Mubah (Arab: مباح, "mubāh"; "boleh") adalah status hukum yang menyatakan suatu hal boleh untuk dilakukan manusia dalam syariat Islam sesuai dengan ketetapan Allah. Tidak ada tuntutan untuk mengerjakan ataupun tidak mengerjakan sesuatu yang bersifat mubah. Para ulama ushul fikih umumnya membagi mubah menjadi tiga jenis berdasarkan tindakan melaksanakan atau tidak melaksanakan terhadapa mudarat dari tindakan yang dipilih. Mubah merupakan salah satu kaidah istishhab. Hukum asal mubah berlaku pada makanan dan minuman hingga ada dalil yang mengharamkannya.

Kebahasaan

sunting

Mubah merupakan salah satu status hukum dalam syariat Islam. Status ini merupakan bagian dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah atas perbuatan manusia.[1] Secara bahasa, mubah berarti diizinkan atau dibolehkan. Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fikih sebagai sesuatu yang pelaksanaannya diberikan pilihan.[2] Pilihan ini diberikan kepada mukallaf antara mengerjakan maupun tidak tidak mengerjakannya.[3]

Dalam status mubah tidak ada tuntutan untuk mengerjakan maupun tidak mengerjakan, sehingga sifatnya mengandung kebebasan memilih. Kebebasan ini diberikan oleh Allah sebagai perintah memilih dari Allah kepada mukallaf. Hasil pilihannya tidak mendapat pujian maupun celaan.[4]  

Dari segi manfaat dan kerugian yang diterima oleh pelaksananya, mubah dibagi menjadi tiga jenis oleh ulama ushul fikih. Pertama, mubah yang dikerjakan maupun tidak dikerjakan, tidak memberikan mudarat. Misalnya pada kegiatan makan, minum, mengenakan pakaian dan berburu.  Kedua, mubah yang dikerjakan tidak memberikan mudarat, tetapi perbuatannya dinilai haram secara hukum asalnya. Perbuatan ini misalnya memakan daging babi dalam keadaan darurat. Ketiga, perbuatan yang menjadi mubah karena Allah memaafkan pelakunya, walaupun sifat perbuatan ini memberikan mudarat. Perbuatan ini miisalnya mengawini dua orang perempuan sekaligus yang statusnya bersaudara.[5]  

Fungsi

sunting

Kaidah istishhab

sunting

Dalam kaidah istishhab, mubah dijadikan sebagai kaidah kedua dari empat kaidahnya. Mubah ditetapkan sebagai hukum dasar sesuatu. Kaidah pertama dalam istishhab sendiri menetapkan bahwa hukum dasar sesuatu adalah ketetapannya seperti semula hingga ada dalil yang mengubah ketetapan hukum dasar tersebut. Lalu kaidah ketiga berupa pernyataan bahwa keyakinan tidak akan pernah dirubah dengan keraguan. Sementara kaidah keempatnya menyatakan bahwa hukum dasar dari setiap satu urusan adalah kebebasan dari tanggung jawab, hak dan kewajiban.[6]

Penentuan status

sunting

Kondisi darurat

sunting

Dalam keadaan darurat, status hukum lain dapat diubah menjadi mubah. Namun, status ini hanya berlaku dalam kadar pelaksanaan dan jangka waktu yang terbatas. Pada kondisi darurat, perubahan hukum dapat terjadi dari wajib menjadi mubah atau dari haram menjadi mubah.[7]

Pemberlakuan

sunting

Makanan dan minuman

sunting

Dalam kaidah hukum Islam, segala jenis makanan dan minuman yang ada di dunia sifatnya mubah. Larangan untuk memakan atau meminum sesuatu hanya berlaku ketika ada dalil yang mengharamkannya. Dalil pengharaman ini diterima baik dalam bentuk isyarat, celaan atau secara jelas. Status hukum ini disebutkan dalam Surah Al-Ma'idah ayat 87. Dalam ayat ini juga Allah menyatakan bahwa manusia yang melampaui batas ialah yang mengharamkan sesuatu tanpa alasan yang sesuai dengan syariat Islam.[8]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Harisudin, M. Noor (2019). Mawardi, Ahmad Imam, ed. Pengantar Ilmu Fiqih (PDF). Surabaya: Pena Salsabila. hlm. 2. ISBN 978-602-9045-33-8. 
  2. ^ Hikmatullah dan Hifni 2021, hlm. 21.
  3. ^ Rohidin (Agustus 2016). Nasrudin, M., ed. Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia (PDF). Lampung Timur: Lintang Rasi Aksara Books. hlm. 18. ISBN 978-602-7802-30-8. 
  4. ^ Bahrudin, Moh. (Oktober 2019). Ilmu Ushul Fiqh (PDF). Bandar Lampung: AURA. hlm. 94–95. ISBN 978-623-211-103-5. 
  5. ^ Hikmatullah dan Hifni 2021, hlm. 22-23.
  6. ^ Misbahuddin (Desember 2013). Buku Daras: Ushul Fiqh I (PDF). Makassar: Alauddin University Press. hlm. 202–203. 
  7. ^ Azhari, Fathurrahman (April 2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (PDF). Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin. hlm. 107. ISBN 978-602-17662-9-3. 
  8. ^ Thawilah, Abdul Wahab Abdussalam (Juni 2012). Fikih Kuliner. Diterjemahkan oleh Fath, K., dan Solihin. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 2. ISBN 978-979-592-587-3. 

Daftar pustaka

sunting

Pranala luar

sunting