Kutha Lasêm-Argasoka atau Kekuwuan Lasem adalah nama sebuah kota kuno (kekuwuan) yang berdiri di bekas reruntuhan Kerajaan Pucangsula pada abad ke-9, negeri Pucangsula diperkirakan hilang akibat bencana alam pada masa meletusnya Gunung Sangkapura di sebelah timur (Pulau Bawean) juga akibat meletusnya Gunung Muria di sebelah barat (Pulau Muria/Pulau Maura/Muryapada). Sebenarnya Kutha Lasem ini tidaklah yang pertama berdiri di tanah Nusa Argapura. Sebelumnya pernah berdiri Kedhatuan Tanjungputri yang terletak di utara-timur Pegunungan Lasem Argapura (sekitar desa Tanjungsari sekarang) dan juga Kerajaan Pucangsula yang terletak di pesisir barat Pegunungan Lasem yang terkenal dengan armada laut wanitanya yang kuat dan kejam. Tanjungputri menjadi desa kecil (penduduknya mengungsi/membuka desa baru di tempat lain) dan Kerajaan Pucangsula hilang akibat bencana alam. Kekuwuan Lasem menempati tanah bekas lautan di dataran rendah sebelah barat lereng Pegunungan Lasem yang mengalami pengendapan dan pendangkalan akibat bencana alam (gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor, sedimentasi). Kota kuno ini didirikan oleh Ki Welug yang bergelar Rangga dan mendapatkan nama kehormatan Widyabadra, sehingga orang menyebutnya Ki Rangga Widyabadra. Ia mendapat gelar tersebut karena menyelesaikan masa belajarnya di padepokan Gambiran oleh Bhikku Gam Swi Lang. Kekuwuan ini runtuh akibat serangan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada untuk menaklukkan daerah Lasem.

Kutha Lasêm-Argasoka

882–1351
Ibu kotaBanjar Karanggan, Lasem
Bahasa yang umum digunakanJawa Kuno, Sanskerta
Agama
Kejawen, Hindu Syiwah, Buddha-Kanung
Akuwu 
• 882-920
Ki Welug Mpu Rangga Widyabadra
• 1345-1351
Mpu Metthabadra
Sejarah 
• Ki Welug Mpu Rangga Widyabadra mendirikan Kutha Lasem
882
• Mpu Metthabadra ditaklukkan Majapahit, lalu Duhitendu Dewi dilatik menjadi Bhre Lasem
1351
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Pucangsula
krjKerajaan
Lasem
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Menurut naskah Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanungyang ditulis oleh Mbah Guru, nama Lasem diambil dari nama Kamala dan Bekasem. Manisan buah Kamala dan olahan Bekasem ini diajarkan oleh Ki Welug (Mpu Rangga Widyabadra, meninggal tahun 920M) kepada masyarakat Banjar Karanggan dan sekitarnya (banjar=desa besar). Ada versi lain yang menyebutkan bahwa Lasem berasal dari kata Alas Asem, maupun versi lain yaitu Lasem berasal dari kosakata Tiongkok, Lao Sam; yang konon artinya adalah hutan jati karena memang dahulu sampai sekarang, Lasem terkenal sebagai penghasil kayu jati berkualitas tinggi.

Membuka hutan dan semak barat Argasoka

sunting

Setelah beberapa masa setelah meletusnya gunung di Sangkapura, Bawean, berbondong-bondong masyarakat Kanung (sangkan-gunung) dari daerah Criwik dan Sindawaya, rombongan ini turun gunung dan membuka lahan pemukiman di sebelah barat Pegunungan Lasem yang kala itu masih berupa rawa-rawa dan hutan belantara. Tokoh yang berperan penting dalam rombongan tersebut adalah Ki Wêkêl dan Ki Wêlug. Mereka adalah kakak beradik dan kemungkinan mereka adalah orang-orang berpengaruh di kalangan masyarakat Kanung di sekitar Dataran Criwik hingga Sindawaya. Alasannya, mereka yang memimpin suatu kelompok masyarakat apalagi di zaman kuno, adalah mereka yang berperan penting di dalam masyarakat, orang yang dituakan, orang bijaksana serta cerdas, disegani dan mereka yang dianggap mampu memimpin masyarakat agar menjadi lebih baik.

Saat sampai di dataran baru tersebut, rombongan pun akhirnya terbagi 2. Mereka yang ikut Ki Wêkêl membuka perkampungan di sebelah barat Sungai Lasem tepatnya di bumi Tegalamba-Karas, sedangan Ki Wêlug membuka perkampungan di barat Gunung Argasoka (Tapaan) tepatnya di bumi Sumbersili. Rombongan Ki Wêkêl mengadu nasib menjadi Tani-pokol, mereka menanam jagung-kodhok, kacang-tholo, dan télo-êlung. Perkampungan yang mereka dirikan ini disebut Têgalamba dan Karas (Karasmula, Karasgêdhé, Karaskêpoh).

Rombongan lain yang dipimpin oleh adik Ki Wêkel yaitu Ki Wêlug, enggan untuk membuka perkampungan terlalu jauh dari daerah asalnya. Mereka membuka kampung di sekitar lereng Gunung Bugêl dan Gunung Gêbang, serta daerah di lembah sebelah barat Peg.Lasem yang tanahnya banyak terdapat sumber mata air dan airnya menggenangi daratan sehingga menjadi rawa-rawa, di sini banyak terdapat ikan kutuk (ikan gabus) dan ikan sili yang ukurannya besar-besar. Dari sanalah, masyarakat tersebut menyebut daerah ini Sumbêrsili. Mereka hidup sebagai Tani-ngothèk, hidup dengan mengunduh buah-buahan yang ada di hutan, serta menangkap ikan-ikan di rawa-rawa. Menurut mereka, titah (manusia) itu sudah memiliki rejekinya sendiri-sendiri ketika terlahir di dunia ini; yang menanam jambu kluthuk itu Sêmut-gêtêm yang membawa biji jambu kluthuk lalu diletakkan di sarangnya di bawah batu. Codhot, Kalong, dan Kelelawar membawa buah-buah, pêlok, dan bêton, kemudian kotorannya berceceran sehingga biji yang mereka makan tersebut tumbuh di mana-mana. Maka, tak ada caranya orang-orang Tani-ngothèk itu untuk repot-repot menanam; pepohonan, buah-buahan, itu semua sudah tumbuh dengan sendirinya di mana-mana, ikan-ikan itu semua sudah berkembang biak dengan sendirinya. Manusia tidak perlu menanam maupun beternak ikan, tinggal mengambil saja yang alam berikan, tinggal mengunduh, tinggal memasang wuwu (bubu).

Dengan kedua pemikirannya yang berbeda, mereka berdua akhirnya membawa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Mengolah hasil alam, mensyukuri apa yang alam berikan kepada mereka, hidup berdampingan dengan alam, serta menjaga kelestarian alam di mana mereka hidup. Hamêmayu hayuning bawånå. Mereka hidup berdampingan, rukun, dalam suasana yang asri dan tenteram. Di tanah yang penuh dengan mata air yang melimpah, di tanah yang rawa-rawanya menyediakan ikan yang melimpah, di tanah yang menyediakan buah-buahan yang melimpah, di tanah yang subur dan memberikan hasil panen yang melimpah. Di tanah ini, beberapa masa ke depan, menjadi tanah yang membawa peradaban besar. Ya, di sinilah kelak Kota Lasem terlahir dan menjadi negeri yang menyimpan banyak cerita.

Ki Welug mendapat gelar kepujanggaan

sunting

Beberapa tahun sudah, Ki Wêlug tinggal di bumi Sumbêrsili. Kampung ini semakin lama semakin maju dan semakin ramai. Sekitar tahun 870 M, seseorang dari Negeri Siam mendarat di pesisir barat Gunung Argasoka, tepatnya di Sunglon èrèng-èrèngé Pongol pesisir tersebut dan membuat permukiman di sana. Seiring berjalannya waktu, kampung tersebut diberi nama Pèrèng. Dia yang datang dari |Thailand|Negeri Siam]] itu adalah seorang Bhikku Buddha bernama Gam Swi Lang. Ia dan masyarakat Kanung yang tinggal di situ kemudian membangun Sanggar dan Pasraman di daerah selatan Pèrèng, menghadap ke barat. Masyarakat menyebut Pasraman itu Gambiran, diambil dari nama Gam Swi Lang berubah pelafalan menjadi Gambiran. Eyang Gam Swi Lang mengajarkan ajaran Buddha-Kanung. Rombongan Gam Swi Lang dan masyarakat Kanung banyak yang menikah dan hidup rukun berdampingan.

Pada tahun 880 M, tepatnya 10 tahun semenjak Eyang Gam Swi Lang mendarat di Pèrèng, Ki Wêlug menemui Bhikku Gam Swi Lang untuk belajar ilmu Agama Buddha dan ilmu-ilmu lainnya. Setelah mengenyam banyak ilmu dan dianggal lulus, Ki Wêlug diwisuda sebagai Pujangga dan mendapat gelar kapujanggan yaitu Mpu Widyabadra. Setelah pulang ke tempat tinggalnya, ia mengajarkan Ilmu-Karya kepada masyarakatnya. Orang-orang Sumbêrsili diajarinya membuat makanan unik, yaitu: 1. Manisan yang dibuat dari Buah Kêmala yang diberi gula; 2. Olahan lauk-pauk yang dibuat dari ikan rawa yang sudah dibersihkan lalu dimasukkan ke dalam klêthing (wadah) ditumpuk-tumpuk bersama nasi jagung dan garam, kemudian diperam 5 hari sampai terjadi fermentasi dan baunya busuk. Makanan ini dinamakan Bêkasêm atau Masin.

Masyarakat membuatnya bothok dan dicampur dengan krambil muda yang sudah diparut, dijadikan lauk dimakan bersama nasi jagung dan sayur elung atau sayur asem kangkung. Setelah makan, mereka bersendawa sambil berseru, ” Hwaeeek… Aduh Sémboook sêgêré!!!” Kemudian mereka memakan manisan Kêmala sambil bersantai tanpa pakaian atas karena keringatnya gêmrobyos, diterpa angin semilir dari Gunung Bugêl, membawa aroma bunga-bunga yang harum menenangkan pikiran.

Orang-orang Tani-ngothèk Sumbêrsili diajak Ki Wêlug untuk membuat batu bata berukuran besar dibuat tembok untuk menanggul sumber mata air yang luber membanjiri desa. Air tersebut dialirkan menuju Sungai Sêmangu dan Kêmandhung lalu merembet ke Sungai Têgalamba dan menuju rawa Narukan. Selain itu, Ki Wêlug juga mengajarkan masyarakat menjadi Kundhi, membuat gerabah. Daerah tempat tinggal para Kundhi itu diberi nama Kundhèn. Selain itu, masyarakat juga diajarkan menjadi Pandhé, tempat tinggalnya diberi nama Pandhéyan. Wanita-wanita kampung Kundhèn diajari membuat Ampo (makanan dari tanah liat), yang bahan tanah liatnya didapat di sekitar Palwadhak (lereng utara Gunung Bugêl) yang terdapat lempung kete-kuning yang apabila dibuat Ampo rasanya agak gurih. Sementara itu, Tani-pokol Têgalamba diajarkan cara menanam Padi yang tanpa membutuhkan banyak air. Bibitnya didapat dari sumbangan orang-orang Siam, padi itu dinamakan Pari Gågå-rancah. Beras yang dihasilkan disebut Krōtōg.

Membangun Kutha Lasem-Argasoka

sunting

Orang-orang Tani-pokol dan Tani-ngothèk yang dipimpin Mpu Widyabadra tersebut merasa guyub dan senang sekali. Masyarakat lalu mengangkat Ki Wêlug Widyabadra menjadi Rangga, Pemimpin Karya. Dia lalu pindah dan membuat tempat tinggal baru yang dinamai Kêranggan. Tak menunggu waktu lama, desa tersebut menjadi semakin ramai seperti kota besar. Kemudian daerah itu dinamakan LASÊM. Ketika daerah itu ditetapkan menjadi KOTA LASEM di musim Bêdhidhing, diadakan upacara agung. Mpu Rangga Widyabadra membuat Candrasêngkala untuk mengingat momen tersebut, yaitu “Akarya kombuling manggala“. Akarya: 4, kombuling: 0, manggala: 8. (Membaca tahun Candrasengkala adalah dengan dibalik angkanya, jadinya adalah 804) Artinya KOTA LASÊM didirikan oleh Ki Wêlug Rangga Widyabadra pada tahun 804 Çaka (882 M). Mpu Widyabadra meninggal dunia pada tahun 920 M, dan abu jenazahnya disemayamkan bersama para leluhurnya di Pundhèn Tapaan, Gunung Argasoka (Tapaan).

Pemberontakan Ra Semi

sunting

Kidung Sorandaka menyebutkan pada tahun 1316 M ayah Patih Nambi yang bernama Pranaraja meninggal dunia di Lumajang. Tokoh Ra Semi ikut dalam rombongan pelayat dari Majapahit. Kemudian terjadi peristiwa tragis di mana Nambi difitnah melakukan pemberontakan oleh seorang tokoh licik bernama Mahapati. Raja Majapahit saat itu adalah Jayanagara putra Raden Wijaya. Karena telanjur percaya kepada hasutan Mahapati, ia pun mengirim pasukan untuk menghukum Nambi.

Saat pasukan Majapahit datang menyerang, Ra Semi masih berada di Lamajang bersama anggota rombongan lainnya. Mau tidak mau ia pun bergabung membela Nambi. Akhirnya, Nambi dikisahkan terbunuh beserta seluruh pendukungnya, termasuk Ra Semi.

Pararaton menyebutkan pada tahun 1318 M Ra Semi melakukan pemberontakan terhadap Majapahit. Berita ini cukup berbeda dengan naskah Kidung Sorandaka yang menyebutkan Ra Semi tewas membela Nambi tahun 1316 M.

Pararaton mengisahkan secara singkat pemberontakan Ra Semi terhadap pemerintahan Jayanagara. Pemberontakannya itu ia lakukan di daerah Lasem. Akhirnya pemberontakan kecil ini dapat ditumpas oleh pihak Majapahit di mana Ra Semi akhirnya tewas dibunuh di bawah pohon kapuk. Pernyataan menurut kitab Pararaton tersebut mirip dengan apa yang ada di sekitar Ngeblek (Ngargomulyo) dimana terdapat makam tokoh besar (tokoh agung) di bawah pohon randu/kapuk. Namun keadaan sekarang, karena proses islamisasi maka masyarakat sekitar menamai makam itu dengan nama Islam. Sungguh hal yang disayangkan.

  1. Mpu Rangga Widyabadra
  2. Ra Semi
  3. Mpu Metthabadra

Peninggalan

sunting

Belum ditemukan secara pasti terkait bukti fisik Kekuwuan Lasem, namun yang bisa kita lihat sampai saat ini adalah

  1. Pertapaan Argasoka di Gunung Tapaan, sebelah barat Vihara Ratanavana Arama Sendangcoyo. Di sana terdapat Punden Tapaan yang berdiri tugu nisan bertuliskan nama-nama tokoh yang diperabukan dan ditempatkan di sana mulai dari Reliqnya Dhatu Kie Seng Dhang (Sindang, Dhatu Tanjungputri), Abu jenazah Dhatu Hang Sam Badra (Bhadrawarman, raja pertama Pucangsula), Abu jenazah Dattsu Sie Ba Ha (Dewi Sibah, putri Hang Sam Badra), Abu jenazah Mpu Rangga Widyabadra (Ki Welug, pendiri Kutha/Kekuwuan Lasem), dan yang terakhir adalah Tumenggung Wilwatikta Mpu Pangeran Santibadra (Tumenggung Wilwatikta; Penulis Kitab Sabda Badra Santi; Pendeta Buddha-Kanung, ayah biologis Kalijaga).
  2. Perkampungan Karas: Desa Karasgede, Dukuh Tegalamba (utara desa Karasgede), mungkin juga Desa Karaskepoh, Dukuh Karasjajar (Doropayung) daerah satu kawasan ini semua memakai awalan 'Karas' seperti yang disebutkan dalam cerita tentang rombongan Ki Wekel yang membuka permukiman di daerah Karasmula.
  3. Perkampungan Karanggan, kini masuk desa Sumbergirang tepatnya di kampung sebelah utara Sungai Kemendung.
  4. Perkampungan Pereng dan Gambiran, konon Gambiran berasal dari kata Gam Swi Lang, guru Mpu Rangga Widyabadra. Kini merupakan kawasan pecinan di Soditan.

Lihat Pula

sunting

Kerajaan Pucangsula

Lasem

Kerajaan Lasem

Kepustakaan

sunting

Mbah Guru. 1996. Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung.

Pranala luar

sunting

gilangsuryas.wordpress.com