Demam babi klasik

Penyakit menular pada babi
(Dialihkan dari Hog cholera)

Demam babi klasik (bahasa Inggris: classical swine fever) atau kolera babi (hog cholera) adalah penyakit menular pada babi yang disebabkan oleh Pestivirus C. Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi, kejang, pendarahan pada permukaan kulit serta organ dalam, dan sering kali berakhir dengan kematian.

Demam babi klasik
Pendarahan pada ginjal merupakan salah satu perubahan histopatologis pada demam babi klasik.
Informasi umum
Nama lainClassical swine fever (CSF), hog cholera, kolera babi, penyakit sampar babi
SpesialisasiKedokteran hewan
PenyebabPestivirus C
Aspek klinis
Gejala dan tandaDemam tinggi, konjungtivitis, sianosis, pendarahan kulit, ataksia, paresis, dan konvulsi, diikuti kematian dalam beberapa pekan.[1]
Awal muncul2-14 hari[1]
DiagnosisIsolasi virus, PCR, ELISA
Kondisi serupaDemam babi afrika (ASF)
Tata laksana
PencegahanVaksinasi, penetapan persyaratan teknis untuk lalu lintas babi hidup maupun produknya
PengobatanTidak ada

Nama resmi penyakit ini di tingkat internasional menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) adalah classical swine fever (CSF).[2] Istilah CSF lebih sering digunakan di Eropa, sedangkan hog cholera digunakan di Amerika Serikat.[3] Virus penyebab penyakit ini beberapa kali mengalami perubahan nama. Pada tahun 2000, nama hog cholera virus diubah menjadi classical swine fever virus[4][5] dan pada tahun 2017 diubah lagi menjadi Pestivirus C.[6]

Penyebab

sunting

Demam babi klasik disebabkan oleh Pestivirus C yang sebelumnya diberi nama classical swine fever virus (CSFV). Virus ini merupakan spesies yang berada dalam famili Flaviviridae dan genus Pestivirus. Ia dikelompokkan dalam grup IV dalam sistem klasifikasi Baltimore, yaitu virus RNA untai tunggal dengan sense-positif. Genus Pestivirus terdiri atas 11 spesies yang diberi nama Pestivirus A sampai Pestivirus K.[7]

Pestivirus C memiliki kemiripan antigenik dengan bovine viral diarrhea virus (BVDV) yang digolongkan dalam Pestivirus A dan Pestivirus B,[8][9] serta border disease virus (BDV) yang merupakan sinonim dari Pestivirus D.[10] Virus BVDV dan BDV sering disebut Pestivirus ruminansia seperti sapi, kambing, domba, dan rusa; sedangkan Pestivirus C disebut Pestivirus babi. Walaupun demikian, Pestivirus ruminansia juga dapat menginfeksi babi meskipun tidak diikuti dengan munculnya tanda klinis.[11]

Resistansi Pestivirus C terhadap perlakuan fisik dan kimiawi yaitu:[12]

  • Temperatur: Terinaktivasi setelah dipanaskan pada 65,5 °C selama 30 menit atau 71 °C selama 1 menit, tetapi dapat bertahan berbulan-bulan pada daging beku.
  • pH: Stabil pada pH 5-10; terinaktivasi dengan cepat pada pH<3 dan pH>11.
  • Disinfektan: Rentan terhadap eter, kloroform, dan ß-propiolactone (0,4%). Terinaktivasi dengan disinfektan berbasis klorin, kresol (5%), natrium hidroksida (2%), formalin (1%), natrium karbonat (anhidrat 4% atau kristal 10%, dengan detergen 0,1%), detergen ionik dan nonionik, serta iodophor kuat (1%) dalam asam fosfat.
  • Kelangsungan hidup: Cukup rapuh dan tidak bertahan di lingkungan. Rentan terhadap kondisi kering dan sinar ultraviolet. Bertahan dengan baik di kandang selama kondisi dingin (hingga 4 pekan di musim dingin). Bertahan 3 hari pada suhu 50 °C dan 7-15 hari pada suhu 37 °C. Bertahan dalam daging garaman dan daging asap selama 17 hingga >180 hari bergantung pada prosesnya. Virus bertahan 3-4 hari pada organ yang membusuk dan 15 hari pada darah dan sumsum tulang yang membusuk.

Hewan peka

sunting
 
Babi domestik (Sus scrofa domesticus), hewan rentan terhadap demam babi klasik.

Babi domestik dan babi hutan (keduanya merupakan subspesies dari Sus scrofa) merupakan reservoir alami Pestivirus C.[12] Secara umum, anggota famili Suidae rentan terhadap demam babi klasik. Pestivirus C telah dideteksi pada pekari berbibir putih (Tayassu pecari), dan infeksi eksperimental telah dilakukan pada babi warthog (Phacochoerus africanus), babi semak (Potamochoerus larvatus), dan pekari berkerah (Tayassu tajacu).[13] Belum ada bukti bahwa Pestivirus C dapat menginfeksi manusia.

Penyebaran penyakit

sunting

Demam babi klasik ditemukan di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Sejumlah negara telah dinyatakan bebas dari penyakit ini, seperti Australia dan Selandia Baru, beberapa negara di Amerika Utara (seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko), Eropa (seperti Belanda, Britania Raya, Jerman, Prancis, dan Spanyol), serta Amerika Selatan (seperti Argentina, Chili, Paraguay, dan Uruguay).[14][15]

Di Indonesia, kasus demam babi klasik pertama kali ditemukan di Sumatera Utara pada tahun 1994 dan mewabah pada tahun 1995.[16][17] Penyakit ini lalu menyebar provinsi lain di Pulau Sumatra, ke Pulau Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi.[18] Pada tahun 1997, Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 888/Kpts/TN.560/9/97 menyatakan bahwa penyakit ini telah menyebar di 11 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.[18] Provinsi Papua dan Papua Barat ikut mengalami wabah pada tahun 2006.[19]

Pada tahun 2014, Provinsi Sumatera Barat secara resmi ditetapkan bebas dari demam babi klasik melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 181/Kpts/PD.650/2/2014.[20] Di akhir tahun 2019, ribuan babi di Sumatera Utara mati secara mendadak. Pengujian laboratorium menunjukkan hasil positif terhadap demam babi klasik dan terindikasi demam babi afrika, penyakit yang belum pernah ditemukan sebelumnya di Indonesia.[21]

Penularan

sunting

Cara penularan yang paling sering terjadi adalah melalui kontak langsung antara babi terinfeksi dengan babi sehat. Cairan tubuh dari babi terinfeksi (air liur, leleran dari hidung dan mata, darah, urin, serta tinja) merupakan sumber virus.[22] Hewan yang terinfeksi secara persisten (kronis) sering kali tidak menunjukkan tanda klinis, tetapi menyebarkan partikel virus ke lingkungan melalui tinjanya.[11][22] Virus juga dapat menempel pada benda mati seperti pakaian, sepatu, dan kendaraan[22] sehingga orang yang bepergian antarpeternakan babi memiliki peran penting dalam penyebaran penyakit.

Babi sehat menjadi terinfeksi akibat menelan partikel virus, termasuk memakan daging babi atau olahannya yang mengandung Pestivirus C. Konsumsi sampah sisa makanan yang dikenal dengan istilah swill feeding juga dapat membuat babi terinfeksi.[23] Penularan juga dapat terjadi secara vertikal selama kebuntingan. Janin dapat terinfeksi sejak berada dalam rahim induk yang menderita demam babi klasik. Keberadaan babi liar di sekitar peternakan babi juga perlu diwaspadai.

Tanda klinis

sunting

Penyakit ini memiliki bentuk akut dan kronis, dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Babi dapat menunjukkan tanda klinis yang berat dengan angka kematian yang tinggi, hingga tanda klinis yang ringan atau bahkan tidak terlihat. Perbedaan ini dipengaruhi oleh strain virus, umur dan tingkat kekebalan babi, serta adanya infeksi campuran. Masa inkubasi berlangsung antara 2-14 hari[1] atau 3-7 hari pada bentuk akut.[24]

Demam babi klasik bentuk akut disebabkan oleh strain virus ganas dan sering kali ditemukan pada babi berusia muda. Tanda klinis yang dijumpai yaitu demam tinggi; lemah dan tidak nafsu makan; konjungtivitis; sianosis terutama pada telinga, moncong, kaki, dan ekor; hiperemi atau pendarahan multifokal pada kulit; konstipasi yang diikuti diare, pembengkakan kelenjar getah bening; ataksia, paresis, dan kejang; inkoordinasi dan cara berjalan yang aneh; leukopenia berat; dan perilaku berkerumun bersama-sama.[23][1] Beberapa babi akan muntah atau menunjukkan gangguan sistem pernapasan.[24] Kematian biasanya terjadi setelah 1-2 pekan[23] di mana angka kematian pada babi muda bisa mencapai 100%.[1] Kematian mendadak tanpa adanya tanda klinis bukanlah karakter penyakit ini.[25]

Penyakit bentuk kronis disebabkan oleh strain virus yang lebih jinak atau pada peternakan yang sebagian babinya telah memiliki kekebalan terhadap Pestivirus C. Babi yang sakit kronis menunjukkan perilaku bodoh, nafsu makan yang berubah-ubah, demam, dan diare hingga satu bulan, rambut acak-acakan, dan pertumbuhan terhambat.[1] Babi yang sakit akan terlihat pulih dalam beberapa pekan, tetapi tanda klinis penyakit dapat muncul kembali.[24]

Pada penularan kongenital, janin dapat mengalami kematian atau abortus, kelemahan umum, tremor, kekerdilan pertumbuhan, dan berujung pada kematian dalam beberapa pekan atau bulan.[1] Infeksi kongenital juga dapat terjadi secara persisten tanpa tanda klinis. Walaupun demikian, babi hanya mampu bertahan hidup beberapa bulan dan akan mati dalam satu tahun.[25]

Diagnosis

sunting

Dengan tanda klinis yang bervariasi, pengujian laboratorium dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Untuk mengonfirmasi kasus klinis, isolasi virus pada kultur sel dan uji reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan metode pengujian yang sesuai, diikuti dengan uji netralisasi virus.[26] Spesimen yang sesuai untuk pengujian yaitu tonsil, kelenjar getah bening (mandibular, retrofaringeal, gastrohepatik, dan mesenterik), limpa, ginjal, ileum, darah tanpa antikoagulan, dan usap hidung atau tonsil.[11]

Uji ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh babi. Namun, perlu diingat bahwa Pestivirus C bersifat imunosupresif sehingga antibodi tidak bisa dideteksi dengan jelas hingga minimum 21 hari pascainfeksi.[27] Pemeriksaan antibodi lebih tepat digunakan untuk mendeteksi sisa-sisa infeksi dalam suatu peternakan, mengevaluasi usaha pemberantasan penyakit, mengetahui prevalensi penyakit, memastikan individu hewan bebas penyakit sebelum dilalulintaskan, serta mengetahui status kekebalan tubuh pascavaksinasi.[25][27]

Penyakit lain yang dapat dikelirukan dengan demam babi klasik yaitu demam babi afrika (ASF), salmonelosis bentuk sepsis, pasteurelosis, streptokokosis, erisipelas, dan infeksi Haemophilus somnus.[28]

Pencegahan dan pengendalian

sunting

Penyakit ini tidak bisa diobati.[29] Hewan yang tertular harus dimusnahkan dengan cara dikubur atau dibakar dalam insinerator. Demam babi klasik bisa dicegah dengan pemberian vaksin serta melakukan pemasukan babi hidup maupun produknya (semen, embrio, daging, kulit, rambut, dan tinja) yang sesuai dengan rekomendasi teknis Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE).[30] Penetapan negara, zona, maupun kompartemen yang bebas dari demam babi klasik diperlukan dalam program pemberantasan penyakit yang berkelanjutan.

Temuan kasus demam babi klasik wajib dilaporkan karena penyakit ini ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai penyakit hewan menular strategis (PHMS) dan termasuk dalam daftar penyakit yang wajib dilaporkan pada OIE.[2] Pada kondisi wabah, rekomendasi tindakan yang perlu diambil yaitu eliminasi semua babi pada peternakan terinfeksi, pemusnahan bangkai secara aman, disinfeksi menyeluruh, penentuan zona terinfeksi dengan pengendalian lalu lintas babi, serta penyelidikan epidemiologis yang diikuti surveilans.[31]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b c d e f g OIE Disease Cards (2009), hlm. 2.
  2. ^ a b "OIE-Listed diseases, infections and infestations in force in 2019". www.oie.int (dalam bahasa Inggris). World Organisation for Animal Health (OIE). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-14. Diakses tanggal 12 November 2019. 
  3. ^ "Classical Swine Fever". www.cabi.org (dalam bahasa Inggris). Centre for Agriculture and Bioscience International (CABI). 
  4. ^ International Committee on Taxonomy of Viruses. (2000). ICTV 7th report (PDF). hlm. 27. 
  5. ^ International Committee on Taxonomy of Viruses. (2000). Virus taxonomy: classification and nomenclature of viruses: seventh report of the International Committee on Taxonomy of Viruses. Van Regenmortel, M. H. V., International Union of Microbiological Societies. Virology Division. San Diego: Academic Press. ISBN 0123702003. OCLC 42622215. 
  6. ^ Smith, Donald B.; Meyers, Gregor; Bukh, Jens; Gould, Ernest A.; Monath, Thomas; Scott Muerhoff, A.; Pletnev, Alexander; Rico-Hesse, Rebecca; Stapleton, Jack T. (2017-08-01). "Proposed revision to the taxonomy of the genus Pestivirus, family Flaviviridae". Journal of General Virology (dalam bahasa Inggris). 98 (8): 2106–2112. doi:10.1099/jgv.0.000873. ISSN 0022-1317. PMC 5656787 . PMID 28786787. 
  7. ^ "Virus Taxonomy: 2018b Release". talk.ictvonline.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 11 Oktober 2019. 
  8. ^ "Pestivirus A". species.wikimedia.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 9 November 2019. 
  9. ^ "Pestivirus B". species.wikimedia.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 9 November 2019. 
  10. ^ "Pestivirus D". species.wikimedia.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 9 November 2019. 
  11. ^ a b c Risatti, Guillermo, R.; Borca, Manuel. "Overview of Classical Swine Fever (Hog Cholera, Swine Fever)". www.msdvetmanual.com (dalam bahasa Inggris). MSD Veterinary Manual. 
  12. ^ a b OIE Disease Cards (2009), hlm. 1.
  13. ^ Spickler (2019), hlm. 1.
  14. ^ "Map of CSF official status". www.oie.int (dalam bahasa Inggris). World Organisation for Animal Health (OIE). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-12. Diakses tanggal 12 November 2019. 
  15. ^ "List of CSF free Members". www.oie.int (dalam bahasa Inggris). World Organisation for Animal Health (OIE). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-12. Diakses tanggal 12 November 2019. 
  16. ^ Dirkeswan (2014), hlm. 37.
  17. ^ Dirkeswan (2015), hlm. 1.
  18. ^ a b Dirkeswan (2015), hlm. 2.
  19. ^ Kementerian Pertanian RI (2006), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 606/Kpts/OT.160/10/2006 tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Sampar Babi (Classical Swine Fever/Hog Cholera) pada Ternak Babi di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  20. ^ Dirkeswan (2018), hlm. 76.
  21. ^ Muhlis (2019-11-10). "Ratusan Babi Mati di Medan Diduga Akibat Virus Hog Cholera dan Suspect ASF". akurat.co. Diakses tanggal 12 November 2019. 
  22. ^ a b c OIE GDIS (2013), hlm. 2.
  23. ^ a b c "Classical Swine Fever (CSF)". www.oie.int (dalam bahasa Inggris). World Organisation for Animal Health (OIE). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-09. Diakses tanggal 2019-11-11. 
  24. ^ a b c Spickler (2019), hlm. 2.
  25. ^ a b c OIE Manual (2019), hlm. 2.
  26. ^ OIE Manual (2019), hlm. 3.
  27. ^ a b OIE Manual (2019), hlm. 10.
  28. ^ Dirkeswan (2014), hlm. 39.
  29. ^ OIE Disease Cards (2009), hlm. 4.
  30. ^ OIE Code (2019).
  31. ^ OIE Disease Cards (2009), hlm. 5.

Daftar pustaka

sunting

Pranala luar

sunting