Ibrahim Marah Soetan

Ibrahim gelar Marah Soetan (lahir di Padang atau Kayu Tanam, Padang Pariaman, 1872 atau 1863 - meninggal di Jakarta, 1954 pada umur 82 atau 91) adalah seorang intelektual, tokoh pendidik, penulis, dan tokoh pergerakan awal kemerdekaan Indonesia asal Minangkabau di masa Hindia Belanda dan Orde Lama.[1]

Tuan/Engku
Ibrahim gelar Marah Soetan
LahirIbrahim
1872 atau 1863
Padang atau Kayu Tanam, Padang Pariaman, Hindia Belanda
Meninggal30 Maret 1954 usia 84 atau 91 tahun
Jakarta
MakamTPU Karet
KebangsaanHindia Belanda Indonesia
KewarganegaraanHindia Belanda and Indonesian
AlmamaterKweekschool Fort de Kock
PekerjaanIntelektual Minangkabau, Pendidik, Penulis, dan aktivis pergerakan kemerdekaan bidang Pendidikan
Dikenal atasPendidik, Penulis, dan Aktivis
Karya terkenalDjalan ke-Timoer (1928), Boenga Tjoelan (4 Jilid) (1933), Pelita (2 jilid) (1938), dan Soear (1939)
Suami/istriChalijah
AnakHannibal (meninggal dini)
Anak angkat :
Muhammad Sjafei
Sukardi

Mohammad Syafei, salah seorang anak angkat nya yang juga pendiri sekolah Ruang Pendidik INS Kayutanam dan tokoh pendidikan penting di awal kemerdekaan Indonesia, memanggil ia dengan panggilan kesayangan Inyiak.

Kehidupan Awal

sunting

Menurut Ajisman, Ibrahim Marah Sutan adalah anak dari Bagindo Nagari, seorang Penghulu Dagang dari Bukittinggi dengan ibu bernama Upit seorang gadis Kayutanam yang orang tuanya berasal dari Jawa Timur karena bekerja di rumah sakit militer Belanda di Kayutanam[2]. Sedangkan menurut Suryadi Sunuri, ayahanda Marah Sutan berasal dari Kayutanam dan ibu nya adalah keturunan Jawa dari Pasuruan. Suryadi lebih jauh menyebut bahwa posisi Marah Sutan dalam adat Minangkabau sebagai “anak pisang manjingkia orang Minang”[1].

Pendidikan dan Karier

sunting

Marah Sutan tamat sekolah guru bergengsi Kweekschool (Sekolah Raja) di Fort de Kock (Bukittinggi) pada tahun 1890. Setelah tamat, di tahun yang sama ia menikahi Anduang Chalijah dan diangkat menjadi guru sekolah rendah di Padang. Pekerjaan ini ia lakukan sampai pada tahun 1895, di mana Inyiak Ibrahim Marah Sutan dipindahkan ke wilayah Keresidenan Lampung. Pertama ke Sukadana, di tahun 1897 dipindahkan ke Teluk Betung, dan lalu ke Gunung Sugih[1].

 

Menurut Suryadi, Inyiak Ibrahim Marah Sutan selalu mengajarkan muridnya bekerja dan berikhtiar mengolah bumi Indonesia yang subur[1]. Di Lampung ini, Inyiak Ibrahim Marah Sutan tercatat mengajarkan muridnya untuk memelihara ulat sutra. Di tahun 1902, atas permintaan orang kampungnya, Inyiak Ibrahim Marah Sutan pindah ke Padang untuk memimpin perkumpulan Medan Perdamaian dalam usaha memajukan seni sastra dan tonil tapi tak bertahan lama karena di tahun yang sama dia dipindahkan ke Pidie, Aceh untuk mengajar di sekolah rendah juga. Di tahun 1905 ia dipindahkan ke Sukadana. Tidak lama setelah itu, Ibrahim pindah lagi ke Pontianak untuk memajukan tenunan Sambas. Di bumi Kalimantan bertuah ini, Inyiak Ibrahim Marah Sutan mengikut suratan takdir dengan menemukan anak cerdas yang diangkat anak olehnya dan Anduang Chalijah. Anak itu adalah Mohammad Syafei.

Ia banyak menulis buku untuk anak sekolah pada masanya. Hasil karya nya antara lain Djalan ke-Timoer (1928), Boenga Tjoelan (4 Jilid) (1933), Pelita (2 jilid) (1938), dan Soear (1939)[1]. Ibrahim Marah Soetan merupakan ayah angkat dari Muhammad Sjafei, seorang tokoh pendidik nasional yang pernah menjabat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia pada Kabinet Sjahrir II.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f "Minang Saisuak #194 - Intelektual Minang: Ibrahim Gelar Mara Soetan"[pranala nonaktif permanen] Surya Suryadi - Singgalang, Minggu, 19 Oktober 2014. Diakses 12-01-2015.
  2. ^ Ajisman et. al. (2012). Bunga Rampai: Sejarah Sumatera Barat (Sumatera Barat Dari Zaman Jepang Hingga Era Reformasi). Padang: BPSNT Padang Press. hlm. 22. ISBN 978-602-8742-54-2.