Mahmud Muhammad Taha

(Dialihkan dari Mahmoud Mohammed Taha)

Mahmud Muhammad Taha (1909 - 18 Januari 1985; bahasa Arab: محمود محمد طه) juga dikenal dengan sebutan Ustad Mahmud Muhammad Taha, adalah seorang ustad Sufi dan insinyur asal Sudan. Pemikirannya yang paling dikenal adalah "Pesan Kedua Islam", yang mendalilkan bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan di Madinah (Surah Madaniyah) hanya sesuai untuk zamannya saja, sementara ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah (Surah Makiyah) bersifat universal, mewakili agama yang ideal, dan akan dihidupkan kembali ketika umat manusia telah mencapai tahap perkembangan yang mampu menerima mereka, dan akan mengantarkan Islam yang diperbaharui berdasarkan kebebasan dan kesetaraan.[1] Ia dihukum mati pada tahun 1985 (saat ia berusia 76 tahun) oleh rezim Gaafar Nimeiry setelah dinyatakan murtad.[2][3]

Mahmoud Mohammed Taha
Infobox orangMahmud Muhammad Taha
Nama dalam bahasa asli(ar) محمود محمد طه Edit nilai pada Wikidata
Biografi
Kelahiran1909 Edit nilai pada Wikidata
Rufa'a (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Kematian18 Januari 1985 Edit nilai pada Wikidata (75/76 tahun)
Khartoum Edit nilai pada Wikidata
Penyebab kematianHanging (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Data pribadi
AgamaIslam Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
SpesialisasiFilsafat Edit nilai pada Wikidata
Pekerjaanteolog, penulis, arsitek, politikus, insinyur Edit nilai pada Wikidata
Partai politikRepublican Brotherhood (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata

Riwayat awal

sunting

Masa kecil

sunting

Mahmud dilahirkan sekitar tahun 1909 atau 1911.[4] Menurut cendekiawan Islam Abdullahi Ahmed An-Na'im, 1909 adalah tahun yang diberikan oleh Mahmud sendiri, mengingat pada saat itu tidak terdapat akta kelahiran.[5] Namun, menurut penulis biografi Mahmud, Edward Thomas, Mahmud sendiri tidak mengetahui secara pasti kapan ia dilahirkan.[4] Tempat kelahiran Mahmud juga tidak pasti.[4] Ada yang mengatakan bahwa ia dilahirkan di Rufa'a, sebuah kota yang terletak di pinggir Sungai Nil Biru di Sudan tengah (yang saat itu dijajah oleh Inggris bersama dengan Mesir).[6] Namun, ada pula yang meyakini bahwa ia berasal dari Heglig (al-Hijaylij), yaitu sebuah dusun yang terletak sekitar 16 km di sebelah utara Rufa'a.[4]

Ia dilahirkan di keluarga yang merupakan bagian dari suku Rikabiya, yaitu suku yang garis keturunannya dapat ditilik kembali ke Ghulamullah bin Aid; Ghulamullah mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad dan tiba di kawasan Dongola, Nubia, pada abad ke-14.[7] Ayah Mahmud, Muhammad Taha al-Malik Fadul, pernah menikah dua kali. Mahmud dilahirkan oleh istri kedua ayahnya, Fatma Mahmud. Mahmud memiliki dua kakak perempuan, yaitu Batul dan Kulsum, serta seorang adik laki-laki yang lahir pada tahun 1913, yaitu Mukhtar. Fatma melahirkan Ahmed al-Mustafa pada tahun 1915, tetapi ia meninggal dunia setelah beberapa bulan. Mahmud juga memiliki satu saudara tiri, yaitu Ahmed wad al-Birr.[8] Ayah Mahmud bermatapencaharian sebagai seorang petani dan memiliki rumah di Heglig maupun Rufa'a.[9] Mahmud menghabiskan masa kecilnya berpindah-pindah di antara kedua tempat ini.[4] Ayahnya juga mempunyai lahan pertanian di Heglig.[4] Selain itu, ia memiliki sebuah mesin penghasil minyak yang terbuat dari batang pohon dan digerakkan oleh unta. Pendapatan tambahan dari mesin ini menjadikan keluarga Muhammad Taha sebagai keluarga yang berkecukupan.[9]

Fatma Mahmud meninggal dunia pada tahun 1915 akibat wabah meningitis yang menjangkit Rufa'a. Muhammad Taha kemudian pindah bersama anak-anaknya ke Heglig. Pada tahun 1920, ayah Mahmud wafat. Mahmud bersama saudara-saudaranya kemudian tinggal bersama dengan nenek mereka dari pihak ibu, Zeinab Hamza, dan paman mereka di Rufa'a.[10] Mahmud dibesarkan oleh seorang wanita muda yang bernama al-Rabb Biyjud, yang kemungkinan adalah seorang mantan budak dari wilayah selatan. Al-Rabb Biyjud membaktikan hidupnya untuk membesarkan Mahmud dan saudara-saudaranya, dan ia tinggal bersama Mahmud hingga akhir hayatnya pada tahun 1970-an.[11]

Pendidikan

sunting

Kurang lebih pada masa ketika ibunya meninggal, Mahmud sempat menjadi murid di sekolah keagamaan Sufi yang disebut "khalwat". Kemungkinan ia belajar di dua khalwat, yaitu di Rufa'a dan Heglig.[12] Ia belajar Alquran dari seorang fakih di khalwat tersebut,[13] tetapi tidak sampai hafal.[6] Setelah ayahnya meninggal, Mahmud tidak mengenyam pendidikannya di madrasah, tetapi di sebuah sekolah biasa.[6] Ia mulai bersekolah saat berumur sebelas tahun dan menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam waktu sebelas tahun; pendidikan dasar saat itu berlangsung selama delapan tahun, sehingga ia kemungkinan juga sempat bekerja. Di sekolah tersebut Mahmud belajar membaca dan menulis dalam bahasa Arab, matematika, serta bahasa Inggris.[14]

Setelah lulus, ia sempat bekerja untuk pemerintah, atau langsung mengambil jurusan teknik di Gordon Memorial College di Khartoum pada tahun 1932.[15] Menurut salah satu teman sekolahnya di Khartoum, Girgis Iskander, Mahmud adalah orang yang "sangat beragama, lebih dari yang lain, dengan sejumput nasionalisme."[16] Pengalaman Mahmud di Khartoum tidak hanya memberikannya kemampuan-kemampuan teknis, tetapi juga membuatnya terpapar dengan gagasan-gagasan dan identitas-identitas baru, serta orang-orang yang lebih kaya darinya.[16] Ia lulus pada tahun 1936.[6]

Kegiatan antipenjajahan

sunting

Bekerja, menikah, dan awal kegiatan politik

sunting

Setelah lulus dari universitas, Mahmud bekerja sebagai seorang insinyur di perusahaan kerata api milik negara Sudan Railways. Pada masa ini ia pergi ke luar Sudan untuk pertama dan terakhir kalinya; ia pernah mengunjungi Mesir untuk waktu yang singkat. Setelah itu ia mulai bekerja di Atbara, yaitu kota yang didirikan oleh Inggris sebagai pusat kereta api di Sudan.[17]

Pada akhir dasawarsa 1930-an dan awal 1940-an, ia ikut serta dalam gerakan yang menuntut kemerdekaan dari kekuasaan Inggris dan Mesir.[18] Mahmud tidak bergabung dengan Muktamar Umum Lulusan (Graduates General Congress, GGC) yang mengampanyekan peningkatan anggaran untuk pendidikan, tetapi ia menjadi salah satu pendiri perkumpulan lulusan di Atbara. Ia merasa bahwa pada saat itu Inggris sudah curiga dengan kegiatannya.[19] Pada masa setelah dimulainya Perang Dunia II di Afrika Timur, ia dipindahkan ke jalur kereta api Tessenei yang terletak di dekat perbatasan dengan Etiopia; Mahmud menganggap pemindahan ini sebagai sebuah penurunan pangkat.[20]

Sebelum keluar dari perusahaan Sudan Railways, Mahmud pulang ke Rufa'a dan menikah pada tahun 1940 atau 1942 dengan Amna Muhammad Lutfi, putri kepala sekolahnya. Amna adalah seorang wanita yang terdidik, dan pada masa itu Mahmud sudah mendukung komitmen ayah Amna dalam memberikan pendidikan kepada wanita. Mengingat Amna telah mengenyam pendidikan, mas kawin yang dibayarkan oleh Mahmud juga dua atau tiga kali lebih besar, yaitu 40 pound Mesir.[21]

Setelah menikah, mereka meninggalkan Rufa'a dan tinggal di sebuah gerbong di kaki Dataran Tinggi Etiopia bersama dengan al-Rabb Biyjud.[22] Muhammad dan istrinya sempat kembali ke Atbara untuk sementara, dan ia kemungkinan masih melanjutkan kegiatan politiknya. Kurang lebih pada masa ketika Muhammad lahir, Mahmud memutuskan untuk mengundurkan diri dari Sudan Railways, karena ia merasa aktivismenya menghambat kemajuan kariernya. Ia lalu bekerja di Sudan Light and Power Company (sebagian dimiliki oleh pemerintah) yang mengelola tram di Khartoum.[23] Pada tahun 1944, Amna kembali ke Rufa'a untuk melahirkan anak pertamanya yang kemudian dinamai Muhammad.[22] Mahmud dan keluarganya kemudian pindah ke Omdurman.[23]

Hizbul Jumhuri, insiden Rufa'a, dan pemenjaraan

sunting

Pada Oktober 1945, Mahmud bersama rekan-rekannya mendirikan Hizbul Jumhuri (Partai Republik). Ia terpilih sebagai pemimpin partai tersebut.[24] Para anggota Hizbul Jumhuri aktif menyebarkan selebaran-selebaran politik.[25] Pada tahun 1946, aparat Inggris menuntutnya untuk menandatangani kesepakatan untuk tidak menerbitkan selebaran-selebaran yang menuntut kemerdekaan.[24] Ia diberi hukuman penjara selama setahun setelah menolak menandatangani kesepakatan tersebut.[26] Tahanan pada saat itu wajib bekerja, tetapi Mahmud menolak melakukan hal tersebut. Ia juga menolak berdiri ketika perwira Inggris datang. Mahmud lalu dimasukkan ke dalam penjara isolasi dan hanya diberi air dan roti. Teman-teman Mahmud mulai memperjuangkan agar ia dilepaskan, dan perlawanan Mahmud menarik perhatian media. Ia akhirnya dilepaskan tanpa syarat setelah 50 hari,[27] tepatnya pada akhir Juli 1946.[28] Saat berada di penjara, Amna kembali ke Rufa'a dan melahirkan seorang anak perempuan yang bernama Asma.[29]

Tak lama setelah dilepas, Mahmud ditangkap lagi.[24] Seorang ibu yang bernama Minayn binti Hakim ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama empat bulan karena telah menyunat putrinya; pada masa itu, penjajah Inggris telah melarang praktik pemotongan kelamin perempuan.[30] Mahmud pun memulai sebuah demonstrasi yang bergerak dari masjid ke merkaz (kantor pemerintahan daerah) di Rufa'a. Massa kemudian membebaskan Minayn dari merkaz tersebut. Minayn ditangkap lagi pada malam yang sama, dan pada hari berikutnya, Mahmud memimpin sekitar seribu orang ke merkaz dan kembali membebaskan Minayn. Keesokan harinya, Inggris mengirim pasukan yang berasal dari suku Nuba. Mahmud memimpin massa yang dipersenjatai dengan tongkat, pedang, dan bedil. Pasukan tersebut melepaskan tembakan, dan beberapa orang terkena peluru. Pada akhirnya situasi berhasil mereda, tetapi Mahmud bersama adknya, Mukhtar, ditangkap. Pada 16 Oktober 1946, mereka diadili di Wad Medani.[31] Mahmud menolak membela diri dan pada akhirnya dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun atas dakwaan hasutan melawan pemerintah.[32]

Menurut penulis biografi Mahmud, Edward Thomas, Mahmud sebenarnya menentang sunat perempuan, tetapi ia juga menolak undang-undang yang melarang praktik tersebut. Ia meyakini bahwa sunat perempuan hanya dapat dihapuskan lewat pendidikan. Walaupun sikap Mahmud membuat orang mengira bahwa ia mendukung praktik tersebut, demonstrasi di Rufa'a tetap dianggap sebagai tindakan perlawanan terhadap penjajah Inggris.[33] Insiden ini juga semakin membuat Mahmud dikenal umum.[32]

Mahmud dijebloskan ke penjara di Wad Medani.[34] Ia sempat membina hubungan dengan dunia luar dan masih meneruskan kegiatannya, tetapi setelah hal ini diketahui oleh aparat, ia dipindahkan ke Penjara Kober di Khartoum.[35] Pada masa pemenjaraan ini, Mahmud memutuskan untuk berkhalwat, yaitu kegiatan menyepi dalam tradisi Sufi.[24][36] Setelah keluar dari penjara pada akhir tahun 1948,[37] ia terus berkhalwat selama tiga tahun. Saat berkhalwat inilah ia mendapatkan ilham keagamaannya dan mencetuskan gagasan teori evolusi hukum Islam (tatwir al-tashri al-Islami ).[24]

Kegiatan Keagamaan

sunting

Awal kegiatan keagamaan

sunting

Sekembalinya dari berkhalwat, Mahmud pindah ke Omdurman bersama keluarganya. Pada masa ini, adiknya, Mukhtar, meninggal dunia akibat wabah meningitis seperti halnya ibunda mereka. Mukhtar pernah menikah lima kali, dan masing-masing istri memiliki anak darinya; Mahmud memutuskan untuk menyediakan nafkah untuk mereka, membelikan mereka rumah di Omdurman, dan membiayai pendidikan mereka. Mahmud kembali bekerja di perusahaan Sudan Light and Power Company dan memiliki cukup uang untuk menanggung keluarganya yang besar. Pada awal dasawarsa 1950-an, ia mundur dari pekerjaannya dan menjadi kontraktor di Khartoum.[38]

Kegiatan kelompok Jumhuri berlanjut setelah Mahmud kembali dari khalwatnya. Dalam pertemuan partai yang diselenggarakan pada November 1951, Mahmud menjelaskan gagasannya mengenai Islam yang baru. Gagasan ini menyeimbangkan kebebasan individu dengan kepentingan masyarakat.[39] Pada tahun 1952, ia menerbitkan buku yang berjudul Qul Hadhihi Sabili ("Inilah Jalanku"). Ia mengumandangkan peradaban Islam yang baru yang memadukan spiritualitas timur dengan kemajuan Barat. Peradaban ini diyakini akan menyebar ke seluruh dunia dan menghasilkan kesatuan spiritual. Ia juga menegaskan pentingnya pendidikan untuk membebaskan budi dan menyatukan kemampuan spiritual perorangan dengan kebutuhan material. Mahmud percaya bahwa manusia dapat mempertahankan kemawasan spiritualnya secara terus menerus dengan mengikuti tariq (jalan) Nabi Muhammad.[a] Di buku ini, Mahmud juga tetap meneruskan kegiatan antipenjajahannya; ia menyerukan pembangkangan sipil untuk mengusir penjajah.[40] Namun, ia tidak lagi menginginkan pendirian sebuah negara Arab-Muslim di Sudan; yang ia inginkan adalah agar Sudan dapat menjadi teladan bagi pemerintahan dunia suatu saat nanti.[41]

Banyak anggota senior Hizbul Jumhuri yang keluar setelah Mahmud beralih dari nasionalisme ke agama. Walaupun begitu, ia berhasil mengumpulkan pengikut-pengikut baru. Ia pun mulai menjadi seorang pemimpin keagamaan, dan ia mengambil gelar "al-ustad", yang merupakan gelar untuk guru agama, alih-alih syekh yang biasa digunakan untuk pemimpin tarekat. Pada tahun 1953, ia menulis surat kepada media yang menyatakan bahwa ia menolak penetapan syariah sebagai landasan undang-undang dasar.[42]

Pada tahun 1953 atau 1954, Amna Lutfi dan anak-anaknya sedang mengunjungi Rufa'a. Salah satu anak Mahmud, Muhammad, tenggelam di sungai saat sedang bermain dengan anak-anak Rufa'a.[43] Pada tahun yang sama, Amna melahirkan seorang anak perempuan yang bernama Sumaya. Pada saat itu, Mahmud sudah jarang bersama dengan keluarganya. Mahmud akhirnya pindah dari Omdurman ke Kosti untuk bekerja sebagai insinyur pompa agrikultur pada tahun 1955.[44] Setelah kepindahan Mahmud ke Kosti, Amna kembali ke Rufa'a, dan dalam kurun waktu sepuluh tahun sesudahnya, Mahmud jarang bertemu dengan istrinya.[44]

Pada saat Mahmud berada di Kosti, Sudan memperoleh kemerdekaannya dari Inggris dan Mesir pada tahun 1956.[45] Walaupun sudah menjadi orang kaya, ia masih berusaha mencari solusi-solusi intelektual untuk masalah kemiskinan, kebodohan, dan ketakutan.[46] Pada tahun 1950-an, ia mengunjungi berbagai masid (pusat keagamaan) dan khalwat di Sudan, dan ia juga meminta panduan dari para syekh Sufi. Ia menjelaskan gagasan-gagasan barunya kepada para syekh, dan kadang-kadang pandangannya memicu pertengkaran.[47]

Mahmud juga mencurahkan gagasannya di bidang pemerintahan pada masa ini. Pada tahun 1955, ia menulis Usus Dastur al-Sudan (Dasar-Dasar Undang-Undang Dasar Sudan) yang menjabarkan gagasan-gagasannya untuk negara Sudan.[48] Pada tahun 1956, Mahmud sempat menjadi bagian dari komite konstitusi yang dibentuk untuk merumuskan undang-undang dasar yang baru. Namun, ia mengundurkan diri setelah memprotes fakta bahwa komite tersebut bertanggung jawab kepada pemerintah alih-alih parlemen.[49]

Konflik dengan Islamis

sunting

Mahmud ingin agar pengetahuan tersembunyi di khalwat-khalwat Sufi dapat disebarluaskan di Sudan.[50] Dalam kata lain, ia ingin agar semua orang "awam" bisa menjadi "khawass" (elit spiritual Sufi).[47] Ia juga berusaha meyakinkan orang bahwa masyarakat dan Islam perlu dibebaskan dari ketakutan. Mahmud sendiri tidak menyampaikan gagasan-gagasan Sufinya yang lebih "liar" di muka umum. Di sisi lain, ia merasa perlu menyadarkan orang akan pentingnya mereformasi syariat sebelum mereka dapat mempelajari gagasan-gagasan Sufi yang lebih mendalam. Pada akhir 1950-an, kuliah yang ia sampaikan di Wad Medani diberi judul "Syariat Islam tidaklah abadi".[50] Islam versi Mahmud juga tidak menerima berbagai dalil fikih, terutama yang terkait dengan hak perempuan.[51] Pada masa itu pula ia banyak menulis artikel di media yang menyatakan bahwa syariat sudah tidak berlaku pada abad ke-20, dan ia terus menyerukan perlunya pendirian sebuah peradaban baru berlandaskan Islam yang akan menggantikan kapitalisme maupun komunisme.[52]

Pada Januari 1960, lembaga Al-Mahadul Ilmi (belakangan menjadi Universitas Islam Omdurman) melayangkan serangan terhadap Mahmud Muhammad Taha.[51] Sejak selesai berkhalwat, Mahmud sudah tidak lagi menunaikan salat lima waktu,[53] walaupun pengikutnya masih harus melakukannya.[51] Menurut Mahmud, ia tidak perlu menjalankan kewajiban tersebut karena ia sudah mencapai tahap wusul (secara harfiah berarti "ketibaan"), yaitu ketika seseorang mencapai kebahagiaan abadi yang menjadi permulaan penyatuan dengan Allah.[53] Akibat hal ini, lembaga Al-Mahadul Ilmi menyatakan bahwa Mahmud adalah seorang kafir yang boleh dibunuh. Murid-muridnya juga dikeluarkan dari Al-Mahadul Ilmi akibat pandangan yang ia kemukakan.[51]

Serangan-serangan yang dilayangkan kepadanya di berbagai masjid membuatnya menulis sebuah buku pendek pada tahun 1960 yang berjudul Al-Islam. Di dalam buku ini, ia berusaha menjabarkan pandangannya mengenai syariat. Ia memulai buku tersebut dengan membahas teori relativitas; menurutnya, energi dan materi dalam teori tersebut merupakan bukti kesatuan antara Allah dengan dunia. Agama diyakini merupakan pengungkapan hasrat akan penyatuan tersebut, dan manusia terus berusaha memperbaiki hukumnya untuk mewujudkan kebebasan individu dalam penyatuan dengan Tuhan. Di buku ini pula ia menjelaskan bahwa Alquran memiliki dua pesan yang berbeda. Pesan yang pertama cocok untuk masa lalu yang masih keras dan belum sempurna, sementara pesan yang kedua sesuai untuk masa depan yang gemilang ketika masyarakat yang adil memungkinkan perkembangan individu secara bebas.[54]

Walaupun begitu, pada masa ini Mahmud sudah tidak diperbolehkan berbicara di berbagai klub, dan media juga diminta untuk tidak menerbitkan artikel-artikelnya. Kelompoknya sendiri juga hanya terdiri dari sekitar 100 anggota (kebanyakan di Wad Medani dan Khartoum) dan pertemuannya diselenggarakan secara tertutup.[55]

Perkara penistaan agama

sunting
 
Salah satu buku karya Mahmud yang diterbitkan pada tahun 1967, Shari‘a – Al-Risala Al-Thania Min Al-Islam (Pesan Kedua Islam)

Setelah rezim militer Presiden Ibrahim Abboud tumbang pada tahun 1964,[56] Mahmud merasa lebih bebas untuk menyampaikan kuliahnya, mengingat ia sudah tidak lagi diawasi oleh kaki tangan Abboud. Pada tahun 1966, ia menulis buku Risalat Al-Salat (Mengenai Salat) yang menjelaskan mengapa ia tidak salat lima waktu. Kemudian, pada tahun 1967, ia menerbitkan Shari‘a – Al-Risala Al-Thania Min Al-Islam (Pesan Kedua Islam). Ia juga menerbitkan dua buku lain pada periode 1966-1968; pendapatan dari penjualan buku-buku ini membantunya memberi nafkah kepada keluarganya. [57] Pada masa ini pula ia merasa bahwa sudah saatnya untuk menyebarkan pengetahuan tersembunyi Sufi kepada khalayak luas.[58]

Pada November 1965, seorang komunis dari Suriah menista Nabi Muhammad di muka umum, dan pemerintahan Partai Umat Nasional pada saat itu pada akhirnya melarang Partai Komunis Sudan. Kelompok Islamis Barisan Piagam Islam kemudian memulai kampanye yang menuntut agar syariat dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar Sudan tahun 1951 yang dirumuskan oleh Inggris.[59] Mahmud mendukung kelompok sekuler pada masa itu. Ia membela sang komunis Suriah (yang telah dimasukkan ke rumah sakit jiwa) ketika pengadilan syariat mengeluarkan pernyataan bahwa penista Nabi punya waktu tiga hari untuk bertobat atau ia harus dibunuh. Menurut Mahmud, "Siapapun yang menutup pintu belas kasihan [Allah] atas nama agama tidak punya hak untuk berbicara tentang agama." Kuliah, artikel, dan selebaran kelompok Jumhuri saat itu juga dipenuhi seruan untuk menegakkan kebebasan berekspresi.[60] Pada tahun 1968, ia juga menanggapi kampanye Barisan Piagam Islam dengan menerbitkan sebuah buku yang berjudul Al-Dastur Al-Islami, Na‘m ... Wa La (Undang-Undang Dasar Islam: Ya ... dan Tidak).[61]

Mahmud mulai berbicara tentang Israel pada tahun 1967. Mahmud sendiri telah menyatakan bahwa nasionalisme Arab adalah suatu bentuk rasisme. Pada tahun 1968, ia menulis bahwa musuh orang Arab bukan Israel, tetapi mereka sendiri, dan ia menyerukan agar negara-negara Arab mengakui keberadaan Israel. Pada hari pertama Perang Enam Hari antara Israel dengan negara-negara tetangganya, Mahmud menyatakan dalam ceramahnya bahwa negara-negara Arab akan kalah dengan teknologi Israel. Di luar ruang ceramah, pegiat-pegiat dari Ikhwanul Muslimin menunggunya dan berteriak "Mahmud adalah agen Zionis!"[62]

Pada November 1968, Mahmud dilaporkan ke pengadilan syariat atas tuduhan penistaan agama. Pengadilan diminta untuk menyatakan Mahmud sebagai seorang murtad, menceraikannya dari istrinya, membubarkan partainya, dan memecat anggota kelompoknya dari jabatan pemerintahan. Walaupun yurisdiksi pengadilan ini hanya terbatas pada urusan hukum keluarga, para hakim menyatakan Mahmud bersalah dan memerintahkannya untuk bertobat dalam waktu tiga hari. Mahmud sendiri menolak menghadiri sidang karena ia merasa pengadilan syariat di Sudan sudah terkontaminasi oleh imperialisme Inggris. Pada saat sidang, ia dan pengikutnya malah berdiri di koridor pengadilan dan membagikan buku-buku mereka. Pada hari yang sama, Mahmud menerbitkan sebuah selebaran yang mengkritik ikatan antara hakim syariat dengan penjajah Inggris: "Aku adalah lawan pertama dan yang paling keras kepala terhadap terorisme kolonialis di negeri ini ... Aku melakukannya ketika hakim-hakim syariat menjilat orang-orang Inggris."[63]

Perkara ini melejitkan nama Mahmud. Koran-koran sekuler memuji Mahmud sebagai seorang "pahlawan nasionalis". Jumlah pengikut Mahmud juga meningkat pesat, dan Universitas Khartoum menjadi pusat kegiatan kelompok Jumhuri. Mahmud berhenti dari pekerjaannya sebagai insinyur dan mencurahkan perhatiannya kepada partainya. Sementara itu, putrinya, Asma, telah menyelesaikan pendidikannya di sekolah dan memulai program studinya di bidang hukum di Universitas Khartoum.[64]

Ikhwanul Jumhuriyun

sunting

Pada Mei 1969, Kolonel Jaafar Nimeiri melancarkan sebuah kudeta dan mendirikan sebuah pemerintahan baru. Mamud kemudian membubarkan partainya secara sukarela dan membentuk partai baru yang disebut Ikhwanul Jumhuriyun (Persaudaraan Republik). Rezim Nimeiri memberangus lawan-lawan politiknya, termasuk kelompok Ansar yang merupakan bagian dari gerakan Mahdi, serta kelompok komunis. Ikhwanul Jumhuriyun tidak mengkritik hal ini meskipun dulu Mahmud pernah bersuara lantang membela hak kelompok komunis pada tahun 1965.[65]

Pada pertengahan tahun 1970-an, semakin banyak wanita yang lulus universitas dan bergabung dengan Ikhwanul Jumhuriyun. Wanita-wanita yang bergabung dengan gerakan ini disebut "Saudari-Saudari Republik". Mereka turut serta dalam perdebatan di jalanan yang diselenggarakan oleh kelompok Jumhuriyun. Walaupun Mahmud menyerukan agar wanita tidak perlu lagi mengenakan jilbab dalam bukunya Pesan Kedua Islam, para Saudari-Saudari Republik masih mengenakan kerudung khas Sudan yang disebut tob untuk menghormati adat-istiadat setempat.[66]

  1. Qul Hadhihi Sabili (1952)
  2. Usus Dastur Al-Sudan (1955)
  3. Al-Islam (1960)
  4. Risalat Al-Salah (1966)
  5. Al-Risala Al-Thania Min Al-Islam (1967)
  6. Al-Dastur Al-Islami Na‘m ... Wa La (1968)
  7. Mushkilat Al-Sharq Al-Awsat (1968)
  8. Al-Islam Bi-Risalatihi Al-Ula La Yuslih Li-Insaniyat Al-Qarn Al-‘ishrin (1969)
  9. Baynana Wa Bayn Mahkamat Al-Ridda (1969)
  10. As’ila Wa Ajwiba, 1 (1970)
  11. As’ila Wa Ajwiba, 2 (1971)
  12. Al-Qur’an Wa Mustafa Mahmud Wal Fahm Al-‘asri (1971)
  13. Tatwir Shari‘at Al-Ahwal Al-Shakhsiyya (1971)
  14. Al-Thawra Al-Thaqafiya (1972)
  15. Ta‘allamu Kayfa Tasallun (1972)
  16. Rasa’il Wa Maqalat, 1 (1973)
  17. Al-Marksiya Fil Mizan (1973)
  18. Al-Din Wal-Tanmiya Al-Ijtima‘iya (1974)
  19. Al-Ustadh Mahmud Muhammad Taha Yuhaddith Al-Nisa’ Fi Huquqihinn (1975)
  20. Dibajat Al-Ustadh Mahmud Muhammad Taha (1984)

Keterangan

sunting
  1. ^ Tariq di sini adalah istilah Sufi, dan kebanyakan Islamis lebih memilih untuk menjalankan "sunnah" yang sudah ditetapkan oleh fikih alih-alih melakukan latihan spiritual seperti kaum Sufi. Lihat Thomas 2011, hlm. 98.

Referensi

sunting
  1. ^ Packer, George (11 September 2006). "The Moderate Martyr". The New Yorker. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-15. Diakses tanggal 29 April 2015. 
  2. ^ Apostacy|International Humanist and Ethical Union
  3. ^ Packer, George (11 September 2006). "The Moderate Martyr: A radically peaceful vision of Islam". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-07. Diakses tanggal 2019-09-21. 
  4. ^ a b c d e f Thomas 2011, hlm. 7.
  5. ^ An-Na'im 1988, hlm. 9, catatan kaki 20.
  6. ^ a b c d An-Na'im 1988, hlm. 9.
  7. ^ Thomas 2011, hlm. 10-11.
  8. ^ Thomas 2011, hlm. 7-8.
  9. ^ a b Thomas 2011, hlm. 8.
  10. ^ Thomas 2011, hlm. 9.
  11. ^ Thomas 2011, hlm. 9-10.
  12. ^ Thomas 2011, hlm. 11.
  13. ^ Thomas 2011, hlm. 11-12.
  14. ^ Thomas 2011, hlm. 38-39.
  15. ^ Thomas 2011, hlm. 44.
  16. ^ a b Thomas 2011, hlm. 54.
  17. ^ Thomas 2011, hlm. 55-56.
  18. ^ An-Na'im 1988, hlm. 9-10.
  19. ^ Thomas 2011, hlm. 58.
  20. ^ Thomas 2011, hlm. 58-59.
  21. ^ Thomas 2011, hlm. 59.
  22. ^ a b Thomas 2011, hlm. 60.
  23. ^ a b Thomas 2011, hlm. 61.
  24. ^ a b c d e An-Na'im 1988, hlm. 10.
  25. ^ Thomas 2011, hlm. 68-69.
  26. ^ Thomas 2011, hlm. 70.
  27. ^ Thomas 2011, hlm. 70-71.
  28. ^ Thomas 2011, hlm. 72.
  29. ^ Thomas 2011, hlm. 71.
  30. ^ Thomas 2011, hlm. 73-74.
  31. ^ Thomas 2011, hlm. 74.
  32. ^ a b Thomas 2011, hlm. 75.
  33. ^ Thomas 2011, hlm. 76.
  34. ^ Thomas 2011, hlm. 79.
  35. ^ Thomas 2011, hlm. 80.
  36. ^ Thomas 2011, hlm. 83.
  37. ^ Thomas 2011, hlm. 85.
  38. ^ Thomas 2011, hlm. 92-93.
  39. ^ Thomas 2011, hlm. 97.
  40. ^ Thomas 2011, hlm. 98.
  41. ^ Thomas 2011, hlm. 98-99.
  42. ^ Thomas 2011, hlm. 99.
  43. ^ Thomas 2011, hlm. 101-102.
  44. ^ a b Thomas 2011, hlm. 102.
  45. ^ Thomas 2011, hlm. 106 & 110.
  46. ^ Thomas 2011, hlm. 111-112.
  47. ^ a b Thomas 2011, hlm. 113.
  48. ^ Thomas 2011, hlm. 107.
  49. ^ Thomas 2011, hlm. 109-110.
  50. ^ a b Thomas 2011, hlm. 114.
  51. ^ a b c d Thomas 2011, hlm. 119.
  52. ^ Thomas 2011, hlm. 122.
  53. ^ a b Thomas 2011, hlm. 112.
  54. ^ Thomas 2011, hlm. 122-123.
  55. ^ Thomas 2011, hlm. 123-124.
  56. ^ Thomas 2011, hlm. 126-127.
  57. ^ Thomas 2011, hlm. 128-129.
  58. ^ Thomas 2011, hlm. 128.
  59. ^ Thomas 2011, hlm. 129.
  60. ^ Thomas 2011, hlm. 130.
  61. ^ Thomas 2011, hlm. 133.
  62. ^ Thomas 2011, hlm. 132.
  63. ^ Thomas 2011, hlm. 133-135.
  64. ^ Thomas 2011, hlm. 138.
  65. ^ Thomas 2011, hlm. 166-167.
  66. ^ Thomas 2011, hlm. 172.
  • An-Na'im, Abdullahi Ahmed (1988), "Mahmud Muhammad Taha and the Crisis in Islamic Law Reform: Implications for Interreligious Relations", Journal of Ecumenical Studies, 25 (1): 1–21 
  • Thomas, Edward (2011), Islam's Perfect Stranger: The Life of Mahmud Muhammad Taha, Muslim Reformer of Sudan, London: I.B. Tauris