yang harus diembannya, maka ia segera kembali ke daerahnya, untuk mengabdikan diri sebagai guru Madrasah Mambaul Ulum Purwokerto (1930), dan menjadi guru pada Kweekschool Islamiyah (1935) milik PSII Cabang Cilacap. Pada tahun 1946 ia diangkat sebagai penghulu Cilacap dan merangkap sebagai anggota tentara dengan pangkat Kapten. Atas restu Komandanny, Letkol Gatot Subroto, setahun kemudian Muslich diangkat sebagai Kepala Jawatan Agama Karesidenan Madiun Jawa Timur.
Tahun 1951, Muslich mulai hijarah ke Jakarta dan turut menyusun Jawatan Urusan Agama Pusat dan kemudian dia diangkat menjadi Kepala Kantor Agama Sumatera Tengah, berkedudukan di Bukittinggi. Tidak lama kemudian diangkat menjadi Kepala Jawatan Agama Sumatera Utara di Medan hingga tiga tahun kemudian diangkat sebagai kepala jawatan agama Jawa Tengah di Semarang. Sesuai hasil Pemilu 1955, KH Muslich terpilih sebagai anggota DPR namun masih merangkap sebagai pegawai tinggi di Kementerian Agama Jakarta.
Pensiun sebagai anggota DPR kembali ke Departemen Agama dan mendapat tugas untuk menata kembali kantor Departemen Agama Sumatera Tengah akibat meletusnya PRRI (1958). Ketika duduk di Komando Mandala pada masa Trikora (1961-1963), Kiai Muslich mendapat tugas menyusun Kantor Departemen Agama Provinsi Irian Barat yang sudah resmi menjadi wilayah Republik Indonesia. Tugas-tugas rintisan yang berat selalu dilaksanakan dengan senang hati, agar bisa mencapai keberhasilan. Tugas itu hanya bisa diemban oleh orang yang gigih yang memiliki jiwa pergerakan.
Dari Laskar ke Tentara Reguler
suntingSebagai pejuang pergerakan, Muslich mengawali karier militernya dengan masuk lasykar Hizbullah di Purwokerto tahun 1944. Kemudian ia diangkat menjadi komandan pasukan lasykar Islam untuk Divisi Hizbullah Banyumas dengan anggota tidak kurang dari seribu orang. Setelah kemerdekaan ia juga ikut mebentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR) daerah Banyumas dan Cilacap, di bawah pimpinan bekas Daidanco Sudirman dengan pangkat Kapten.
Pada tahun 1947, Kapten Muslich diperbantukan di Markas Besar Pertempuran (MBP), Jawa Timur yang dipimpin oleh Mayjen Dr. Moestopo. Sebagai perwira penghubung untuk daerah Madiun dan Blitar, saat itu Muslich sudah menyandang pangkat Mayor. Ketika MBP Jawa Timur dilikuidasi dan dilebur ke dalam Divisi Brawidjaja dibawah pimpinan Kolonel Sungkono, dia ditempatkan di Kediri. Tugas Muslich menjadi penghubung tentara dengan alim ulama dan umat Islam Jawa Timur. Atas jasa-jasanya pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel dan kemudian ditempatkan di Divisi Diponegoro di Semarang. Pada tahun 1951 Jenderal Sudirman wafat, dan Letnan Kolonel Muslich mengajukan permohonan berhenti dari dinas ketentaraan.
Pada suatu kesempatan, Kiai Muslich pernah menyatakan bahwa ia berkawan sangat baik dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Ia termasuk salah seorang penggagas dibangunnya Monumen Jenderal Sudirman di Banyumas beberapa tahun silam. Monumen tersebut dimaksudkan sebagai tanda untuk mengenang jasa tokoh tersebut dalam perjuangan kemerdekaan.
Berdagang
suntingSejak muda, sebagai orang pergerakan Muslich tidak mengabaikan kepentingan ekonomi rumah tangganya. Dan sebagai Laskar dia tidak pernah mengandalkan bayaran. Karena itu ia menerjuni dunia bisnis dengan aneka ragam bidang. Dimulai dengan hanya berjualan kayu bakar, berjualan pakaian, mensuplai kitab-kitab ke pesantren dan lain sebagainya. Usaha tersebut cukup maju, tapi kemudian dia berpindah jenis dagangan dengan berdagang bahan bangunan yang juga maju pesat karena Cilacap memiliki banyak proyek besar, salah satunya pembangunan pelabuhan besar, sehingga usaha materialnya banyak memproleh order untuk menjadi supplier bahan bangunan.
Muslich memulai kariernya dengan menjadi leveransir bahan bangunan hingga kemudian menjadi kontraktor dan subkontraktor ketika pengerjaan jembatan Kali Serayu. Pernah juga menjadi pedagang kambing, untuk dikirim ke Jakarta dan Bandung, dan pernah pula menjadi agen pedagang besi tua dari perusahaan Jepang yang berpusat di Surabaya. Keagenan besi tua itu berhenti karena situasi yang tegang menjelang kemerdekaan kanrea pada saat itu Muslich masuk Hizbullah dan mengikuti latihan kemiliteran di Cibarusah, Bekasi.
Kiai Muslich yang ketika pindah ke Jakarta bertempat tinggal di Gang Mayat Paseban, kemudian pindah ke daerah Utan Kayu Jakarta Timur. Di situ kiai yang tidak mau berhenti berkhidmat tersebut membuka toko penyalur “Sandang Pangan” Usaha Banyumas” yang sangat maju. Muslich kemudian turut mendirikan dan memiliki saham PT.Bank Aman Makmur, Bank Nusantara serta memiliki juga saham pada PT. Pelayaran Samudera Raya Lloyd.
Penghargaan
suntingSebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia pada masa Presiden KH Abdurrahman Wahid menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada KH Muslich. Dengan mendapatkan bintang itu, KH Muslich sesungguhnya dapat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Meskipun demikian, almarhum tetap dimakamkan di pemakaman umum Purwokerto atas permintaan atau wasiat almarhum.
Pranala luar
sunting- (Indonesia) Profil di nu.or.id
- ^ "KH Muslich, Ulama Legislator Pertama". Republika Online. 2008-10-15. Diakses tanggal 2022-02-23.