Istana Negara
Istana Negara merupakan Istana Kepresidenan Indonesia yang terletak di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Istana Negara juga terletak satu kompleks dengan Istana Merdeka yang letaknya di bagian selatan Istana ini. Dengan total luas keseluruhannya mencapai 68,000 m², kompleks ini meliputi 3 bangunan penting lainnya seperti Bina Graha, Wisma Negara, dan kantor Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Yang menjadi perbedaan antara kedua Istana ini yaitu Istana Negara menghadap ke arah Jalan Veteran, sedangkan Istana Merdeka menghadap ke arah Medan Merdeka.[1]
Istana Negara | |
---|---|
Nama sebelumnya | Paleis te Rijswijk |
Informasi umum | |
Jenis | Kediaman resmi |
Gaya arsitektur | Kerajaan Hindia Belanda |
Lokasi | Jalan Veteran No. 17, Jakarta Pusat, Indonesia |
Koordinat | 06°10′05″S 106°49′26″E / 6.16806°S 106.82389°E |
Penyewa sekarang | Presiden Indonesia |
Mulai dibangun | 1796 |
Rampung | 1804 |
Klien | Gubernur Jenderal Hindia Belanda |
Pemilik | Pemerintah Indonesia |
Desain dan konstruksi | |
Arsitek | Jacob Andries van Braam |
Sejarah
suntingPada awalnya di kompleks Istana di Jakarta ini hanya terdapat satu bangunan, yaitu Istana Negara. Gedung yang mulai dibangun 1796 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dan selesai 1804 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Siberg ini semula merupakan rumah peristirahatan luar kota milik pengusaha Belanda, J A Van Braam. Kala itu kawasan yang belakangan dikenal dengan nama Harmoni memang merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia Baru.
Pada tahun 1820 rumah peristirahatan van Braam ini disewa dan kemudian dibeli (1821) oleh pemerintah kolonial untuk digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal para gubernur jenderal bila berurusan di Batavia (Jakarta). Para gubernur jenderal waktu itu kebanyakan memang memilih tinggal di Istana Bogor yang lebih sejuk. Tetapi kadang-kadang mereka harus turun ke Batavia, khususnya untuk menghadiri pertemuan Dewan Hindia, setiap Rabu.
Rumah van Braam dipilih untuk kepala koloni, karena Istana Daendels di Lapangan Banteng belum selesai. Tapi setelah diselesaikan pun gedung itu hanya dipergunakan untuk kantor pemerintah.
Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, beberapa peristiwa penting terjadi di gedung yang dikenal sebagai Istana Rijswijk (namun resminya disebut Hotel van den Gouverneur-Generaal, untuk menghindari kata Istana) ini. Di antaranya menjadi saksi ketika sistem tanam paksa atau cultuur stelsel ditetapkan Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch. Lalu penandatanganan Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947, yang pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir dan pihak Belanda diwakili oleh H.J. van Mook.
Pada mulanya bangunan seluas 3.375 m2 berarsitektur gaya Yunani Kuno ini bertingkat dua. Tapi pada 1848 bagian atasnya dibongkar; dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang tanpa ada perubahan yang berarti.
Karena Istana Rijswijk mulai sesak, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873 dibangunlah istana baru pada kaveling yang sama, Istana tersebut dinamakan Paleis te Koningsplein atau Istana Gambir yang kemudian dikenal dengan nama Istana Merdeka setelah Indonesia merdeka.
Sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, saat ini Istana Negara menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat kenegaraan, antara lain seperti pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah dan rapat kerja nasional, kongres bersifat nasional dan internasional, serta jamuan yang bersifat kenegaraan.
Galeri
sunting-
Istana Rijswijk, sekitar tahun 1875.
-
Jamuan kenegaraan di Istana Negara selama kunjungan Presiden Obama pada tahun 2010
-
Istana Rijswijk, sekitar tahun 1870.
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ Istana Republik Indonesia Diarsipkan 2012-06-21 di Wayback Machine.. Accessed June 20, 2012.
Pranala luar
sunting- (Indonesia) Kantor-kantor Para Presiden Diarsipkan 2005-05-06 di Wayback Machine.