Kompang, Sinjai Tengah, Sinjai

desa di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan


Kompang (disebut pula: Kombang) adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Sinjai Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Sebelum tahun 1957, Desa Kompang merupakan bagian dari Distrik Manimpahoi dalam wilayah Swapraja Sinjai yang dipimpin oleh seorang arung. Setelah itu, statusnya berubah menjadi desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Wilayah Desa Kompang telah dimekarkan sebagian pada tahun 2005 menjadi Desa Gantarang. Pada tahun 2022, Desa Kompang terdiri dari tiga dusun dengan luas 14,23 km2.

Kompang
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Selatan
KabupatenSinjai
KecamatanSinjai Tengah
Kode Kemendagri73.07.04.2003 Edit nilai pada Wikidata
Luas-
Jumlah penduduk-
Kepadatan-
Peta
PetaKoordinat: 5°12′43.74″S 120°3′59.11″E / 5.2121500°S 120.0664194°E / -5.2121500; 120.0664194

Pada dekade 1950-an hingga 1960-an, pemerintahan di Desa Kompang dikendalikan oleh pasukan gerilya Negara Islam Indonesia pimpinan Abdul Kahar Muzakkar. Kemudian pada dekade 1970-an, pemerintahan di Desa Kompang kembali ke Pemerintah Indonesia dalam masa kepemimpinan Presiden Soeharto.

Penduduk di Desa Kompang pada dekade 1960-an memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengandalkan hasil panen berupa jagung, beras dan umbi-umbian. Pada dekade 1970-an, perekonomian di Desa Kompang mengandalkan perdagangan kayu yang diperoleh dari kawasan hutan di Kecamatan Sinjai Tengah. Setelah itu, penduduk di Desa Kompang mengandalkan komoditas berupa kakao dan cengkeh.

Sejarah

sunting

Kompang merupakan salah satu desa yang terletak di pegunungan dalam wilayah Kecamatan Sinjai Tengah. Penyebutan lain untuk Desa Kompang ialah Desa Kombang.[1] Sebelum tahun 1957, Kompang merupakan sebuah desa yang berada dalam wilayah Distrik Manimpahoi, Swapraja Sinjai. Wilayah Desa Kompang pada saat itu dipimpin oleh seorang arung. Desa Kompang pada masa ini terbagi menjadi dua wilayah permukiman yang disebut Gella'. Kedua Gella ini ialah Gella' Bongki dan Gella' Gantarang. Ketika Presiden Soekarno menetapkan pengubahan swapraja menjadi daerah swatantra pada tahun 1957, Desa Kompang menjadi bagian dari Kabupaten Sinjai. Kepemimpinannya dialihkan ke kepala desa. Arung terakhir yang memerintah Desa Kompang ialah Puang Sahibe.[2]

Wilayah administratif

sunting

Wilayah Desa Kompang terletak di dataran tinggi dalam wilayah Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan.[3] Sebelum tahun 2005, wilayah Desa Kompang meliputi empat dusun yakni Dusun Tombolo, Dusun Bonto, Dusun Bonto Laisa, dan Dusun Gantarang. Wilayahnya merupakan bagian dari Kecamatan Sinjai Tengah. Luas wilayahnya adalah 28,43 km2 dengan pusat pemerintahan di Dusun Tombolo. Desa Kompang pada masa ini berbatasan dengan Desa Pattongko di sebelah utara, Desa Saotanre di sebelah timur, Desa Bonto Katute di sebelah selatan, dan Desa Arabika di sebelah barat.[4] Wilayah Desa Kompang kemudian dimekarkan sebagian menjadi Desa Gantarang dengan tiga dusun yakni Dusun Barue, Dusun Mattirowalie, dan Dusun Bontolaisa. Sehingga wilayah Desa Kompang kemudian hanya seluas 13,215 km2. yang terdiri dari tiga dusun yakni Dusun Tombolo, Dusun Bonto, dan Dusun Barugae. Setelah itu, wilayah Desa Kompang berbatasan dengan Desa Pattongko di sebelah utara, Desa Saotanre di sebelah timur, Desa Arabika di sebelah barat dan Desa Gantarang di sebelah selatan. Pusat pemerintahan Desa Kompang setelah pemekaran berada di Dusun Tombolo.[5]

Pada tahun 2022, luas wilayah Desa Kompang adalah 14,23 km2. Persentase luas wilayah Desa Kompang terhadap luas wilayah Kecamatan Sinjai Tengah sebesar 10,97%.[6] Letak Desa Kompang berada pada ketinggian 400–700 meter di atas permukaan laut.[7] Wilayah Desa Kompang telah terbagi menjadi 3 dusun hingga tahun 2022. Ketiga dusun ini terbagi lagi menjadi 12 rukun warga dan 30 rukun tetangga.[8]

Pemerintahan

sunting

Masa pemberontakan Negara Islam Indonesia (1950-an hingga 1960-an)

sunting

Pada dekade 1950-an, terjadi kekisruhan politik di wilayah Kota Makassar yang menyebar di Sulawesi Selatan. Pasukan yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar berusaha mendirikan Negara Islam Indonesia dan mengumpulkan pasukan dari desa-desa pegunungan di Sulawesi Selatan. Desa Kompang menjadi salah satu lokasi perkumpulan pasukan Negara Islam Indonesia.[9] Sejak tahun 1957 hingga 1961, pemerintahan Abdul Kahar Muzakkar di Desa Kompang diwakili oleh Puang Sahibe sebagai kepala desa yang sebelumnya merupakan Arung Kompang.[2]

Pasukan Negara Islam Indonesia di Desa Kompang berhasil ditumpas pada pertengahan dekade 1960-an oleh Batalion 710. Batalion ini kemudian mengambil alih kekuasaan sementara di Desa Kompang dan desa-desa sekitarnya. Selama berkuasa, beberapa anggota dari Batalion 710 diketahui mengganggu penduduk dengan mencuri ternak dan menganggu perempuan-perempuan desa. Selain itu, mereka juga memasuki kawasan hutan dan menebang pohon dengan menggunakan gergaji untuk dijual ke perkotaan sebagai barang dagangan. Karena hal ini, anggota Batalion 710 yang menyeleweng kemudian ditangkap oleh tentara gabungan yang didatangkan Pemerintah Indonesia dari Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi.[9]

Tata guna lahan

sunting

Permukiman

sunting

Awalnya, penduduk di Desa Kompang tinggal di dalam kawasan hutan berdekatan dengan kebun jagung. Namun kemudian diadakan penataan permukiman setelah penumpasan gerakan yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar. Tempat tinggal penduduk dipindahkan ke jalan poros yang terletak pada ketinggian 300–700 meter di atas permukaan laut. Rumah penduduk dibangun secara berdekatan dan berkelompok untuk memudahkan pengendalian warga dan bekas anggota pasukan Abdul Kahar Muzakkar.[10]

Perekonomian

sunting

Pada dekade 1960-an, penduduk di Desa Kompang mengalami kekurangan kebutuhan dasar akibat kekacauan politik dan perpindahan permukiman. Penduduk di Desa Kompang hanya mengandalkan kebun dan lahan untuk menghasilkan sumber makanan pokok berupa jagung dan beras. Sementara makanan tambahan diperoleh dari umbi-umbian. Pendapatan penduduk di Desa Kompang pada masa ini didapatkan melalui penjualan kemiri dan gula merah.[10]  

Pada awal dekade 1970-an, penduduk di Desa Kompang mengadakan perdagangan kayu. Penduduk Desa Kompang memperoleh kayu dari kawasan hutan yang ada di wilayah Kecamatan Sinjai Tengah. Penjualan dilakukan menggunakan truk melalui Jalan Poros Malino–Sinjai. Proses penebangan hutan dilakukan secara perorangan maupun berkelompok.[11]

Pada pertengahan dekade 1970-an, Pemerintah Indonesia dalam kepemimpinan Presiden Soeharto mulai mengalihkan kegiatan perekonomian dari kawasan hutan ke luar kawasan hutan. Desa Kompang menerima bibit cengkeh sebanyak empat ribu bibit yang dibagikan melalui kepala desa. Bibit diperjualkan ke penduduk dengan dua jenis yaitu bibit berbentuk biji dan bibit yang telah berpucuk daun. Bibit berbentuk biji dijual seharga Rp. 25, sedangkan bibit berpucuk daun seharga Rp. 250. Namun penanaman cengkeh hanya dilakukan oleh beberapa orang penduduk Desa Kompang dan berakhir dengan kegagalan karena tidak satu pun bibit yang berhasil tumbuh menjadi pohon.[12]   

Sekitar tahun 1977, budidaya cengkeh digiatkan kembali di Desa Kompang dengan dibekali pengetahuan dari beberapa penduduk yang pernah merantau di Kota Manado. Cengkeh berhasil tumbuh dan mulai berbuah pada awal dekade 1980-an.[12] Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia memberikan komoditas baru bagi penduduk di Desa Kompang yakni kakao. Perusahaan nasional dan perusahaan multinasional memberikan dukungan untuk budidaya kakao dengan menyediakan bibit kakao. menjual pupuk dan pestisida serta membeli biji kakao yang dihasilkan. Kondisi ini membuat penduduk di Desa Kompang mengubah lahan yang digunakan untuk menanam jagung menjadi lahan untuk menanam pohon kakao.[2]  

Pada periode 2008–2013, pohon kakao milik penduduk Desa Kompang mulai menghasilkan buah kakao berwarna hitam. Kondisi ini membuat pohon kakao di Desa Kompang mulai ditebang. Lahan yang ditanami pohon cokelat oleh petani kemudian digantikan dengan pohon cengkeh dan pala.[13] Penjualan cengkeh dilakukan oleh petani di Desa Kompang dengan dua cara. Cara pertama ialah penjualan langsung ke pedagang pengumpul yang memiliki gudang. Sedangkan cara kedua ialah menjual kepada pedagang pengumpul yang mendatangi rumah-rumah penduduk.[14]   

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Salim dan Ni'am 2012, hlm. 23.
  2. ^ a b c Salim dan Ni'am 2012, hlm. 27.
  3. ^ Rahman, dkk. 2013, hlm. 20.
  4. ^ Bupati Sinjai 2005, hlm. 6-7.
  5. ^ Bupati Sinjai 2005, hlm. 7.
  6. ^ Maula 2023, hlm. 10.
  7. ^ Maula 2023, hlm. 11.
  8. ^ Maula 2023, hlm. 18.
  9. ^ a b Salim dan Ni'am 2012, hlm. 23-24.
  10. ^ a b Salim dan Ni'am 2012, hlm. 24.
  11. ^ Salim dan Ni'am 2012, hlm. 25.
  12. ^ a b Salim dan Ni'am 2012, hlm. 26.
  13. ^ Rahman 2013, hlm. 116.
  14. ^ Rahman, dkk. 2013, hlm. 163.

Daftar pustaka

sunting
  • Rahman, A. J., dkk. (2013). Puthut EA, ed. Ekspedisi Cengkeh (PDF). Makassar: Penerbit Ininnawa & Layar Nusa. ISBN 978-602-1963-67-8.