Orang Jepang di Indonesia

Orang Jepang Indonesia atau Jepindo adalah warga keturunan Jepang yang tinggal di Indonesia. Migrasi orang Jepang ke Indonesia baru terjadi dalam skala besar pada akhir abad ke-19, meskipun sudah ada kontak perdagangan secara terbatas antara Indonesia dan Jepang setidaknya sejak abad ke-17.[3] Populasi ekspatriat Jepang di Indonesia cukup besar, kira-kira 19.717 orang hingga Oktober 2017.[1] Selain itu, ada pula keturunan dari imigran Jepang yang tiba lebih awal di Indonesia. Jumlah warga keturunan Jepang yang hidup dan tinggal di Indonesia sejumlah sekitar 2.500 orang.[butuh rujukan] Mereka tetap menjalin silaturahmi sesama komunitas keturunan Jepang dengan mendirikan Yayasan Warga Persahabatan.[butuh rujukan] Keturunan mereka disebut Nikkei Indonesia[4][5]

Nikkei Indonesia
インドネシアの日本人
(Indoneshia no Nihonjin)
Jepang-Indonesia
Jumlah populasi
19.612 Yang Tercatat Dari 38.135+ (2019)[1][2]
Daerah dengan populasi signifikan
Jakarta, Depok, Bali, Surabaya, Sumatera Utara, Sulawesi
Bahasa
Terutamanya: Jepang dan Indonesia
Juga: berbagai bahasa daerah lainnya di Indonesia
Kelompok etnik terkait
Orang Jepang, Orang Ryukyu

Angka jumlah penduduk yang dikutip hanya terdiri dari warga negara Jepang.
Pawai mikoshi anak-anak pada festival Ennichisai di Blok M, Jakarta.

Sejarah migrasi

Salah seorang penduduk Indonesia keturunan Jepang adalah Saartje Specx, anak perempuan dari gubernur kolonial Belanda Jacques Specx yang menguasai Batavia (sekarang Jakarta) dari 1629 hingga 1632.[3] Dalam statistik pemerintah kolonial 1898 tercatat 614 orang Jepang tinggal di Hindia Belanda (166 pria, 448 wanita).[6] Sejalan dengan makin bertambahnya orang Jepang di Hindia Belanda, Konsulat Jepang dibuka di Batavia pada 1909. Namun statistik penduduk pada beberapa tahun pertama dibukanya konsulat masih agak sembarangan.[7] Laporan konsulat menunjukkan ada 782 migran Jepang yang terdaftar di Batavia pada tahun 1909 (dengan perkiraan ada 400 orang lainnya yang belum mendaftar), ditambah 278 orang (57 pria, 221 wanita) di Medan pada tahun 1910.[8] Dimulai sejak akhir tahun 1920-an, nelayan dari Okinawa mulai menetap di Sulawesi Utara. Di Manado dibuka sebuah sekolah dasar Jepang yang pada tahun 1939 memiliki 18 murid.[9] Secara keseluruhan telah ada 6.349 orang Jepang yang tinggal di Indonesia pada tahun 1938.[10] Setelah berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), kira-kira ada 3.000 prajurit Angkatan Darat Kekaisaran Jepang memilih untuk tinggal di Indonesia dan bertempur bersama-sama rakyat setempat melawan tentara kolonial Belanda pada masa Perang Kemerdekaan. Kira-kira sepertiga dari mereka tewas (di antaranya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata), sementara sepertiga lainnya memilih untuk menetap di Indonesia setelah perang berakhir.[11][12] Pada tahun 1960-an Sukarno meminta pemerintah Jepang memberikan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia untuk belajar ke Jepang sebagai bagian upaya alih teknologi serta bagian dari pampasan perang. Beberapa mahasiswa Indonesia ini kemudian menikahi orang Jepang dan menghasilkan keturunan Nikkei Indonesia. Para mahasiswa Indonesia alumni dari Jepang ini kini bergabung dalam Persada, Persatuan Alumni dari Jepang yang didirikan tahun 1963.[13]

Pada 1970-an, perusahaan Jepang terutama di sektor elektronik mulai mendirikan pabrik-pabrik di Indonesia. Perkembangan tersebut memicu terjadinya gelombang baru migrasi ekspatriat Jepang, terutama manajer dan staf teknik yang dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan besar Jepang.[14] Pada akhir 1990-an juga terjadi arus migrasi sebaliknya dari Indonesia ke Jepang. Sebagian dari Nikkei Indonesia dari Sulawesi mulai bermigrasi ke Jepang untuk bekerja di bidang industri pengolahan makanan laut.[15] Hingga 2004, diperkirakan kira-kira ada 1.200 Nikkei Indonesia menetap di kota Ōarai, Ibaraki.[16] Selain itu, ekspatriat Jepang di Indonesia mengalir keluar secara besar-besaran pada tahun 1998 akibat Kerusuhan Mei 1998 dan kekacauan politik yang menyertainya.[17] Meskipun demikian, satu dekade berikutnya, komunitas ekspatriat Jepang masih menduduki peringkat kedua terbesar di Jakarta setelah orang orang Korea di Indonesia.[14]

Bisnis dan lapangan kerja

Seperti halnya di negara-negara lain di Asia Tenggara zaman kolonial, komunitas Jepang di Hindia Belanda hingga Perang Dunia I sebagian besar bergerak di bidang bisnis prostitusi.[18] Salah satu tempat yang masih menyisakan sejarah itu adalah daerah Kembang Jepun di Surabaya yang pada masa kolonial adalah kawasan prostitusi yang menawarkan perempuan Jepang. Pada tahun 1912, prostitusi ditetapkan sebagai pelanggaran hukum di Hindia Belanda. Namun banyak perempuan Jepang yang tampaknya waktu itu terus menjalankan profesi sebagai wanita penghibur secara diam-diam.[8] Pada tahun 1930-an, fokus ekonomi komunitas Jepang di Hindia Belanda sebagian besar berubah ke bidang pertanian, industri perikanan, dan bisnis eceran menjual barang-barang impor dari Jepang.[10] Ekspatriat Jepang yang datang berikutnya terutama adalah para penanam modal yang berhubungan dengan pabrik elektronik.[14]

Integrasi sosial

Pemerintah Belanda mengklasifikasikan perintis migran Jepang di Hindia Belanda sebagai "oriental asing".[6] Dengan status tersebut berarti mereka tunduk terhadap pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan bergerak, tempat kediaman, dan pekerjaan. Namun pada tahun 1898, mereka diklasifikasikan ulang sebagai "orang Eropa terhormat", dan memberi mereka kesetaraan hukum secara formal dengan pihak kolonial dan pembatasan-pembatasan mereka dihapus.[18] Walaupun telah diberikan kesetaraan formal, citra orang Jepang di mata penduduk lokal masih belum sepenuhnya positif.[6] Semasa Perang Dunia II dan masa pendudukan Jepang di Indonesia, perwira-perwira Jepang banyak yang mengambil wanita setempat sebagai gundik.[3] Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan seperti itu, ketika dibesarkan pada masa pascaperang, mereka sering menjadi sasaran bullying karena keturunan mereka, serta menderita diskriminasi resmi di bawah kebijakan pemerintah yang menomorsatukan pribumi ketika merekrut pegawai negeri sipil.[19]

Sejumlah 759 orang Jepang yang tinggal di Indonesia memiliki hak izin tinggal tetap terutama terdiri dari wanita Jepang yang menikah dengan pria Indonesia.[20] Beberapa di antara mereka bertemu suami sehubungan belajar di luar negeri, baik ketika calon suami sedang belajar di Jepang, atau ketika keduanya sedang belajar di negara-negara berbahasa Inggris seperti Amerika Serikat dan Australia.[21] Sisanya datang ke Indonesia, khususnya Bali sebagai wisatawan, dan bertemu suami mereka di Bali. Jepang adalah salah satu sumber wisatawan untuk Bali, dan wanita Jepang banyak yang menikah dengan pria Indonesia dan tinggal di sana. Pada tahun 1994, seorang peneliti yang meneliti fenomena tersebut memperkirakan waktu itu kira-kira ada 400 wanita Jepang yang tinggal di Bali.[22][23] Sejumlah besar wisatawan dari Jepang adalah wanita muda dari kota. Mereka melihat Bali bukan sebagai tujuan wisata eksotis, melainkan sebagai tempat bernostalgia, menemukan kembali pemandangan masa lalu di Jepang, dan "kembali" ke diri mereka sebenarnya yang mereka rasa telah dibelenggu oleh kehidupan di kota-kota besar Jepang. Di antara mereka, sebagian datang pertama kali sebagai wisatawan, terutama ke Kuta dan Ubud, dan setelah berulang-ulang datang ke Bali, mereka menikah dengan pria setempat.[24] Dalam beberapa kasus, kunjungan-kunjungan tersebut berbentuk "wisata romantis" atau "wisata seks wanita", dengan adanya wanita yang berhubungan dengan pemuda pekerja seks yang dikenal sehari-harinya sebagai "Koboi Kuta".[25][26][27] Pasangan suami-istri Jepang-Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang, atau meskipun kurang umum, menggunakan bahasa Inggris ketika berkomunikasi dengan pasangan, anak-anak, atau cucu, tetapi bahasa Indonesia jauh lebih banyak dipakai ketika berkomunikasi dengan sanak saudara lainnya.[28]

Di Grand Wijaya Center dan Blok M, Jakarta terdapat toko-toko dan usaha yang melayani ekspatriat Jepang, termasuk rumah makan, pasar swalayan yang menjual bahan makanan impor, dan sejenisnya, terutama di Blok M banyak terdapat izakaya.[29]

Media massa

The Daily Jakarta Shimbun adalah satu-satunya surat kabar berbahasa Jepang di Indonesia. Surat kabar ini didirikan pada tahun 1998 oleh Yasuo Kusano, mantan kepala biro Mainichi Shimbun di Jakarta (1981-1986) yang kembali ke Indonesia setelah kejatuhan rezim Suharto. Ia mengetahui terbitan-terbitan yang dilarang terbit semasa Suharto berkuasa, banyak yang diterbitkan kembali, dan memutuskan untuk menerbitkan surat kabar yang menyediakan informasi mendalam dan akurat mengenai proses demokratisasi Indonesia kepada pembaca Jepang. Sejak pertama diterbitkan, sirkulasi surat kabar ini telah berkembang dari 50 eksemplar menjadi lebih dari 4.000 eksemplar.[17]

Tokoh penting

Galeri

Lihat pula

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b MOFA 2011
  2. ^ https://www.mofa.go.jp/mofaj/area/indonesia/data.html
  3. ^ a b c Harsanto, Damar (2008-04-13), "Shining Japan: From mercenaries and sex workers to entrepreneurs", The Jakarta Post, Archived from the original on 2008-04-13, diakses tanggal 2010-04-23 
  4. ^ Meguro 2005, hlm. 49
  5. ^ Shin 2004, hlm. 83; the term "Indonesian Nikkei" is also used therein to refer to Japanese expatriates who have settled permanently in Japan
  6. ^ a b c Shiraishi & Shiraishi 1993, hlm. 8
  7. ^ Murayama 1993, hlm. 89
  8. ^ a b Murayama & 19s93, hlm. 90
  9. ^ Meguro 2005, hlm. 65
  10. ^ a b Fukihara 2007, hlm. 27
  11. ^ Hatakeyama & Hosaka 2004, hlm. 676–677
  12. ^ "秋篠宮ご夫妻、英雄墓地に献花 ジャカルタ", Sankei Shimbun, 2008-01-19, diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-09, diakses tanggal 2010-04-21 
  13. ^ "Persada, Persatuan Alumni dari Jepang". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-09-14. Diakses tanggal 2011-02-07. 
  14. ^ a b c "Changing Faces", The Jakarta Post, 2008-03-28, diakses tanggal 2010-04-23 
  15. ^ Meguro 2005, hlm. 50
  16. ^ Meguro 2005, hlm. 62
  17. ^ a b Hara, Chisato (2009-11-30), "'Jakarta Shimbun' a bridge to Indonesia", The Jakarta Post, diakses tanggal 2010-04-23 
  18. ^ a b Shiraishi & Shiraishi 1993, hlm. 9
  19. ^ Fukihara 2007, hlm. 28
  20. ^ Shin 2004, hlm. 83
  21. ^ Shin 2004, hlm. 84
  22. ^ Suzuki 1997, hlm. 341
  23. ^ Yamashita 2003, hlm. 87, 97
  24. ^ Yamashita 2003, hlm. 94
  25. ^ Toyota 2006, hlm. 171–172, 178
  26. ^ "New Documentary Capture's Kuta Cowboys' Gigolo Lifestyles", The Jakarta Globe, 2010-04-26, diakses tanggal 2010-04-26 
  27. ^ "'Kuta Cowboys' strutting their stuff for lovelorn visitors", The Jakarta Post, 2002-05-05, diakses tanggal 2010-04-26 
  28. ^ Shin 2004, hlm. 87
  29. ^ Hara, Chisato (2008-04-23), "Exploring 'izakaya' in Blok M", The Jakarta Post, Archived from the original on 2008-04-23, diakses tanggal 2010-04-23 

Sumber

Bacaan selanjutnya

  • 栃窪宏男 [Tochikubo Hiroo] (1983), 『二つの祖国を生きた・日系インドネシア人』 [Living with two motherlands: Nikkei Indonesians], サイマル出版会 [Saimaru Shuppansha], ISBN 9784377206098 
  • Astuti, Meta Sekar Puji (2008), Apakah mereka mata-mata? Orang-orang Jepang di Indonesia, 1868- 1942 [Were they spies? Japanese people in Indonesia, 1868-1942], Yogyakarta: Ombak, ISBN 9789793472836, OCLC 222248003 
  • 内野好郎 [Uchino Yoshirō] (2008), "インドネシアにおける日本人団体 [Japanese Organisations in Indonesia]", dalam 小林英夫 [Kobayashi Hideo]; 柴田善雅 [Shibata Yoshimasa]; 吉田千之輔 [Yoshida Sennosuke], 『戦後アジアにおける日本人団体ー引揚げから企業進出まで』 [Japanese Organisations in Postwar Asia: From Evacuation to Corporate Entry], ゆまに書房 [Yumani Shobo], ISBN 9784843327494 

Pranala luar