Manulangi Natuatua

Manulangi natuatua (bahasa Indonesia: menyuap orang tua) tradisi masyarakat Batak yakni memberi makan kepada orang tua.[1] Upacara ini khusus dilakukan kepada orang tua ketika mereka sudah menginjak masa tua.[2] Selain itu, upacara ini biasanya juga dilakukan ketika orang tua tersebut sudah memasuki masa kritis (mendekati kematian).[2][3] Upacara manulangi natua-tua ini hanya dapat dilakukan jika orang tua tersebut sudah memiliki cucu.[1] Umumnya, upacara adat ini dilakukan oleh masyarakat yang berada di daerah perantauan.[1]

salah seorang anak perempuan yang sedang memberikan suapan bagi ibunya (berusia 77 tahun) dalam upacara manulangi natua-tua

Latar Belakang

sunting

Kegiatan masyarakat Batak di dalam tatanan adat dan budaya adalah benar-benar bagian dari hidup dan kehidupan mereka.[4] Kegiatan tersebut dilakukan dengan tetap memikirkan dan berlandaskan pada kelayakan dalam kewajaran yang berpedoman pada adat dan kebiasaan masyarakat.[4] Kegiatan tersebut (tradisi dan upacara adat) di dalam kehidupan masyarakat Batak dianggap memiliki makna dan diyakini oleh mereka yang melakukannya.[4] Dari sekian banyak kegiatan upacara dan acara adat Batak, yang masih sering dilaksanakan ialah manulangi (menyuapi atau memberi makan).[4] Upacara manulangi ini dapat terjadi dalam beberapa konteks peristiwa. Misalnya, seorang wanita yang hamil untuk pertama kali.[1] Contoh lainnya ketika seorang wanita sudah lama tidak melahirkan satu anak pun, pergi beserta suami dan para kerabat ke rumah orangtuanya untuk manulangi dengan tujuan supaya ia diberkati dan melahirkan anak.[1][5] Upacara adat manulangi ini juga dapat dilakukan kepada seorang ayah atau ibu yang sudah tua (manulangi natua-tua) untuk memohon atau meminta berkat darinya.[1]

Unsur-unsur dalam Upacara

sunting

Makan dan makanan adalah hal penting bagi orang Batak.[5] Waktu makan adalah titik terpenting di dalam satu hari.[5] Makanan yang dimakan kaya akan daya tondi (kekuatan) sehingga makan harus dilakukan dalam keadaan damai dan tenang.[5] Kekhasan dalam acara makan masyarakat batak ialah ketersediaan daging sehingga daging harus disiapkan oleh yang melakukan acara.[5] Ada dua jenis daging yang khas yang digunakan oleh masyarakat Batak dalam suatu upacara adat yaitu babi dan kerbau. Kerbau merupakan hewan yang dihargai karena membantu petani membajak sawah.[1] Keunikan dari upacara adat masyarakat Batak ialah daging yang akan dimakan pada saat upacara bukanlah daging yang dibeli di pasar tetapi harus hewan yang disembelih. Terkadang, sebelum hewan disembelih, diucapkan kata-kata yang khidmat (dihatahon) sehingga makanan yang akan dipersembahkan dianggap sudah disucikan (na tinabean) serta mendatangkan keberuntungan.[5] Di antara kebiasaan yang ada kaitannya dengan hidangan makan ialah manulangi.[5] Dengan demikian, makanan dan daging menjadi unsur utama yang harus ada dalam upacara masyarakat Batak, termasuk dalam upacara manulangi natua-tua.[5]

Proses Pelaksanaan

sunting

Pertama-tama, perlu dibicarakan dan diambil kesepakatan dari setiap anak, perihal kapan upacara tersebut akan dilakukan.[2] Upacara baru dapat dilaksanakan, ketika telah dihasilkan kesepakatan bersama dari setiap anak dan semua anak berserta cucu-cucunya berkumpul di rumah orang tua.[2] Pada hari pelaksanaan, semua keturunan dari orang tua ini akan memberikan suapan.[2] Suapan dilakukan secara berurut, mulai dari anak laki-laki paling tua beserta isterinya sampai kepada anak laki-laki paling muda beserta isterinya, dilanjutkan dengan cucu tertua dari anak laki-laki paling tua sampai cucu termuda dari anak laki-laki paling muda, dilanjutkan lagi dengan anak perempuan paling tua beserta suami sampai anak perempuan paling muda, dan terakhir dilanjutkan dengan cucu tertua dari anak perempuan paling tua sampai cucu terakhir dari anak perempuan yang paling muda.[4] Setiap anak akan menyuapi makanan kepada orang tua tersebut sebanyak tiga kali dengan diiringi kata-kata kasih sayang.[5] Terkadang, dalam pelaksanaan upacara ini, digandengkan pula dengan pembagian harta warisan secara paruma tano, paruma gogo (artinya: harta warisan sudah dibagi, tetapi hasilnya masih tetap di tangan orang tua semasa hidupnya) dari orang tua kepada anak-anaknya.[1] Biasanya, khusus untuk hal ini, acara pembagian warisan tersebut dilakukan terlebih dahulu secara intern dengan wasiat tertulis, dan hanya dihadiri oleh kerabat dekat sebagai saksi sebelum upacara manulangi natua-tua dilaksanakan.[1]

Upacara Manulangi Natua-Tua, yang dilakukan dengan memberi makanan, yang masih bisa dinikmati dengan enak dan puas kepada sang orang tua, dimaksudkan sebagai upaya memberi dorongan moral bagi orang tua yang sudah cukup tua.[2] Upacara ini dapat juga dimaksudkan agar penyakit dan bencana menjauh dari orang tua.[5] Bagi para anak dan cucu, upacara ini menjadi kesempatan, yang mana mereka dapat menikmati berkat yang terpancar dari sang orang tua.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i (Indonesia)Nalom Siahaan. 1982. Adat: Dalihan Na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta: Grafina. Hlm. 35. 97, 98
  2. ^ a b c d e f (Indonesia)Gens G. Malau. 2000. Aneka Ragam Ilmu Pengetahuan Budaya Batak. Jakarta: Yayasan Bina Budaya Nusantara. Hlm. 120.
  3. ^ (Indonesia)Lothar Schreiner. 1994. Adat dan Injil: perjumpaan adat dengan iman Kristen di tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 189.
  4. ^ a b c d e (Indonesia) John B. Pasaribu. 2003. Adat Batak Saluran Kasih Sesama Umat Tuhan. Jakarta: Yayasan Obor. Hlm. 42, 60-61, 114
  5. ^ a b c d e f g h i j k (Indonesia) J.C. Vergouwen. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LKIS. Hlm. 103, 112, 113