Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

organisasi Indonesia

Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) adalah sebuah gerakan yang dideklarasikan di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, pada tanggal 18 Agustus 2020.[1] Tokoh yang terlibat dalam deklarasi itu antara lain Ahmad Yani, Rocky Gerung, Din Syamsuddin, Gatot Nurmantyo, Rochmad Wahab, Meutia Hatta, Malem Sambat Kaban, Said Didu, Refly Harun, Ichsanuddin Noorsy, Lieus Sungkharisma, Jumhur Hidayat, Abdullah Hehamahua, dan Amien Rais.[2] Ketua Komite KAMI, Ahmad Yani, menyatakan bahwa "KAMI adalah gerakan moral rakyat Indonesia dari berbagai elemen dan komponen yang berjuang bagi tegaknya kedaulatan negara, terciptanya kesejahteraan rakyat, dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".[1] Beberapa tokoh pendiri kelompok ini pernah mendukung Prabowo Subianto pada pemilihan umum Presiden Indonesia 2019, seperti Said Didu, Malem Sambat Kaban, Rocky Gerung, dan Ichsanuddin Noorsy. Refly membantah kelompoknya dibentuk untuk persiapan Pilpres 2024, mengatakan "Kelompok seperti ini pasti berkaitan dengan aktivitas politik. Tapi apakah kami akan mendorong tokoh tertentu (untuk jadi presiden)? Tidak."[3] Delapan poin tuntutan KAMI adalah:[1]

  1. Mendesak penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR untuk menegakkan penyelenggaraan dan pengelolaan negara sesuai dengan (tidak menyimpang dari) jiwa, semangat dan nilai Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dan diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
  2. Menuntut pemerintah agar bersungguh-sungguh menanggulangi pandemi COVID-19 untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dengan tidak membiarkan rakyat menyelamatkan diri sendiri, sehingga menimbulkan banyak korban dengan mengalokasikan anggaran yang memadai, termasuk untuk membantu langsung rakyat miskin yang terdampak secara ekonomi.
  3. Menuntut pemerintah bertanggung jawab mengatasi resesi ekonomi untuk menyelamatkan rakyat miskin, petani dan nelayan, guru/dosen, tenaga kerja bangsa sendiri, pelaku UMKM dan koperasi, serta pedagang informal daripada membela kepentingan pengusaha besar dan asing.
  4. Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah dan DPR untuk memperbaiki praktik pembentukan hukum yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Kepada pemerintah dituntut untuk menghentikan penegakan hukum yang karut marut dan diskriminatif, memberantas mafia hukum, menghentikan kriminalisasi lawan-lawan politik, menangkap dan menghukum berat para penjarah kekayaan negara.
  5. Menuntut penyelenggaraan negara untuk menghentikan sistem dan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta sistem dan praktik oligarki, kleptokrasi, politik dinasti dan penyelewengan/ penyalahgunaan kekuasaan.
  6. Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD dan MPR untuk tidak memberi peluang bangkitnya komunisme, ideologi anti Pancasila lainnya, dan separatisme serta menghentikan stigmatisasi kelompok keagamaan dengan isu intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme serta upaya memecah belah masyarakat. Begitu pula mendesak pemerintah agar menegakkan kebijakan ekonomi dan politik luar negeri bebas aktif, dengan tidak condong bertekuk lutut kepada negara tertentu.
  7. Menuntut pemerintah untuk mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas terhadap pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi, mengubah Dasar Negara Pancasila, sebagai upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945, aga tidak terulang upaya sejenis di masa yang akan datang.
  8. Menuntut presiden untuk bertanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannya serta mendesak lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, DPD dan MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia.

Kehadiran Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair al-Shun pada deklarasi tersebut mengundang kontroversi. Dubes Palestina melakukan klarifikasi pada tanggal 19 Agustus 2020 bahwa dia hanya menghadiri acara itu selama lima menit dan "tidak akan menjadi bagian dari kegiatan politik di Indonesia".[3][4] Deklarasi KAMI di Bandung[5] dan Surabaya dilarang karena berpotensi menyebarkan COVID-19. Sekretaris Komite Kerja KAMI, Syahganda, mengatakan bahwa deklarasi sebelumnya sudah dilakukan tanpa ada masalah, dan masalah baru muncul pada acara-acara yang didatangi Gatot Nurmantyo.[6]

Delapan aktivis KAMI, yaitu Juliana, Devi, Khairi Amri, dan Wahyu Rasari Putri dari KAMI Medan, serta Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Kingkin di KAMI Jakarta, ditangkap terkait dengan unjuk rasa Undang-Undang Cipta Kerja. Anton ditangkap pada tanggal 12 Oktober, sedangkan Jumhur dan Syahganda pada tanggal 13 Oktober.[7] Mereka dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghasutan. Kepolisian menunjukan sejumlah "cuitan di Twitter", "status di Facebook", hingga "ujaran dalam grup WhatsApp" sebagai bukti penghasutan dan ujaran kebencian yang dilakukan para tersangka. Ahmad Yani membantah adanya keterlibatan KAMI dalam unjuk rasa tersebut, mengatakan "Ada gerakan massa, setelah itu ada [tindakan] anarkis; bukannya mengusut anarkis itu tapi malah mencari kambing [hitam], ditujukan kepada pihak-pihak seperti KAMI ini." Pengamat dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol-UI), Hurriyah, menilai bahwa penangkapan ini bermaksud untuk membingkai gerakan-gerakan massa yang menolak UU Cipta Kerja sebagai gerakan yang dimobilisasi, meskipun sebenarnya berasal dari berbagai kalangan seperti buruh, mahasiswa, dan bahkan ormas Islam.[8] Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menganggap penangkapan ini sebagai upaya pemerintah untuk "mengintimidasi" oposisi dan pengkritik penguasa.[9]

Menurut pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin, KAMI muncul karena oposisi di parlemen yang lemah dan mengikuti pemerintah. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menilai kehadiran KAMI spesial karena nyaris tak ada tokoh yang berseberangan dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo.[10] Peneliti politik dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai KAMI bisa mengubah wajah oposisi ekstraparlementer di Indonesia.[2] Sementara itu, pakar politik LIPI Indria Samego menilai bahwa KAMI tidak akan banyak berpengaruh pada peta politik Indonesia dan hanya berfungsi untuk mempertahankan eksistensi pembentuknya.[3]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Luqman Nurhadi A (18 Agustus 2020). "Resmi Deklarasi, Ini 8 Poin Tuntutan KAMI Bentukan Din Syamsuddin dkk". detikNews. Diakses tanggal 15 Oktober 2020. 
  2. ^ a b "KAMI dan Barisan Para Mantan di Gerbong Pengkritik Jokowi". CNN Indonesia. 19 Agustus 2020. Diakses tanggal 15 Oktober 2020. 
  3. ^ a b c Utama, Abraham (19 Agustus 2020). "KAMI: Dubes Palestina hadiri deklarasi kelompok pengkritik pemerintah - 'Kami tidak akan menjadi bagian dari kegiatan politik di Indonesia'". BBC News Indonesia. Diakses tanggal 15 Oktober 2020. 
  4. ^ "Buntut Panjang Dubes Palestina di Acara KAMI hingga Diminta Pulang". detikNews. 20 Agustus 2016. Diakses tanggal 15 Oktober 2020. 
  5. ^ Priatmojo, Dedy; Faris, Ahmad Farhan (8 September 2020). "Deklarasi KAMI di Bandung Dilarang, Gatot Nurmantyo: Saya Tersenyum". Viva.co.id. Diakses tanggal 15 Oktober 2020. 
  6. ^ Gunadha, Reza; Hernawan (30 September 2020). "Soal Pembubaran Deklarasi KAMI, Mahfud MD: Karena Itu Melanggar Hukum". Suara. 
  7. ^ Gunadha, Reza (13 Oktober 2020). "8 Aktivis KAMI Ditangkap Polisi, Gatot Nurmantyo di Mana?". Suara. Diakses tanggal 15 Oktober 2020. 
  8. ^ "Deklarator KAMI Din Syamsuddin hingga Gatot Nurmantyo tuntut Jumhur dkk dibebaskan, polisi beberkan bukti-bukti 'hasutan dan hoaks' tersangka di media sosial". BBC News Indonesia. 13 Oktober 2020. Diakses tanggal 16 Oktober 2020. 
  9. ^ "Jumhur Dijemput Tanpa Surat Penangkapan, Amnesty Indonesia: Intimidasi". Viva.co.id. 15 Oktober 2020. Diakses tanggal 15 Oktober 2020. 
  10. ^ Rasi, Fathor (18 Agustus 2020). "KAMI dan redupnya oposisi di parlemen Oposisi di parlemen dinilai larut dalam irama kekuasaan". Alinea.id. Diakses tanggal 16 Oktober 2020.