Karinding
Karinding merupakan alat musik tradisional masyarakat Sunda dari Banten dan Jawa Barat, Indonesia. Alat musik ini tergolong dalam jenis idiofon dan memiliki prinsip kerja yang serupa dengan jew harp. Bahan utama pembuatan karinding biasanya adalah bambu, namun ada juga yang terbuat dari enau.[1] Secara etimologis, karinding berasal dari bahasa Sunda, dengan beberapa interpretasi menyebutkan bahwa istilah ini terdiri atas "ka" yang berarti "sumber" dan "rinding" yang berarti "bunyi". Interpretasi lain mengaitkannya dengan doa kepada Yang Maha Kuasa, sesuai dengan asal kata "ka-ra-da-hyang".
Karinding memiliki dua hingga tiga segmen. Bunyi dihasilkan pada segmen pertama, di mana bagian sempitnya bergetar ketika karinding dipukul.[1] Karinding biasanya dipegang pada bagian ujung rangkanya. Saat dimainkan, lamella pada karinding dipetik atau disentuh oleh jari sehingga menghasilkan getaran bebas. Getaran ini tidak terbatas pada bagian yang terpasang.[1]
Secara akustik, karinding menghasilkan frekuensi fundamental yang bergantung pada teknik permainan.[1] Penelitian menunjukkan bahwa dengan formasi mulut "O," frekuensi fundamental yang dihasilkan adalah 667 Hz, sedangkan dengan formasi mulut "U," frekuensi fundamentalnya adalah 444 Hz.[1] Selain itu, pola penyebaran suara karinding menyerupai karakteristik omnidireksional, yang berarti suara tersebar hampir merata ke segala arah.[1]
Etimologi
suntingKarinding saat ini banyak di lestarikan oleh masyarakat suku Sunda dari Jawa Barat dan Banten tempat mereka berasal, menurut bahasa Sunda Karinding yaitu yang berarti Ka 'sumber' dan Rinding 'suara'.[2]
Sejarah
suntingKarinding memiliki sejarah panjang dalam budaya Sunda, terutama di wilayah Priangan dan Banten. Karinding biasa dimainkan sebagai alat untuk mengusir serangga dan burung di sawah. Bagi masyarakat adat Kanekes atau Baduy musik karinding dianggap sebagai hiburan untuk anak-anak Nyi Pohaci Sanghyang Asri, sang Dewi Padi.[3] Selain itu, karinding digunakan sebagai alat musik yang mengiringi kegiatan sosial seperti nganjang atau berkunjung ke lawan jenis.[3]
Dibalik fungsi kaulinan 'permainan' bagi para petani, ternyata suara yang dihasilkan karinding menurut Lina Herlinawati dalam tulisannya berjudul “ Fungsi Karinding bagi Masyarakat Cikalongkulon Kabupaten Cianjur ” (2009: 100-101), adalah suara dengan tingkat yang jelas 'menggunakan' yang rendah atau rendah decible . Suara dengan tingkat kebakaran seperti itu disebut ultrasonik, yang getarannya hanya bisa didengar oleh serangga, binatang sejenis hama, seperti wereng, simeut 'belalang', jangkrik 'jengkrik', dan sebagainya. Konon, karinding merupakan salah satu alat yang telah digunakan karuhun 'nenek moyang' sejak sebelum ditemukannya alat musik tradisional kacapi . Usia kacapi sendiri sudah mencapai lebih dari 500 tahun yang lalu. Jadi, usia usia alat musik tradisional karinding sudah lebih tua dari 600 tahun.[4]
Di kalangan rakyat umum, karinding adalah alat musik pertanian dan alat ritual yang dimainkan dalam berbagai acara. Di kalangan para pemuda Tatar Sunda, karinding populer sebagai alat musik pergaulan. Di Banten, karinding dimainkan sebagai alat musik permainan anak-anak
Pada hubungan mataram dan cirebon, alat musik karinding di pelajari oleh Sunda untuk mengusir hama sawah. Ada beberapa tempat yang biasa membuat karinding, seperti di lingkung Citamiang, Pasirmukti, Cineam, (Tasikmalaya), lingkung Karinding Sadulur (Kasalur), Cikunten Mangkubumi, (Tasikmalaya), Lingkung Karinding Tunggal Ciamis, Lewo Malangbong, (Garut), dan Cikalongkulon (Cianjur) yang dibuat dari pelepah kawung (enau). Di Limbangan dan Cililin karinding dibujat dari bambu, dan yang menggunakannya adalah para perempuan, dilihat dari bentuknya saperti tusuk biar mudah ditusukan di sanggul rambut. Dann bahan enau kebanyakan dipakai oleh lelaki, bentuknya lebih pendek biar bisa diselipkan dalam wadah rokok. Bentuk karinding ada tiga ruas.
Persebaran
suntingBuku Sejarah Karinding Priangan memotret secara lengkap kisah-kisah sejarah karinding yang ada di Priangan dan Banten. Kisahnya dituliskan sejak kemunculannya dalam naskah-naskah kuno, foklor-folklor yang muncul di berbagai daerah di Priangan dan Banten, hasil-hasil perekaman pertama karinding tahun 1893, 1920an, 1968, 1970an, 1980, 1990an, dan tahun 2000an, hingga kemudian dibangkitkan kembali secara massal melalui munculnya Giri Kerenceng dan Karinding Attack.[5]
Di wilayah lain di Indonesia pun terdapat alat musik semacam karinding dengan berbagai macam nama dan cara memainkannya yang berbeda-beda seperti Riding (Cirebon), Rinding (Jawa Tengah), Genggong (Bali), Slober (Lombok), Pikon (Papua), Dunga (Sulawesi), Karindang (Kalimantan), Sagasaga (Sumatera). Dan ada juga beberapa tempat diluar negeri menamainya dengan jewsharp. Akan tetapi Karinding dari masyarakat suku Sunda memiliki perbedaan yang tidak dimiliki oleh sejenis alat musik tersebut di Indonesia.
Cara Memainkan
suntingKarinding diletakkan di bibir, lalu bagian pemukulnya digetarkan dengan ujung jari telunjuk agar tercipta resonansi suara. Karinding biasanya dimainkan secara solo atau grup (berisi 2 sampai 5 orang). Seorang diantaranya disebut pengatur nada atau pengatur ritem (rythm). Di daerah Ciawi, dulunya karinding dimainkan bersamaan takokak (alat musik bentuknya mirip daun).
Secara konvensional menurut penuturan Abah Olot nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada 4 jenis, yaitu: (1)tonggeret; (2)gogondangan; (3)rereogan; dan (4)iring-iringan.
Fungsinya
suntingKarinding dijadikan alat untuk mengusir hama di sawah. Suara yang dihasilkan dari getaran jarum karinding biasanya bersuara rendah low decible. Suaranya dihasilkan dari gesekan pegangan karinding dan ujung jari yang ditepuk-tepakkan. Suara yang keluar biasanya terdengar seperti suara wereng, belalang, jangkrik, burung, dan lain-lain. Yang zaman sekarang dikenal dengan istilah ultrasonik. Biar betah di sawah, cara membunyikannya menggunakan mulut sehingga resonansina menjadi musik. Sekarang karinding biasa digabungkan dengan alat musik lainnya.
Bedanya membunyikan karinding dengan alat musik jenis mouth harp lainnya yaitu pada tepukan. Kalau yang lain itu disentil. Kalau cara ditepuk dapat mengandung nada yang berbeda-beda. Ketukan dari alat musik karinding disebutnya Rahel, yaitu untuk membedakan siapa yang lebih dulu menepuk dan selanjutnya. Yang pertama menggunakan rahèl kesatu, yang kedua menggunakan rahel kedua, dan seterusnya. Biasanya suara yang dihasilkan oleh karinding menghasilkan berbagai macam suara, diantaranya suara kendang, goong, saron bonang atau bass, rhytm, melodi dan lain-lain. Bahkan karinding bisa membuat lagu sendiri, sebab cara menepuknya beda dengan suara pada mulut yang bisa divariasikan bisa memudahkan kita dalam menghasilkan suara yang warna-warni. Kata orang tua dahulu, dulu menyanyikan lagu bisa pakai karinding, Kalau kita sudah mahir mainkan suara karinding, pasti akan menemukan atau menghasilkan suara buat berbicara, tetapi suara yang keluar seperti suara robotik.
Lihat pula
suntingRujukan
sunting- ^ a b c d e f Wongso, Elsa; Simanjuntak, Jack; Sarwono, Joko; Kurniadi, Deddy (2016). "The Sound Directivity of Sundanese Karinding" (PDF). 23rd International Congress on Sound & Vibration.
- ^ irvansetiawan (2019-05-13). "Rampak Karinding". Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-07-20.
- ^ a b van Zanten, Wim (2020). Music of the Baduy People of Western Java. Leiden: Brill.
- ^ irvansetiawan (2020-07-06). "Berbisik: "Seni Tradisional Karinding Menembus Dinding Global"". Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-23.
- ^ "Buku Sejarah Karinding Priangan – PANGAUBAN KARINDING" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-07-20.