Ihamahu, Saparua Timur, Maluku Tengah
Ihamahu adalah sebuah negeri di Kecamatan Saparua Timur, Maluku Tengah, Maluku, Indonesia. Ihamahu merupakan negeri kembar dan saudara gandong dengan negeri Iha. Ihamahu mempunyai teun Noraito Amapatti. Ihamahu memiliki hubungan pela dengan Amahai di selatan Pulau Seram.
Ihamahu Noraito Amapatti | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Maluku |
Kabupaten | Maluku Tengah |
Kecamatan | Saparua Timur |
Pendirian | 1652 |
Dasar hukum | Perda No. 11/2012 |
Pemerintahan | |
• Raja | Agus Pattiiha |
Luas | |
• Total | 12,10 km2 (470 sq mi) |
Populasi (2018) | |
• Total | 1.613 |
• Peringkat | 7 |
• Kepadatan | 133/km2 (340/sq mi) |
• Peringkat kepadatan | 8 |
Sejarah
suntingSetelah Kerajaan Iha kalah dari VOC dan berhasil dikuasai pada 1652, rakyat Iha yang mendiami pusat kerajaan, Amaiha, segera meninggalkan kerajaan; terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran ke kawasan yang dianggap rakyat aman untuk mendirikan permukiman baru. Pada masa yang sama, VOC mulai mengatur hak ulayat dan membagi-bagi tanah ulayat.[1] Meskipun demikian, terdapat sekelompok masyarakat yang bersedia menetap dan mendirikan sebuah negeri di pesisir serta memeluk agama Kristen,[a] sesuai dengan keinginan VOC. Lantas, VOC memberikan nama masyarakat tersebut Ihamahu. Kata Ihamahu berarti masyarakat Iha yang mau dibaptis. Kepada negeri baru ini pula VOC membagi-bagikan tanah soa Iha setelah membagikannya sebagian kepada Itawaka.[2][3] Negeri ini pun segera diberikan petuanan serta hak ulayat.[2]
Pemerintahan
suntingKepala Pemerintahan Negeri (KPN) Ihamahu sehari-hari dikenal sebagai "raja" yang berstatus "patih". Penggunaan istilah patih ini berkorelasi dengan teun negeri yang berbunyi Noraito Amapatti. Pada masa lalu, istilah "raja" hanya dipakai untuk menerjemahkan istilah lokal latu. Ada pun patti biasanya diterjemahkan sebagai "patih". Patih secara adat kedudukannya lebih rendah daripada latu, tetapi lebih tinggi daripada "orang kaya". Namun, di masa sekarang, baik patti, orang kaya, maupun latu semuanya dipukul rata dengan sebutan "raja".
Ada empat fam atau matarumah yang berhak untuk dilantik sebagai raja di Ihamahu. Keempatnya disebut sebagai matarumah parentah. Matarumah yang paling utama di antara semua matarumah parentah adalah Pattiiha. Sesuai dengan nama matarumahnya, mereka turun temurun merupakan patih bagi Negeri Ihamahu. Keluarga Pattiiha dianggap sebagai tali penyambung antara Ihamahu dengan Kerajaan Iha. Patih pertama Ihamahu bernama Jeremias Jumat Pattiiha. Kemudian, berdasarkan perkawinan dengan Matarumah Pattiiha, tiga matarumah lainnya menerima hak prerogatif untuk dapat menjadi raja. Ketiganya meliputi Matarumah Haulussy, Lilipaly, dan Sapulette.
Geografi dan lingkungan
suntingIhamahu terletak 3 km dari ibu kota kecamatan, Tuhaha, dan dilalui oleh sebuah sungai, yaitu Wae Tawalaisunyo.[4][5] Bersama-sama dengan seluruh negeri lainnya, Ihamahu terletak di pesisir.[6]
Seperti ribuan pulau di Maluku lainnya, dalam rangka pelestarian lingkungan, Ihamahu juga memberlakukan adat sasi.[7] Pada 1982, Ihamahu dianugerahi penghargaan Kalpataru berdasarkan penyungguhan Universitas Pattimura.[8] Sejak penganugerahan tersebut, sebagai pihak berwewenang dalam pemberlakuan sasi, Kewang Ihamahu menambah kegiatannya dengan penanaman tanaman di sekitar mata air, penanaman bakau di pesisir, pemurnian air, dan perlindungan laut. Hukum adat setempat pun melarang pengambilan teripang, terumbu karang, siput laut, dan kayu garu untuk tujuan komersial.[9]
Ekonomi
suntingSeperti seluruh negeri di Saparua Timur, Ihamahu tergolong sebagai negeri maju.[10] Ihamahu pun tergolong sebagai negeri swasembada bersama Tuhaha, Nolloth, dan Itawaka.[11] Sumber air minum utama negeri berasal dari mata air terlindungi.[12]
Kependudukan
suntingIhamahu merupakan negeri terbesar ketujuh di Saparua Timur dengan jumlah penduduk 1.613 jiwa pada 2018, turun 0,86 persen dari tahun sebelumnya.[14] Kepadatannya hanya 133 jiwa per kilometer persegi, ketiga terjarang.[15]
Ihamahu merupakan negeri yang homogen dari sudut pandang agama seperti dengan negeri-negeri di Saparua Timur lainnya. Dari 1.613 jiwa penduduk Ihamahu, hanya terdapat lima orang pemeluk Islam dan seorang pemeluk Katolik; sisanya Protestan.[13] Tempat ibadah yang ada di negeri hanyalah gereja yang berjumlah dua buah.[16]
Ihamahu memiliki salah satu dari lima puskesmas di Saparua Timur. Puskesmas tersebut berupa puskesmas tidak menginap, jenis tertinggi yang dimiliki oleh kecamatan.[17]
Adat budaya
suntingBaileu
suntingBaileu Ihamahu memiliki nama Simaloa Peimahu. Seperti sebagian besar negeri di Saparua, Baileu Ihamahu mempunyai bentuk rumah panggung. Baileu ini terbuat dari bahan dasar kayu gupasa dan kayu besi dengan warna dominan merah bata dan sedikit emas pada hiasan ukir dinding.[18] Sementara itu, atapnya terbuat dari daun sagu. Baileu memiliki sembilan tiang yang melambangkan kesembilan soa Ihamahu. Pintu rajanya diapit oleh tiang yang berasal dari dua soa yang menyokong pangan negeri, yakni Hatulesi dan Hatala.[19] Berhadapan dengan pintu raja, terdapat sebuah panggung yang berperan sebagai singgasana raja. Hiasan ukiran dinding merupakan corak khas Maluku, yakni lingkaran dengan garis-garis melengkung.[18]
Layaknya negeri-negeri lain di seluruh Kepulauan Maluku, baileu terletak di dekat batu pemali atau batu meja (dolmen).[20] Selain itu, baileu dilalui jalan poros dan berhadapan dengan gedung GPM Ihamahu. Baileo juga menjadi tempat dilaksanakannya beberapa acara keadatan seperti rapat adat serta upacara adat seperti upacara kain berkat[b] dan upacara tutup baileo.[c][18]
Hubungan sosial
suntingGandong
suntingIhamahu memiliki hubungan gandong dengan Negeri Iha di Jazirah Hatawano. Keduanya bukan hanya gandong melainkan tetangga terdekat bagi masing-masing negeri. Selain itu, negeri ini juga terikat gandong dengan Iha (Amaiha) dan Kulur (Ulupia). Dua negeri di Semenanjung Huamual ini merupakan negeri yang didirikan para pelarian Iha yang mengungsi pasca ditaklukannya Iha oleh VOC. Para pengungsi tersebut memilih untuk hijrah demi menghindari penghukuman dan pemaksaan masuk Kristen. Ada pun yang tinggal dan terlampau mencintai Tanah Iha, mereka nanti membentuk Negeri Ihamahu pada tanah sisa Kerajaan Iha yang sudah dibagi-bagi VOC kepada negeri-negeri lain, termasuk Tuhaha, Ullath, Paperu, Saparua, Sirisori Amalatu, dan Nolloth. Tanah yang diberikan kepada Ullath nantinya akan menjadi negeri tersendiri yang bernama Itawaka. Sementara itu, Tanah Hatala yang diberikan VOC kepada Saparua dialihkan oleh negeri tersebut kepada Tuhaha.
Ihamahu yang didirikan di sisa tanah Kerajaan Iha melakukan beberapa kali pembelian tanah dari negeri-negeri tetangga untuk memperluas pertuanan. Oleh karenanya, saat ini wilayah Ihamahu tergolong cukup luas. Setelah kondisi keamanan di Hatawano mulai kondusif, sebagian pengungsi Iha di Pulau Seram yang masih beragama Islam memutuskan untuk kembali ke tanah asal mereka dan mendirikan Negeri Iha Hatawano. Mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan pembelian tanah seperti yang dilakukan oleh Ihamahu. Hal ini menjadikan Iha Hatawano sebagai negeri kecil yang tidak memiliki pertuanan. Akibatnya penduduk Iha menggantungkan penghidupannya pada laut dengan menjadi nelayan, serta ada sebagian yang menjadi pandai besi dan pandai emas.
Pela
suntingNegeri ini mengangkat hubungan pela dengan Amahai, Kairatu dan Kaibobo di Pulau Seram, Booi di Pulau Saparua, serta Lilibooi di Pulau Ambon. Pela antara Ihamahu dengan Amahai adalah yang paling kuat dan masih lestari hingga kini. Pela kedua negeri berlatar belakang pada pembangunan gereja di Ihamahu awal abad ke-20 yang memerlukan banyak material kayu. Utusan Ihamahu datang ke Soahuku karena mendengar di pertuanan Soahuku terdapat banyak kayu besi untuk ramuan membangun gereja. Namun, rupanya saat itu Soahuku sedang membangun dan kekurangan kayu besi. Raja Soahuku lantas membawa utusan Ihamahu ke Amahai yang merupakan tetangga dan gandong Soahuku. Amahai memiliki banyak pohon kayu besi di hutan dan mereka akhirnya mengalokasikan Hutan Sersamawony sebagai lokasi pemotongan kayu untuk dibawa ke Ihamahu. Atas kebaikan Amahai, keduanya meresmikan ikatan pela, yang di kemudian hari diperkuat dan dinaikkan statusnya menjadi pela gandong, yang dimaknai bahwa hubungan Amahai dan Ihamahu sudah sama seperti saudara kandung sendiri.
Hubungan dengan negeri-negeri tetangga
suntingIhamahu sampai saat ini masih memiliki beberapa sengketa dengan negeri-negeri tetangga, khususnya Tuhaha, Nolloth, dan Itawaka. Pengambilan kelapa di pertuanan Ihamahu sebagai syarat pemugaran baileo di Tuhaha pernah berujung keributan antarkedua negeri, dikarenakan saat pengambilan tersebut, Ihamahu tengah memberlakukan sasi dan para kewang akan menghukum siapa saja yang melanggar sasi. Nolloth adalah salah satu negeri yang paling diuntungkan dalam pembagian wilayah Kerajaan Iha oleh VOC dan kedua negeri masih berbantah-bantahan hingga sekarang mengenai tanah adat.
Pada masa lalu, Ullath dan Ihamahu adalah musuh bebuyutan, bahkan setelah keduanya memeluk Kristen pun, hubungan mereka tetap tidak membaik. Ullath beraliansi dengan Portugis dan menyerang Ihamahu. Ihamahu melakukan pembalasan yang disokong oleh Sirisori Amalatu dan Booi, mereka mengepung Ullath dan membantai banyak orang di sana. Bantuan pada masa perang ini diduga menjadi dasar hubungan persaudaraan atau pela antara Ihamahu dengan Booi. Namun, pada masa sekarang, Ihamahu dan Ullath terletak di wilayah yang berjauhan dan tidak sering bersinggungan secara langsung, sehingga dapat dikatakan bahwa permasalahan di antara kedua negeri tidak lagi terjadi pada masa sekarang.
Lihat pula
suntingCatatan kaki
suntingCatatan
sunting- ^ Protestan.
- ^ Upacara penerimaan calon menantu perempuan yang berasal dari daerah lain, serupa dengan unduh mantu.
- ^ Upacara penggantian atap baileu yang rusak.
Daftar rujukan
sunting- ^ Loupatti 2013, hlm. 30.
- ^ a b Loupatti 2013, hlm. 36.
- ^ Loupatti 2013, hlm. 38.
- ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah 2019, hlm. 8.
- ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah 2019, hlm. 6.
- ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah 2019, hlm. 9.
- ^ Western & Wright 1994, hlm. 80–81.
- ^ Western & Wright 1994, hlm. 103.
- ^ Western & Wright 1994, hlm. 104.
- ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah 2019, hlm. 20.
- ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah 2019, hlm. 15.
- ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah 2019, hlm. 96.
- ^ a b Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah 2019, hlm. 60.
- ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah 2019, hlm. 27.
- ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah 2019, hlm. 29.
- ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah 2019, hlm. 62.
- ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah 2019, hlm. 51.
- ^ a b c Salhuteru 2015, hlm. 16.
- ^ Salhuteru 2015, hlm. 15.
- ^ Pattikayhatu 1978, hlm. 14.
Daftar pustaka
sunting- Loupatti, Stenli R. (2013). "Hijrah Masyarakat Iha di Pulau Saparua" (PDF). Jurnal Penelitian BPNB Ambon (edisi ke-V). Ringkasan (PDF).
- Salhuteru, Marlyn (25 Mei 2015). "Rumah Adat Baileo di Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah". Kapata Arkeologi. Ambon: Balai Arkeologi Ambon. 11 (1).
- Western, David; Wright, R. Michael (1994). Strum, Shirley Carol, ed. Natural Connections: Perspectives In Community-Based Conservation (dalam bahasa Inggris). Washington, D.C.: Island Press. ISBN 1-55963-346-8.
- Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah (2019). Kecamatan Saparua Timur dalam Angka 2019. BPS Kabupaten Maluku Tengah.