Kiagoos Abdul Ghany Aziz
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Kiagoos Abdul Ghany Aziz adalah seorang pedagang Indonesia keturunan Palembang yang sudah berdagang sejak zaman kolonial. Ayahnya, Kiagoos Haji Abdul Aziz, adalah juga seorang pedagang yang hijrah dari Palembang ke Batavia pada tahun 1890. Tiga tahun setelah kepindahannya ke Batavia, Ghany Aziz lahir.
Pada tahun 1904, keluarga ini mempunyai perusahaan yang bernama Firma Kiagoos Abdul Aziz & Co. Perusahaan ini menjual kain batik dari Jawa ke Palembang, dan mendatangkan rotan serta damar dari Sumatera Selatan ke Jawa. Firma Kiagoos Abdul Aziz & Co. didirikan di Jakarta Kota. Ghany Aziz masuk ke bisnis ayahnya pada 1911, ketika usianya 18 tahun. Setelah pergi haji pada 1912 dan kembali ke Hindia Belanda pada 1913, maka jadilah ia seperti kebanyakan pedagang bumiputra Islam, punya gelar haji. Haji Ghany Aziz perlahan memperluas bisnis ayahnya.
Pada tahun 1927 Firma Kiagoos Abdul Aziz & Co. telah punya cabang di Palembang, Padang, Bengkulu, serta agen di Singapura. Warsa 1940, Haji Ghany Aziz mendirikan NV Kiagoos dan perusahaan lainnya, yang pada 1943 sudah mengimpor sejumlah mesin. Bersama Agus Moesin Dasaad, Haji Ghany Aziz menjadi importir kendaraan.
Sebelum Jepang menduduki Indonesia, Haji Ghany Aziz bersama para pedagang lain seperti Agus Moesin Dasaad, Djohan, Djohar, dan Ajoeb Rais, ikut mematahkan monopoli pedagang Tionghoa di Hindia Belanda atas impor tekstil dari Jepang. Ketika Tiongkok perang melawan Jepang, muncul aksi boikot terhadap produk Jepang yang dilakukan para pedagang Tionghoa di Hindia Belanda, tetapi Haji Ghany Aziz dan pedagang pribumi lainnya tak menghiraukan aksi boikot tersebut. Haji Ghany Aziz pernah berkongsi dengan Dasaad dan mendirikan perusahaan bernama Ghandas, akronim nama keduanya. Mereka pernah mendapat pinjaman kredit dari De Javassche Bank.
Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya tahun 1943, Haji Ghany Aziz mendirikan Masayu Trading Coy. Meski keadaan amat sulit, perusahaannya masih mempunyai stok beras, kopi, teh, dan hasil pertanian lainnya. Masih di zaman Jepang, saat usianya menginjak 50 tahun, Haji Ghany Aziz dan kawan-kawannya berkeliling Jawa dengan mengendarai mobil. Semua kawan-kawannya sesama pedagang yang tersebar di sejumlah kota penting di Jawa, diajaknya berkumpul. Pertemuan besar pengusaha Jawa dan Madura itu kemudian melahirkan Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE).
Haji Ghany Aziz pernah mengalami kerugian karena ditipu anak buahnya. Sementara di masa tuanya, dia sudah menyiapkan anak dan menantunya sebagai penerus pengelola perusahaan. Namun, mereka justru lebih dulu meninggal dunia sehingga Haji Ghany Aziz begitu risau. Ketika revolusi kemerdekaan berlangsung, Haji Ghany Aziz tetap berdagang. Dia tak mau angkat senjata karena dia merasa bakatnya adalah dagang. Dia juga tak mau mengumpulkan orang yang siap mati untuk bikin pasukan lalu mengaku diri jadi mayor atau komandan.
Di masa perang itu, Haji Ghany Aziz berdagang di Bandung dengan bendera Masayu Trading Coy yang kantornya beralamat di Jalan Tamblong. Kantornya itu adalah tempat kumpul orang-orang Republiken seperti para wartawan Antara. Namun, tempat usahanya kemudian diobrak-abrik tentara Inggris dan barang dagangannya seperti teh, kopi, dan gula disita.
Dia kemudian menuju daerah Republik. Di Yogyakarta, Haji Ghany Aziz membangun lagi bisnisnya dari bawah, yakni sebagai pedagang arang. Setelah pengakuan kedaulatan, dia kembali ke Jakarta. Berbekal kepercayaan dari pedagang benang keturunan India di Pintu Kecil, dia pun membangun lagi usahanya yang sempat hancur akibat perang. Perusahaan yang didirikan pada 1940-an itu bangkit lagi dan selama puluhan tahun dia pimpin. Awal 1980an, Haji Ghany Aziz memimpin perusahaannya sebagai Direktur PT Kiagoos dan Komisaris PT Masayu. Perusahaan terakhir memakai nama depan istrinya, Masayu Zaleha. Haji Ghany Aziz mempunya dua istri dan delapan anak. Dia wafat di Bandung pada 23 Maret 1989 dalam usia 97 tahun.[1]