Kwee Hing Tjiat (Hanzi: 郭恒節, lahir di Surabaya pada tahun 1891 dan meninggal di Semarang pada tanggal 27 Juni 1939) dulu adalah seorang jurnalis Tionghoa-Melayu dan intelektual Tionghoa peranakan terkemuka pada akhir pendudukan Belanda di Indonesia.[1]

Potret Kwee Hing Tjiat

Kwee menghabiskan masa kecilnya di Surabaya, Hindia Belanda. Ia kemudian bersekolah di sekolah vokasi Burgersavondschool dan kemungkinan juga bersekolah di sekolah Tionghoa (Tiong Hoa Hwee Koan). Pada tahun 1913, saat masih berusia 21 tahun, bersama Lie Biauw Kie, Tjia Tjiep Ling, Tan Tjiang Ling, Liem Thoan Tik, dan Liem Tjhioe Kwie, Kwee mendirikan koran mingguan pertama di Surabaya, yakni Bok Tok.[1]

Pada tahun 1914, Kwee menjadi kepala editor di koran mingguan Tjhoen Tjhioe yang dipimpin oleh Tjoa Jan Hie. Pada tahun yang sama, Kwee juga menjadi kepala editor di Palita asal Yogyakarta.[1] Pada tahun 1916, Kwee diundang ke Batavia, di mana ia dijadikan kepala editor di koran harian Sin Po. Kepala editor Sin Po sebelumnya adalah seorang Eropa, sehingga Kwee adalah orang Tionghoa pertama yang menjabat sebagai kepala editor Sin Po.[2] Di Sin Po, Kwee mengadvokasi nasionalisme Tiongkok dan mengkritik Belanda. Pada saat itu, Kwee percaya bahwa etnis Tionghoa di Hindia Belanda seharusnya tidak melibatkan diri pada urusan politik lokal atau tertarik untuk bergabung ke pasukan pertahanan lokal yang rencananya akan dibentuk (Indië Weerbaar).

Pada tahun 1918, Kwee diutus ke Eropa untuk mewakili Hoo Tik Thay guna membantu perusahaan tersebut dalam mengekspor tembakau. Walaupun begitu, Kwee tetap menulis untuk Sin Po. Kwee berkeliling Eropa selama empat tahun dan pernah tinggal di Berlin selama beberapa waktu. Pada tahun 1921, Kwee menulis buku berjudul "Doea Kapala Batoe", sebuah catatan mengenai politik Tionghoa di Jawa.

Pada tahun 1923, Kwee kembali ke Hindia Belanda, tetapi saat tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, ia ditolak untuk masuk. Kwee kemudian memutuskan untuk tinggal di Shanghai selama sepuluh tahun. Di sana, ia menulis untuk berbagai koran di Tiongkok dan Jawa. Walaupun mendukung nasionalisme Tionghoa, Kwee merasa menjadi orang asing di sana.

Pada tahun 1934, Kwee diperbolehkan masuk ke Hindia Belanda atas jaminan dari Oei Tiong Hauw dari Oei Tiong Ham Concern (OTHC). Dengan dukungan dari OTHC juga, Kwee lalu mendirikan koran Tionghoa-Melayu baru bernama Matahari. Staf di koran tersebut awalnya meliputi Liem Koen Hian, Ko Kwat Tiong, Kwee Tek Hoaij, Kwee Thiam Tjing, Njonja Tjoa Hin Hoei, Nyonya Lim Sam Tjiang, dan Nona Thung Tien.

Didasarkan pada pengalaman hidupnya di Eropa dan Tiongkok, pandangan politik Kwee pun bergeser dan ia menyadari bahwa budaya Tionghoa peranakan lebih condong ke Indonesia daripada Tiongkok. Contohnya, Kwee pernah bertemu dengan duta besar Tiongkok di Vienna, tetapi ia menjadi malu karena tidak dapat berbicara dalam bahasa Mandarin. Pada dekade 1930-an, di bawah pengaruh dari nasionalis Indonesia, Kwee pun mengajukan ide bahwa etnis Tionghoa di Hindia Belanda juga merupakan putra Indonesia.

Kwee Hing Tjiat akhirnya meninggal pada tanggal 27 Juni 1939 jam 19:40 di Semarang pada usia 47 tahun.

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Salmon, Claudine (1981). Literature in Malay by the Chinese of Indonesia : a provisional annotated bibliography. Paris: Editions de la Maison des sciences de l'homme. hlm. 201. ISBN 9780835705929. 
  2. ^ Sin Po Jubileum Nummer 1910-1935 (Djakarta: Sin Po, 1935).

Sumber

sunting
  • Lohanda, Mona. Growing pains: The Chinese and the Dutch in colonial Java, 1890–1942. Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002.
  • Leo Suryadinata. Peranakan Chinese Politics in Java, 1917–1942. Singapore University Press, 1981.