Hikayat dalam sastra Aceh adalah sebuah bentuk karya tulis yang berbentuk puisi, berbeda halnya dengan hikayat dalam bahasa Melayu yang berbentuk prosa.

Manuskrip Hikayat Aceh secara resmi menjadi Memory of The World atau warisan dunia yang ditetapkan organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 18 Mei 2023. Naskah berbahasa Melayu dalam aksara Arab itu menceritakan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda.[1]

Nominasi naskah ini ke UNESCO diajukan bersama oleh Belanda dan Indonesia. Manuskrip ini sangat istimewa. Sebab, tergolong sangat tua untuk sebuah manuskrip berbahasa Melayu. Naskah tersebut ditulis pada abad ke-17.

Penyusunan naskah tersebut atas inisiatif dari putri Sultan Iskandar Muda. Di dalamnya juga banyak menceritakan kehidupan di Aceh masa itu, perang, Islam, dan hubungan luar negeri Aceh—di antaranya dengan Portugal, Cina, dan Turki.

Naskah Hikayat Aceh tergolong langka. Menurut situs Universitas Leiden, ada tiga manuskrip yang diusulkan ke UNESCO. Dua di antaranya saat ini disimpan di Leiden dan satu lagi di Perpustakaan Nasional Indonesia.

Naskah tertua dan paling lengkap ada di Leiden, yang ditulis sekitar 1675-1700 Masehi. Sebuah salinan yang juga di Leiden ditulis pada 1874. Adapun di Perpustakaan Nasional Indonesia ditulis pada awal abad ke-20.

Dengan hanya tiga manuskrip yang masih ada, Hikayat Aceh termasuk sangat langka. Hikayat ini merupakan sumber penting bagi siapa pun yang tertarik dengan Islam, hubungan internasional, dan sejarah Aceh.

Daftar Hikayat

sunting
  1. Hikayat Prang Sabi
  2. Hikayat Raja-raja Pasai
  3. Hikayat Teungku di Meukek
  4. Hikayat Prang Peuringgi
  5. Hikayat Prang Gompeuni
  6. Hikayat Malem Diwa
  7. Hikayat Banta Beuransah
  8. Hikayat Meudeuhak
  1. ^ "Manuskrip Hikayat Aceh Jadi Warisan Dunia: Naskah Langka, Kisah Sultan Iskandar Muda - Acehkini.ID". 2023-05-31. Diakses tanggal 2023-10-04.