Hukum di Indonesia

artikel daftar Wikimedia

Hukum di Indonesia menganut sistem hukum campuran hukum Romawi-Belanda, hukum agama dan hukum adat mempunyai Kontribusi awal terhadap Pengembangan Hukum di Indonesia yang terdiri dari sistem hukum Eropa Kontinental (Hukum sipil (sistem hukum)).[1][2] Keseluruhan hukum tersebut dimuat dan diatur dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia di Indonesia.[3]

Pengertian dari pada hukum tentunya tidaklah terbatas, pengertian hukum sangat luas. Namun penulis hanya sedikit menuliskan pengertian hukum menurut Hans Kelsen, ia menjelaskan bahwa hukum adalah sebagai gejala normatif, hukum sebagai gejala sosial. Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia, sistem terpenting dalam hukum yakni melaksanakan rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik[2]. Sementara korupsi itu sendiri secara umum adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat pemerintahan atau pegawai wiraswasta demi keuntungan pribadi, keluarga, dan teman atau kelompoknya. Korupsi berasal dari kata “latin corrumpere atau corruptus” yang diambil dari kata hafila adalah penyimpangan dari kesucian (profanity), tindakan korupsi di katakan perbuatan tidak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidak jujuran, atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah, tindak pidana korupsi, kejahatan berat yang diancam hukuman mati atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris: corruption, Prancis: coruption, Belanda: korrupte. Dan akhirnya dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke bahasa Indonesia menjadi korupsi.[4][5]

Hukum perdata dan Hukum pidana di Indonesia umumnya berbasis pada sistem hukum Eropa, khususnya hukum Romawi-Belanda, karena aspek sejarah Indonesia yang merupakan bekas wilayah jajahan Belanda yang bernama Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie) selama ratusan memberi pengaruh atas sistem peradilan di Indonesia. Sementara itu, hukum agama, terutama Syariat Islam, juga diterapkan hingga taraf tertentu dalam hukum positif di Indonesia karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut agama Islam. Hukum syariat Islam di Indonesia umumnya hanya mengikat pada umat Muslim dan lebih banyak mengatur aspek-aspek hukum perdata, seperti dalam bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, Indonesia juga menganut sistem hukum adat, hukum umum yang dimuat dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,[6] yang merupakan bentuk hukum tertulis dari aturan-aturan masyarakat dan adat, budaya setempat yang ada di wilayah Indonesia.

Sejarah Singkat dan Jenis hukum

sunting

Pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda dahulu, terdapat beberapa lembaga peradilan yang berlaku bagi orang-orang atau golongan yang berbeda, yaitu 1) pengadilan gubernemen, lembaga peradilan yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Hindia Belanda; 2) peradilan swapraja (zelfbestuurrechtspraak), yaitu suatu peradilan yang diselenggarakan oleh sebuah Kerajaan, diatur dalam suatu peraturan swapraja tahun 1938 (Zelffbestuursregelen 1938); 3) peradilan adat (inheemse rechtspraak) diatur dalam Staatsblaad 1932-80 yang dalam pasal 1-nya menyebut tidak kurang dari 13 (tiga belas) karesidenan yang ada peradilan adat; 4) peradilan agama (godienstigerechtspraak) diatur dalam pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling diatur lebih lanjut dalam S. 1882-152, kemudian diubah dalam S. 1935-102 yang dalam pasal 3a RO (reglement op de rechterlijke organisatie) disebut hakim-hakim perdamaian desa (dorpsrechter).[7]

Hukum perdata

sunting

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum.

Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik yang harmonis. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana),dan hukum perdata mengatur hubungan antara politik dan pemilu, penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya Politik, Tahapan Pemilu, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Sumber Hukum Acara perdata yang berlaku di Indonesia Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia), merupakan sumber hukum acara perdata yang diwariskan oleh pemerintahan Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPerdata.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan asas konkordansi.

Secara yuridis formal, KUHPerdata terdiri dari 4 (empat) buku, yaitu buku I mengatur tentang orang (van Perrsonen) mulai pasal 1 s/d 498, buku II mengatur tentang benda (van Zaken) mulai pasal 499 s/d 1232, buku III mengatur tentang perikatan (van Verbintenissen) mulai pasal 1233 s/d 1864, dan buku IV mengatur tentang pembuktian dan kadaluwarsa (van Bewijs en Verjaring) mulai pasal 1865 s/d 1993.[8]

Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Prancis dengan beberapa penyesuaian.

Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian yaitu:

  • Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan disahkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
  • Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
  • Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
  • Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

Hukum acara perdata

sunting

Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata, dapat dilihat dalam berbagai peraturan Belanda dulu (misalnya; Het Herziene Inlandsh Reglement/HIR, RBG, RB,RO)

Hukum pidana

sunting

Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).

Hukum acara pidana

sunting

Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU nomor 8 tahun 1981).

Asas di dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:

  • Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
  • Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
  • Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
  • Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
  • Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.

Hukum tata negara

sunting

Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata negara mengatur mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata dari suatu negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari negara tertentu) tetapi lebih pada negara dalam arti luas. Hukum ini membicarakan negara dalam arti yang abstrak.

Hukum tata usaha negara

sunting

Hukum tata usaha negara atau hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya.

Hukum administrasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara di mana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.

Hukum antartata hukum

sunting

Hukum antartata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.

Hukum adat

sunting

Hukum adat adalah hukum umum yang tidak tertulis.

Hukum Islam

sunting

Hukum Islam di Indonesia umumnya hanya mengatur aspek-aspek hukum perdata di Indonesia, seperti pernikahan Islam, pembagian warisan, dan lain-lain. Provinsi Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang menerapkan hukum pidana Islam dalam Pengadilan Agama setempat, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004.

Istilah hukum di Indonesia

sunting

Advokat

sunting

Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.

Advokat dan pengacara

sunting

Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan lainnya.

Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di pengadilan.

Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut distandardisasi menjadi advokat saja.

Dahulu yang membedakan keduanya yaitu:

  1. Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber"acara" di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk "beracara" di seluruh wilayah Republik Indonesia.
  2. Pengacara Praktik adalah seseorang yang memegang izin praktik / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat di mana wilayah beracaranya adalah "hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktik tersebut.

Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.(Pengacara dan Pengacara Praktik/pokrol dst setelah UU No. 18 tahun 2003 dihapus)

Konsultan hukum

sunting

Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku, semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandardisasi menjadi advokat.

Jaksa dan polisi

sunting

Dua institusi publik yang berperan aktif dalam menegakkan hukum publik di Indonesia adalah kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki, menyidik suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya.

Apabila ditemukan unsur-unsur tindak pidana, baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka pelaku (tersangka) akan diminta keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa penahanan, tersangka akan diminta keterangannya mengenai tindak pidana yang diduga terjadi.

Selain tersangka, maka polisi juga memeriksa saksi-saksi dan alat bukti yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang disangkakan. Keterangan tersebut terhimpun dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang apabila dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke kejaksaan untuk dipersiapkan masa persidangannya di pengadilan.

Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan BAP dan analisis bukti-bukti serta saksi untuk diajukan ke pengadilan. Apabila kejaksaan berpendapat bahwa bukti atau saksi kurang mendukung, maka kejaksaan akan mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian, untuk dilengkapi. Setelah lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara. Pada tahap ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa, yang akan disidang dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan, maka status terdakwa berubah menjadi terpidana.

Oleh karena itu putusan harus mencerminkan nilai keadilan dan kepastian hukum. Kepastian hukum juga erat kaitannya dengan hukum materil dan hukum formil termasuk dan yang tidak kalah pentingnya adalah proses pembuktian. Putusan itu sendiri merupakan akhir dari proses pemeriksaan perkara dan merupakan ukuran dari keprofesionalan seorang hakim untuk mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir suatu perkara.[9]

Prinsip Kesetaraan Hukum

sunting

Kesetaraan Hukum merujuk pada perlakuan yang adil dan merata di ambang hukum, tanpa diskriminasi berlandaskan aspek-aspek apa pun. Pada era Demokrasi dan Reformasi saat ini kesadaran masyarakat terhadap hukum semakin meningkat tajam dari pada tahun sebelumnya. Jika dicermati di masyarakat bawah, setiap perkara yang tidak dapat di damai biasanya langsung di bawah ke Pengadilan dengan harapan ada hadapan akan ad kepastian hukum yang dapat diterima tergugat dan pengugat oleh parat penegak hukum yang terlibat. Di Indonesia, kasus-kasus sepele sering terjadi namun dibesar-besarkan oleh media karena ketidak adilan hukum di Indonesia. Bahwasanya keadilan di negara ini memberikan hukuman yang lebih berat kepada kelas menengah[10]. Begitulah dinamika hukum di Indonesia, seakan paradigmanya berubah, yang menengah adalah yang berkuasa, yang memiliki uang tunai yang paling banyak, dan yang berkuasa.[10] Penulis sepakat bahwa apa pun yang disebut pidana adalah sebuah kesalahan. Namun, jangan lupa bahwa hukum juga memiliki prinsip kemanusiaan.[10]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting