Kebijakan afirmasi
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. |
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. Masalah khususnya adalah: ngawur |
Gaya atau nada penulisan artikel ini tidak mengikuti gaya dan nada penulisan ensiklopedis yang diberlakukan di Wikipedia. |
Diskriminasi merupakan tindakan yang salah dalam membedakan secara tidak sah di antara orang-orang dengan tidak berdasarkan prestasi individu, tetapi atas dasar prasangka atau sikap jahat atau tercela secara moral (Velasquez, 2014: 377). Ada beberapa bentuk diskriminasi. Diskriminasi yang disengaja adalah diskriminasi yang disadari dan disengaja. Diskriminasi yang tidak disengaja adalah diskriminasi yang secara tidak sadar atau sengaja dilakukan tetapi disebabkan oleh stereotip. Diskriminasi individu adalah diskriminasi satu atau beberapa individu yang bertindak sendiri. Diskriminasi institusional adalah diskriminasi yang diakibatkan oleh tindakan semua atau banyak orang dalam suatu lembaga dan dari proses serta kebijakan rutin mereka (Velasquez, 2014: 378).
Untuk melawan diskriminasi, harus ada tindakan afirmatif, atau program yang dirancang untuk memastikan bahwa minoritas, perempuan, atau anggota kelompok lain, terwakili secara setara dalam organisasi dan berbagai tingkatannya dengan mengambil langkah positif untuk meningkatkan jumlah mereka ketika kurang terwakili. Apa yang dianggap sebagai "perwakilan yang setara" bergantung pada tujuan program: beberapa bertujuan untuk memiliki proporsi yang sama dari perempuan atau minoritas seperti yang ada di dalam organisasi, dan yang lain bertujuan untuk mencapai keragaman yang diperlukan untuk memenuhi tujuan organisasi (Velasquez, 2014: 379). Pada tahun 1960-an, diskriminasi dipandang sebagai individu dan disengaja; pada tahun 1970-an, hal ini terlihat memiliki bentuk kelembagaan dan tidak disengaja, seperti yang ditunjukkan oleh ―kurangnya representasi‖ dari kaum minoritas atau perempuan, dan harus diperbaiki dengan tindakan afirmatif. Pada 1980-an, beberapa bersikeras diskriminasi hanya bersifat individual dan disengaja, tetapi pada 1990-an, pandangan yang berlaku dapat juga bersifat institusional dan tidak disengaja (Velasquez, 2014: 380). Indikator diskriminasi dapat berbentuk manfaat rata-rata yang diterima kaum minoritas dan perempuan dibandingkan dengan yang lain, proporsi minoritas dan perempuan pada tingkat ekonomi terendah, dan proporsi minoritas dan perempuan pada tingkat ekonomi tertinggi (Velasquez, 2014: 382).
Argumen utilitarian menyatakan bahwa diskriminasi menyebabkan penggunaan sumber daya manusia yang tidak efisien. Argumen berbasis hak menilai bahwa diskriminasi melanggar hak asasi manusia dengan menganggap minoritas dan perempuan sebagai "inferior", dan menempatkan mereka pada posisi sosial dan ekonomi yang lebih rendah. Argumen berbasis keadilan juga menganggap bahwa diskriminasi menghasilkan distribusi tunjangan dan beban yang tidak adil, dan melanggar prinsip formal kesetaraan dengan membedakan antara orang- orang berdasarkan karakteristik yang tidak relevan dengan kinerja pekerjaan. Prinsip kesetaraan menegaskan bahwa individu yang sederajat dalam segala hal yang relevan dengan jenis pekerjaan yang dimaksud harus diperlakukan sama meskipun mereka berbeda dalam hal lain yang tidak relevan (Velasquez, 2014: 395).
Kemudian yang lebih memperhatinkan adalah mengenai pelecehan seksual, yang dalam kondisi tertentu, dapat berupa rayuan seksua l, dan kontak verbal atau fisik lainnya yang bersifat seksual (Velasquez, 2014: 395). Selain ras dan gender, diskriminasi dapat didasarkan pada usia, orientasi seksual, identitas seksual, disabilitas, dan obesitas (Velasquez, 2014: 400). Untuk melawan segala bentuk diskriminasi tersebut diperlukan status hukum tindakan afirmatif. Tindakan afirmatif adalah legal bila digunakan untuk memperbaiki ketidakseimbangan ras atau gender yang diakibatkan oleh diskriminasi sebelumnya, atau untuk mengoreksi―ketidakseimbangan yang ―terus-menerus terjadi, dan ―ketidakseimbangan rasial yang tidak disebabkan oleh diskriminasi sebelumnya (Velasquez, 2014: 406).
Argumen utilitarian untuk tindakan afirmatif menilai bahwa tindakan afirmatif memberi manfaat bagi kaum minoritas dan perempuan yang membutuhkan, dan dengan demikian meningkatkan utilitas (Velasquez, 2014: 408). Argumen keadilan untuk tindakan afirmatif menyatakan bahwa tindakan afirmatif akan memberikan kesempatan yang sama dengan distribusi pekerjaan yang lebih adil, dengan menetralkan efek bias yang tidak disadari yang mempengaruhi penilaian tentang minoritas dan perempuan, dan dengan menempatkan perempuan dan minoritas pada posisi yang tidak dirugikan dan lebih kompetitif dalam persaingan dengan laki- laki. Mengambil tindakan afirmatif adalah cara yang diperbolehkan secara moral untuk memberikan kesempatan yang sama, dan ini bukan bentuk ―diskriminasi terbalik‖ karena tidak didasarkan pada penilaian yang tidak jujur tentang inferioritas laki- laki atau bertujuan untuk menghancurkan kesempatan yang sama (Velasquez, 2014: 410).
Kebijakan Afirmasi: Kuota keterwakilan perempuan di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia
Kemudian berkaitan dengan persentase jumlah perempuan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sistem kuota untuk mempromosikan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dunia telah menyebar ke lebih dari seratus negara. Difusi kuota gender menimbulkan sering diadopsi di negara- negara di mana perempuan berstatus rendah. Mempromosikan kesetaraan gender, termasuk melalui kuota gender, telah menjadi bagian penting dari promosi demokrasi internasional. Legitimasi internasional mengarahkan kuota gender untuk diadopsi melalui dua jalur kausal: secara langsung, melalui operasi perdamaian pascakonflik, dan secara tidak langsung, dengan mendorong negara-negara, terutama yang bergantung pada bantuan asing, untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap demokrasi dengan mengadopsi kuota (Bush, 2011: 103).
Kritikus sering menggambarkan kuota sebagai pelanggaran prinsip meritokratis dan individualistis demokrasi liberal, serta diskriminatif terhadap laki- laki. Ada beberapa strategi untuk mengatasi kritik tersebut, seperti menghindari penggunaan istilah 'diskriminasi positif', yang seolah-olah menunjukkan bahwa kuota mendiskriminasi laki- laki, padahal kuota seharusnya dianggap sebagai kompensasi atas diskriminasi terhadap perempuan. Kuota tidak menantang hak individu, tetapi kuota menantang hak prerogatif partai politik dalam perannya sebagai gatekeeper. Dengan memperkenalkan persyaratan untuk jumlah minimum perempuan dalam daftar calon, atau kesetaraan gender, kuota memberi pemilih 'kesetaraan kesempatan yang nyata' untuk memilih antara laki- laki dan perempuan. Dengan demikian, kuota berperan penting dalam mengatasi hambatan eksklusivitas signifikan yang ada di partai politik, yang ditopang oleh kekuatan untuk mencalonkan kandidat (Dahlerup, 2004: 14).
Dalam pemilihan umum DPR tahun 2019, sebanyak 21 persen dari total 575 kursi di DPR ditempati oleh perempuan. Jumlah tersebut meningkat 22 persen menjadi 118 kursi dari pemilihan umum sebelumnya yang hanya sebanyak 97 kursi (Setiawan, 2019). Tren peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif terutama terjadi sejak pemilihan umum 1999 hingga Pemilu 2009. Pada Pemilu 1999 (9%), Pemilu 2004 (11,8%), dan Pemilu 2009 (18%) (Mulyono, 2010: 1). Kemajuan ini tidak terlepas dari kebijakan afirmasi Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Pada kelembagaan partai politik, kebijakan afirmatif juga dilakukan dengan mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam penidirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat (Mulyono, 2010: 2). Dengan mewajibkan partai untuk mencalonkan perempuan, hal ini menciptakan permintaan ―artifisial‖ untuk kandidat perempuan di partai; dan dengan meyakinkan perempuan bahwa mereka memiliki tempat, hal ini membangkitkan kepercayaan yang lebih besar dari calon perempuan potensial bahwa mereka memiliki peluang (Aspinall et al, 2021).
Penting untuk memahami tanggung jawab normatif dan mekanisme kelembagaan formal apa yang diperlukan untuk memungkinkan anggota parlemen perempuan mengubah keluaran kebijakan. Ditegaskan juga bahwa, karena kehadiran mereka, jumlah perempuan yang lebih banyak di parlemen dapat menginspirasi perubahan budaya dan 'psikologis' di parlemen (Dahlerup, 2004: 15). Namun, bahaya asumsi bahwa perempuan secara otomatis akan membuat banyak perbedaan di parlemen juga diperlu diperhatikan. Kuota penting karena memberi perempuan akses ke struktur kekuasaan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses penetapan agenda. Tetapi perempuan di parlemen perlu didukung oleh gerakan perempuan dan masyarakat sipil dan memiliki basis kekuatan. Juga penting untuk menjalin aliansi dengan kelompok laki- laki. Jika tidak, ada risiko bahwa perempuan dapat distigmatisasi (ketika dipilih melalui kuota) dan dengan demikian ditinggalkan dari arus utama politik (Dahlerup, 2004: 16).
Perserikatan Bangsa-Bangsa meringkas argumen untuk lebih banyak perempuan dalam politik ke dalam enam kelompok: argumen keadilan, yang menurutnya perempuan berjumlah sekitar setengah dari populasi dan oleh karena itu memiliki hak untuk diwakili secara setara; argumen pengalaman (pengalaman perempuan berbeda dari laki- laki dan perlu direpresentasikan dalam diskusi yang menghasilkan pembuatan kebijakan dan implementasi); argumentasi kepentingan (kepentingan laki- laki dan perempuan berbeda dan bahkan saling bertentangan sehingga dibutuhkan perempuan dalam lembaga perwakilan untuk mengartikulasikan kepentingan perempuan); argumen massa kritis (perempuan mampu mencapai solidaritas tujuan untuk mewakili kepentingan perempuan ketika mereka mencapai tingkat keterwakilan tertentu); argumen simbolis (perempuan tertarik pada kehidupan politik jika mereka memiliki panutan di arena), dan argumen demokrasi (representasi yang setara antara perempuan dan laki- laki meningkatkan demokratisasi pemerintahan baik dalam demokrasi transisi maupun konsolidasi) (Shreeves et al., 2019: 5).
Ini membedakan antara manfaat tradisional (berdasarkan instrumen hak asasi manusia dan standar internasional untuk lembaga demokrasi), manfaat bagi partai politik (perempuan dan laki- laki membawa perspektif yang berbeda, dan partai dapat menuai manfaat dengan menempatkan lebih banyak perempuan, karena meningkatkan citra partai dan strategi pemilu dan memerangi penurunan keanggotaan partai), manfaat bagi politisi perempuan (memungkinkan mereka untuk memainkan peran yang lebih menonjol dalam proses politik dan mengubah persepsi mengenai kapasitas perempuan) dan manfaat bagi masyarakat (lebih banyak perempuan yang berkuasa akan meningkatkan kesadaran akan isu- isu kebijakan yang mempengaruhi perempuan dan diskriminasi berbasis gender dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem politik, karena dianggap lebih mewakili pemilih) (Shreeves et al., 2019: 6).
Kuota telah terbukti menjadi cara paling efektif untuk mencapai keseimbangan gender ya ng lebih baik. Perempuan memiliki hak sebagai warga negara atas keterwakilan yang setara. Pengalaman hidup perempuan sama validnya dengan pengalaman hidup laki- laki dalam politik dan parlemen. Perempuan yang memiliki kualifikasi sebaik laki- laki terkadang diremehkan dalam sistem atau budaya politik yang didominasi laki- laki. Kuota bagi perempuan tidak mendiskriminasi, melainkan mengimbangi hambatan yang menghalangi perempuan mencapai keterwakilan yang setara di parlemen. Kuota menyiratkan bahwa ada beberapa perempuan bersama dalam sebuah komite atau majelis, sehingga meminimalka n stres yang dialami oleh perempuan. Kuota dapat berkontribusi pada proses demokratisasi dengan me mbuat proses pencalonan menjadi lebih transparan. Jika perempuan berkinerja baik, pemilih cenderung lebih bersedia memilih calon perempuan dalam pemilu mendatang, bahkan tanpa kuota. Peningkatan keterwakilan akan mempercepat kemungkinan bahwa perempuan lain akan mencalonkan diri dan memenangkan pemilihan dengan menyediakan panutan. Lebih banyak perempuan di parlemen memberi manfaat bagi masyarakat dengan memanfaatkan lebih banyak bakat dan sumber daya dan memperkuat partisipasi demokratis (McCan, 2013).
Masyarakat yang inklusif secara sosial dianggap sebagai prinsip dasar pemerintahan demokratis yang memungkinkan perempuan 'memiliki suara' dalam membuat keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Hal ini berkaitan dengan argumen yang semakin populer bahwa perempuan berhak atas kewarganegaraan yang setara dan bahwa 'partisipasi politik adalah hak asasi manusia'. Mempromosikan peningkatan kepemimpinan politik perempuan dan kesetaraan gender adalah masalah pembangunan, masalah hak asasi manusia dan juga kewajiban moral. Parlemen yang lebih inklusif juga memiliki kapasitas untuk memperkuat keterlibatan sipil dan partisipasi demokratis di antara warganya. Tersirat dalam pandangan ini adalah bahwa legislatif harus inklusif, mencerminkan keragaman masyarakat yang mereka layani dan memanfaatkan sumber daya dan keterampilan seluruh masyarakat. Penelitian internasional menunjukkan bahwa legislator perempuan cenderung membawa perspektif yang berbeda tentang isu-isu politik, dan kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen cenderung memiliki 'konsekuensi penting untuk agenda kebijakan publik serta legitimasi badan-badan demokrasi' (McCan, 2013).
Drude Dahlerup membedakan antara pendekatan ―fast track‖ yang menggunakan kuota legal untuk secara langsung meningkatkan jumlah perempuan di parlemen, dan 'jalur inkremental' yang melibatkan berbagai strategi seperti program pelatihan dan pendampingan bagi calon perempuan, serta sebagai kebutuhan akan perubahan sosial dan budaya yang lebih luas yang mengatasi ketidaksetaraan gender. Dalam demokrasi liberal, mereka yang menentang kuota gender berargumen bahwa kuota tersebut merusak prinsip merit. Prinsip merit adalah konsep teoretis penting yang melekat dalam undang- undang kesempatan yang sama dan dirancang untuk menghindari diskriminasi. Ini mendasari praktik pekerjaan layanan publik, dan berarti bahwa keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan harus 'hanya didasarkan pada kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan relatif setelah persaingan yang adil dan terbuka yang menjamin bahwa semua menerima kesempatan yang sama'. Inti dari perdebatan ini adalah apakah parlemen harus bertujuan untuk kesetaraan kesempatan atau kesetaraan hasil. Dahlerup menjelaskan bagaimana kuota gender berusaha untuk memperluas gagasan liberal klasik tentang kesempatan yang sama, di mana hambatan formal untuk kesetaraan dihapus, untuk memasukkan 'kesetaraan hasil' yang memperhitungkan faktor- faktor lain yang menghambat kandidat perempuan. Kesempatan yang sama sebenarnya tidak ada hanya karena hambatan formal dihilangkan. Diskriminasi langsung dan pola kompleks hambatan tersembunyi menghalangi perempuan untuk dipilih sebagai kandidat dan mendapatkan bagian pengaruh politik mereka. Dengan demikian, kuota dan bentuk-bentuk tindakan positif lainnya merupakan sarana menuju pemerataan hasil (McCan, 2013).
Kuota menyiratkan penetapan tujuan tetap untuk perekrutan perempuan atau kelompok lain yang kurang terwakili dalam daftar kandidat atau di antara mereka yang terpilih untuk dengan cepat mengubah ketidaksetaraan yang tidak diinginkan. Kuota gender elektoral dengan demikian merupakan kebijakan tindakan afirmatif untuk pemilihan umum. Di satu sisi, kuota gender elektoral adalah jawaban sederhana untuk masalah yang sangat kompleks: yaitu pengucilan historis perempuan dari kehidupan publik (Dahlerup, 2009: 22). Kuota gender elektoral adalah jenis tindakan khusus atau tindakan afirmatif yang dirancang untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan. Mereka dapat diamanatkan melalui perubahan konstitusi atau legislatif untuk menciptakan kursi kuota kandidat yang sah, atau dicapai melalui kuota sukarela yang diadopsi oleh masing- masing partai politik. Kuota gender telah mendapat dukungan dari organisasi- organisasi internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan telah terbukti efektif dalam 'mempercepat' keterwakilan politik perempuan. Sementara kuota gender menawarkan mekanisme untuk meningkatkan jumlah perempuan di parlemen, negara- negara juga membutuhkan strategi jangka panjang yang mengatasi hambatan historis terhadap partisipasi perempuan dan secara aktif mempromosikan parlemen yang peka gender (McCan, 2013).
Tindakan afirmatif adalah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesempatan di tempat kerja atau pendidikan kepada bagian masyarakat yang kurang terwakili dengan mempertimbangkan warna kulit, ras, jenis kelamin, agama, atau asal negara. Badan usaha dan pemerintah melaksanakan program tindakan afirmatif untuk meningkatkan jumlah orang dari kelompok tertentu dalam perusahaan, lembaga, dan bidang masyarakat lainnya. Kebijakan tersebut berfokus pada demografi yang secara historis memiliki keterwakilan rendah dalam posisi kepemimpinan, peran profesional, dan akademisi, dan sering dianggap sebagai sarana untuk melawan diskriminasi historis terhadap kelompok tertentu. Tindakan afirmatif berusaha untuk membalikkan tren historis diskriminasi terhadap identitas individu dengan memberikan bantuan kepada kelompok yang diidentifikasi sebagai subjek diskriminasi di masa lalu atau saat ini. Kebijakan tindakan afirmatif berusaha untuk melakukan perubahan melalui berbagai cara seperti mensyaratkan kuota tertentu terpenuhi saat perekrutan, memberikan dukungan keuangan dalam bentuk hibah dan beasiswa, dan menolak pendanaan dan kontrak pemerintah kepada lembaga yang gagal memenuhi kriteria yang dipersyaratkan (Kenton, 2021).
Kebijakan Afirmasi: Beasiswa untuk Pelajar dari Daerah Tertinggal
Beasiswa adalah cara untuk memastikan bahwa warga biasa dan orang-orang dari daerah terpencil dapat mengakses pendidikan berkualitas terlepas dari posisi sosial ekonomi. Paradigma ini diambil oleh Pemerintah Indonesia yang memfokuskan misi mereka untuk membantu orang- orang dari kelompok tertinggal mengakses program pascasarjana terlepas dari usia dan hambatan geografis. Beasiswa ini bertujuan untuk menciptakan pemimpin baru yang dapat membawa perubahan sosial di komunitas mereka. Dalam hal ini, tujuan pendidikan tinggi tidak hanya untuk berkontribusi pada perekonomian nasional melalui efek multiplier, tetapi untuk memberikan hak dalam pendidikan. Tindakan dari institusi dan pemerintah yang bertujuan untuk pemerataan dan keadilan sosial melalui pendidikan tinggi harus mencakup dua aspek: memastikan akses yang sama ke pendidikan dan bahwa lulusan dapat berpartisipasi dalam arena tenaga kerja setelahnya. Namun, selama struktur sosial tidak menawarkan kesempatan yang sama, siswa dari kelompok yang kurang beruntung kemungkinan akan memperoleh keuntungan terbatas dalam hal mobilitas sosial setelah lulus — kredensial pendidikan tinggi hanyalah salah satu faktor dalam mobilitas sosial (Alta & Sudrajat, 2020).
Referensi:
Crowther, D. & Aras, G. (2010). Corporate Social Responsibility. Ventus Publishing ApS. Diakses dari BookBoon.com
Khan, A. (2018). INDONESIA CORPORATE GOVERNANCE MANUAL (2nd Ed.). Washington,
D.C.: International Finance Corporation. Velasquez, M. G. (2014). Business Ethics: Concepts and Cases (7th ed.). Edinburgh Gate: Pearson Education Limited
Kant, I. (1983). Ethical Philosophy. Cambridge: Hackett Publishing Company.
Kinicki, A., dan Fugate, M. (2018). Organizational Behavior: A Practical, Problem Solving Approach (2nd ed.). McGraw-Hill: Boston.
Sandel, M. J. (2009). Justice: What’s the right thing to do?. New York: Farrar, Straus and Giroux. Taylor, F. (1911). Principles of Scientific Management. London: Harper and Brothers.
Velasquez, M. G. (2014). Business Ethics: Concepts and Cases (7th ed.). Edinburgh Gate: Pearson Education Limited
Aspinall, E., White, S., & Savirani, A. (2021). Women’s Political Representation in Indonesia: Who Wins and How? Journal of Current Southeast Asian Affairs, 40(1), 3–27. https://doi.org/10.1177/1868103421989720
Bush, S. (2011). International Politics and the Spread of Quotas for Women in Legislatures. International Organization, 65(1), 103-137. Retrieved June 15, 2021, from http://www.jstor.org/stable/23016105
Cox, T. H. & Blake, S. (1991). Managing Cultural Diversity: Implications for Organizational Competitiveness. The Executive 5: 45–56
Davis, C. R. (1996). The Administrative Rational Model and Public Organization Theory. Administration & Society, 28(1), 39–60. https://doi.org/10.1177/009539979602800102
Ely, R. J. & Thomas, D. A. (2001). Cultural Diversity at Work: The Effects of Diversity Perspectives on Work Group Processes and Outcomes. Administrative Science Quarterly, 46(2), 229–73.
Fort, Timothy L. and Noone, James J. (2000) "Gifts, Bribes, and Exchange: Relationships in Non- Market Economies and Lessons for Pax E-Commercia," Cornell International Law Journal: Vol. 33: Iss. 3, Article 4.
Gössling, T., van Liedekerke, L. Editorial: The Caring Organisation. J Bus Ethics 120, 437–440 (2014). https://doi.org/10.1007/s10551-014-2158-z
Jones, A. (2013). A Bitter Pill That Must Be Swallowed: An Ethics Based View of Corruption. Diakses 8 April 2021, dari https://ualr.edu/socialchange/2013/10/26/a-bitter-pill that-must-be- swallowed-an-ethics-based-view-of-corruption
Joshi, A. & Roh, H. (2009). The role of context in work team diversity research: A meta-analytic review. Academy of Management Journal, 52(3), 599-627.
Kochan, T., Bezrukova, K., Ely, R., Jackson, S., Joshi, A., Jehn, K., Leonard, J., Levine, D. & Thomas, D. (2003). The Effects of Diversity on Business Performance: Report of the Diversity Research Network. Human Resource Management, 42(1), 3–21.
Logue, N. C. ―Cultural Relativism or Ethical Imperialism? Dealing with Bribery across Cultures.‖ In Paper presented at CBFA Conference, San Diego, California, USA, 13–15 October 2005.
Meena Dhanda. (2000). Representation for Women: Should Feminists Support Quotas? Economic and Political Weekly, 35(33), 2969-2976. Retrieved June 15, 2021, from http://www.jstor.org/stable/4409625
Michael K. Ross, Affirmative Action at Work: Law Politics, and Ethics, 90 MICH. L. REV. 1356 (1992). Available at: https://repository.law.umich.edu/mlr/vol90/iss6/15
OECD (2017), The Detection of Foreign Bribery, Chapter 2. The Role of Whistleblowers and Terjesen, S., & Sealy, R. (2016). Board Gender Quotas: Exploring Ethical Tensions From A Multi- Theoretical Perspective. Business Ethics Quarterly, 26(1), 23-65. doi:10.1017/beq.2016.7
Thomas, R. (2017). Ethics Analysis: Foreign Bribery. Diakses 8 April 2021, dari https://sevenpillarsinstitute.org/ethics-analysis-foreign-bribery
Whistleblower Protection, www.oecd.org/corruption/the-detection-of-foreign-bribery.htm
Women Research Institute. Weak Representation of Women in Indonesian Parliament. Fact sheet. Women Research Institute, 2010.
Alta, A., Sudrajat, D. (2020). For human capital or social justice? Indonesia’s study abroad scholarships fall short either way. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.newmandala.org/for- human-capital-or-social-justice-indonesias-study-abroad-scholarships-fall-short-either-way/
Bazerman, M.H. (2020). A New Model for Ethical Leadership. Diakses 15 Juni 2021, dari https://hbr.org/2020/09/a-new-model-for-ethical- leadership
Bellington, J., Binda, F. (2004). The Implementation of Quotas: European Experiences Quota Report Series. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.idea.int/sites/default/files/publications/implementation-of-quotas-european-experiences.pdf
Bland, B. (2019). Indonesia: look beyond quotas for gender representation. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/indonesia- look-beyond-quotas-gender-representation BRIN RI. (2018). Capaian Kebijakan Kesejahteraan dan Afirmasi Kementerian Dalam Empat Tahun. Diakses 15 Juni 2021, dari https://international.brin.go.id/highlight/achievements-of-ministrys- welfare-and-affirmative-policies- in-four-years/
Chron Contributor. (2020). What Is Rational Organization Theory?. Diakses 15 Juni 2021, dari https://smallbusiness.chron.com/rational-organization-theory-70802.html
Diakses 15 Juni 2021, dari https://tirto.id/ehHGhttps://tirto.id/isi-kursi-dpr-2019-2024-porsi- perempuan-meningkat-ehHG
Dixon-Fyle et al. (2020). Diversity wins: How inclusion matters. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.mckinsey.com/featured-insights/diversity-and-inclusion/diversity-wins-how-inclusion-
matters
Frankenfield, J. (2019). Herbert A. Simon Defined. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.investopedia.com/terms/h/herbert-a-simon.asp
Geneva. (2009). Is Parliament Open To Women? An Appraisal. Diakses 15 Juni 2021, dari http://archive.ipu.org/pdf/publications/wmn09-e.pdf
https://www.icharter.org/standards
Hunt et al. (2015). Why diversity matters. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.mckinsey.com/business-functions/organization/our-insights/why-diversity- matters
Hunt et al. (2018). Delivering through diversity. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.mckinsey.com/business-functions/organization/our-insights/delivering-through-diversity IDDevForum. (2021). Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan Untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif. Diakses 15 Juni 2021, dari https://indonesiadevelopmentforum.com/2019/knowledge-center/detail/1536-1536-looking-into-the- affirmative-scholarship-policy-for-papua-indonesia-a-preliminary-study
Kenton, W. (2021). Affirmative Action. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.investopedia.com/terms/a/affirmative-action.asp
Library of Congress. (2012). Indonesia: Program Aksi Afirmatif Diadopsi untuk Bisnis Papua. Diakses 15 Juni 2021, dari https://loc.gov/law/foreign-news/article/indonesia-affirmative-action- program-adopted-for-papuan-businesses/
McCan, J. (2013). Electoral quotas for women: an international overview. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/pubs/r p/rp1314/ElectoralQuotas#Toc372193118
Mintz, S. (2015). Is Whistleblowing a Moral Act?. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.ethicssage.com/2015/07/is-whistleblowing-a-moral-act.html
Mulyono, I. (2010). Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/makalah_STRATEGI_MENINGKATKAN_KETERWAKIL
AN PEREMPUAN Oleh-_Ignatius_Mulyono.pdf
Mutiara, P. (2020). Pemerintah Dorong Upaya Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen 2024. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.kemenkopmk.go.id/pemerintah-dorong-upaya- peningkatan-keterwakilan-perempuan-di-parlemen-2024
OECD. (2009). Committing to Effective Whistleblower Protection. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.oecd.org/corruption/Committing-to-Effective-Whistleblower-Protection-Highlights.pdf OECD. (2015). Whistleblower protection. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.oecd.org/corruption/ethics/whistleblower-protection/
Parawansa, K. I. (2002). Obstacles to Women’s Political Participation in Indonesia. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.idea.int/sites/default/files/publications/chapters/women-in- parliament/perempuan-di-parlemen-bukan-sekedar-jumlah-EN-case-study-indonesia-2.pdf
Policy Brief 7. (2021). Women’s Voice In Politics And Decision-Making. Diakses 15 Juni 2021, dari https://kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/72c04-2f2a3-7.-women-s-voice-in-politics-and-decision- making.pdf
Rachman, M. A. (2020). Advanced education and uneven development: A study on Indonesian government post-graduate scholarship program (work in progress). Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.apu.ac.jp/apconf/program/session/2020fa/00136_18_01-Conference_Paper- APConf2020_403.pdf
Setiawan, R. (2019). Isi Kursi DPR 2019-2024, Porsi Perempuan Meningkat.
Shreevs et al. (2019). Women in politics in the EU. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/BRIE/2019/635548/EPRS_BRI(2019)635548_EN.pdf
Statista. (2021). Proportion of seats held by women in national parliaments in Indonesia from 2011 to 2020. Diakses 15 Juni 2021, dari https://www.statista.com/statistics/730286/indonesia-proportion-of- seats-held-by-women- in-national-parliament/
The Conversation. (2020). Bagaimana Indonesia bisa meningkatkan jumlah legislator perempuan? Diakses 15 Juni 2021, dari https://theconversation.com/how-can-indonesia-increase-the-number-of- women-legislators-90446
https://www.lpdp.kemenkeu.go.id/api/Medias/a98129a9-c53a-4abc-bf38-359c25fb2a24 https://www.oecd.org/site/adboecdanti-corruptioninitiative/39368026.pdf