Hebo

Tuhan dari Sungai Kuning
(Dialihkan dari He Bo)

Hebo (Hanzi: 河伯; harfiah: 'Dewa Sungai') adalah tokoh yang dipuja sebagai dewa penguasa Sungai Kuning. Ia memegang peranan penting dalam sejarah peribadatan di Tiongkok (khususnya Tiongkok bagian utara) serta budaya Tiongkok, baik sastra maupun puisi. Sungai Kuning sendiri merupakan salah satu sumber air utama untuk irigasi bagi lahan pertanian semenjak masa kelahiran peradaban Tiongkok hingga sekarang.

Lukisan Hebo pada Shan Hai Jing edisi tahun 1597

Nama "Hebo" memiliki arti "Tuan penguasa Sungai": dalam hal ini, sungai yang dimaksudkan adalah Sungai Kuning, yaitu sungai utama yang mengalir di Tiongkok Utara. Hebo (bahasa Tionghoa: 河伯; Pinyin: Hébó) diartikan sebagai "nama atau desa sungai yang diasosiasikan dengan Sungai Kuning". 河 diterjemahkan sebagai "sungai; sungai kecil; Sungai Kuning", secara umum digunakan untuk merujuk sungai atau air yang mengalir, tetapi juga bisa digunakan untuk merujuk Sungai Kuning. Aksara ini tersusun atas radikal shuǐ (氵) "air", kǒu (口) "mulut", (一) "satu", dan jué (亅) "kait". , bǎi, atau 伯 diterjemahkan sebagai "kakak laki-laki; kakak laki-laki ayah; pria yang lebih senior; pangkat feodal", tersusun atas radikal rén (亻) "manusia" dan bái (白) "putih".[1]

Sungai Kuning

sunting
 
He Bo, syair nomor 8 dari 11 syair "Sembilan Lagu", diterbitkan dengan judul Li sao, pengarang diatribusikan kepada Qu Yuan (pengarang sebenarnya tidak diketahui), dengan ilustrasi oleh Xiao Yuncong.

Sungai Kuning disebut sebagai "tempat lahirnya peradaban Tiongkok" karena lembah sungainya merupakan tempat kelahiran peradaban kuno Tiongkok. Tempat ini merupakan wilayah yang paling makmur pada masa sejarah Tiongkok awal. Namun, karena seringnya terjadi banjir dan perubahan jalur sungai akibat peningkatan dasar sungai yang terus menerus (sebagian juga disebabkan erosi akibat aktivitas manusia di hulu), terkadang permukaan airnya bertambah tinggi sehingga merendam lahan pertanian di sekitarnya. Itulah sebabnya sungai ini juga dinamai "Duka cita Tiongkok" atau "Bencana para Putera Han".[2]

Karakter

sunting
 
Foto Sungai Kuning melewati Air terjun Hukou di Provinsi Shanxi, Tiongkok, 2005

Sebagai dewa Sungai Kuning, salah satu sungai utama di dunia yang berasosiasi dekat dengan budaya Tiongkok, Hebo merupakan personifikasi dari karakteristik sungai tersebut: ia dipandang penuh kebajikan, tetapi juga serakah, tidak dapat diprediksi, serta berbahaya karena dapat merusak.[3]

Pelajar dari Dinasti Jin bernama Guo Pu menyatakan bahwa Hebo pertama kali digambarkan sedang menaiki keretanya yang ditarik dua naga melintasi awan-awan ke seluruh penjuru. Bagian "Sembilan Lagu" dalam antologi puisi Chu Ci memiliki syair yang menceritakan sebuah petualangan pernikahan bersamanya di atas kereta yang ditarik dua naga. Beberapa sumber awal -seperti Shizi yang mengisahkan dirinya menyerahkan diagram sungai kepada Yu yang Agung- mendeskripsikan Hebo memiliki wajah manusia yang berkulit putih dengan tubuh ikan.[3]

Salah satu bab Zhuangzi mengisahkan Hebo mengunjungi laut utara, tempat tinggal Ruo -Dewa Laut, sebagai berikut:

Banjir musim gugur tiba, dan ratusan sungai kecil mengalir ke dalam Sungai Kuning. Arusnya yang deras menjadi meluas hingga suatu ukuran yang, jika dilihat dari tepi sungai ke tepi yang lain atau dari pulau ke pulau, tidak mungkin untuk membedakan seekor kuda dengan seekor sapi. Lalu Hebo merasakan kegembiraan, meyakini bahwa segala keindahan di dunia adalah hanya miliknya sendiri. Mengikuti arus, ia berkelana ke timur hingga akhirnya mencapai Laut Utara. Melihat ke timur, ia tidak dapat melihat batas dari air. Hebo mulai menggelengkan kepalanya dan memutar bola matanya. Mengintip jauh ke arah Ruo, ia menarik napas panjang dan berkata: "Pepatah umum mengatakan, 'Ia telah mendengar Tao ("Jalan") sebanyak ratusan kali, tetapi ia berpikir dirinya lebih baik dibandingkan siapapun.' Hal ini terjadi padaku. Di masa lalu, aku mendengar seseorang merendahkan ajaran Konfusius dan meremehkan kebajikan Bo Yi, meskipun aku tidak pernah mempercayai mereka. Sekarang, bagaimanapun, aku telah melihat luasmu yang tak terhingga. Jika aku tidak datang ke gerbangmu, aku pasti berada dalam bahaya. Aku pasti akan ditertawakan untuk selama-lamanya oleh para guru Metode Agung!"[4]

Kultus pemujaan

sunting
 
Kuil Hebodi Hequ, Xinzhou, Shanxi.

Pada masa lampau, aliran Sungai Kuning dipercaya berasal dari Gunung Kunlun mitologis. Kultus Hebo dimulai dari negara-negara kuno di wilayah barat laut dan tengah Tiongkok kemudian menyebar ke selatan.[3]

Inskripsi tulang ramalan menyediakan bukti kuat mengenai adanya persembahan kurban kepada Hebo pada masa Dinasti Shang.[3][5] Ia dipuja pada berbagai waktu sebagai objek dari pengurbanan manusia dan sebagai figur dalam kultus imperial.[6] Selain hewan dan manusia yang ditenggelamkan untuk menjadi kurban bagi Hebo, gadis perawan juga dipersembahkan untuk menjadi istrinya.[3] Persembahan manusia sepertinya masih dilakukan hingga Periode Negara Perang, terutama dalam bentuk persembahan gadis perawan sebagai pengantin wanita yang ditumpangkan di atas rakit pengantin dan dihanyutkan ke sungai.[5] Para shaman yang korup menggunakan praktik ritual tersebut untuk memperoleh uang sebagai imbalan untuk mencari gadis yang akan dikurbankan sebagai pengantin Hebo.[7] Seorang pejabat-pelajar bernama Ximen Bao ("Hsi-men Pao") menghentikan praktik tersebut pada wilayah Ye. Namun, praktik persembahan pengantin masih dilakukan di tempat lain hingga masa Shi Huangdi dari Qin.[6]

Buku Zhuangzi menyebutkan bahwa para shaman Wu dan pendeta Zhu -yang bertugas menjalankan ritual- menganggap lembu berdahi putih, babi dengan moncong menghadap ke atas, dan manusia yang menderita wasir, tidak cocok untuk dijadikan kurban persembahan. Terdapat pula kasus orang-orang menenggelamkan kuda dan mempersembahkan benda berharga ke dalam sungai. Pada masa Dinasti Han, terdapat catatan mengenai persembahan berupa benda-benda giok bersama dengan seekor kuda hidup.[3]

Legenda

sunting

Bingyi

sunting

Sebelum menjadi dewa, Hebo adalah seorang manusia bernama Bingyi (冰夷) yang tenggelam di Sungai Kuning saat berusaha menyeberang. Semenjak saat itu, ia ditugaskan untuk menjadi dewa sungai tersebut. Ia memiliki istri bernama Luopin atau Luoshen, Dewi Sungai Luo (Henan), tetapi ia sering kali bersenang-senang meninggalkan istrinya.[3][6][7]

Banjir besar Tiongkok

sunting

Hebo memberikan Peta Sungai Kuning kepada Yu yang Agung dalam rangka usahanya menghentikan bencana air bah yang melanda Tiongkok kuno.[8]

Hebo dan Houyi

sunting

Hebo dan Houyi bertemu dalam suatu legenda.[8] Puisi "Pertanyaan-pertanyaan Surga" menyinggung legenda tentang Houyi yang memanah Hebo. Wang Yi, seorang komentator dari Dinasti Han, membubuhkan keterangan berikut ini:

Hebo mengubah dirinya menjadi sesosok naga putih dan berkelana di sepanjang sungai saat Yi sang pemanah melihatnya dan melepaskan sebatang anak panah kearahnya, mengenai mata kirinya. Hebo mengeluh pada Maha Dewa Surga, Di, dan berkata, "Bunuh Yi untuk membalaskan dendamku!" Sang Maha Dewa bertanya, "Mengapa dirimu dipanah?" dan ia menjawab, "Hamba mengubah wujud hamba menjadi sesosok naga putih dan berkelana." Maha Dewa berkata, "Jika kamu hanya mendedikasikan dirimu untuk menjalankan tugas-tugasmu sebagai sesosok dewa, bagaimana mungkin Yi akan melakukan dosa itu? Sekarang kamu menjadi seekor binatang, dan wajar jika seseorang akan memanahmu. Yi bertindak pantas, jadi kejahatan apa yang ia lakukan?"[3]

Huainanzi menyebutkan bahwa alasan Houyi memanah Hebo adalah karena sang dewa sungai telah menenggelamkan orang-orang.[3] Versi lain menyebutkan bahwa Houyi memanah Hebo karena sang dewa sungai cemburu atas perselingkuhan Houyi dengan istrinya, Dewi Sungai Luo. Karena tidak bisa mengalahkan Houyi, Hebo mengancam akan membuat sungai Zhang meluap jika manusia tidak mengiriminya seorang gadis cantik untuk dijadikan istri.[7]

Pada suatu ketika, Ximen Bao menghadiri upacara persembahan pengantin kepada Hebo dan bermaksud untuk menghentikan kebiasaan tersebut. Ia berkata kepada para shaman bahwa gadis yang mereka pilih saat itu tidak cukup cantik untuk dijadikan istri Hebo. Ia berkata bahwa salah seorang shaman harus memberi tahu Hebo bahwa ia harus bersabar karena gadis yang lebih cantik masih akan dicarikan sebagai istrinya, kemudian menenggelamkan shaman tersebut ke sungai. Karena tidak muncul-muncul kembali, Ximen Bao berkata bahwa harus ada shaman lain yang dikirim untuk memperoleh jawaban Hebo. Setelah para shaman lainnya berlutut dan memohon ampun, ia berkata bahwa praktik tersebut harus dihentikan dan masyarakat harus membangun 12 parit untuk mencegah terjadinya banjir.[7]

Kultur

sunting

Hebo merupakan salah satu karakter yang dimainkan dalam Jiu Ge ("Sembilan Lagu"), salah satu bagian dari antologi puisi Chu Ci. Lirik-lirik dalam Jiu Ge sepertinya merupakan lirik yang menjadi bagian dalam pertunjukan drama religius kuno. Namun, pengaturan kostum yang digunakan, koreografi, musik pengiring, dan fitur-fitur lainnya telah hilang seiring dengan perubahan zaman. Dari antara semua makluk suci yang disebutkan dalam syair-syair Jiu Ge, Hebo memiliki daya tarik kultural yang paling mainstream.[5]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ anonim. "河伯". MDBG Chinese Dictionary. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-17. Diakses tanggal 8 November 2015. 
  2. ^ New York Times "A Troubled River Mirrors China's Path to Modernity Diarsipkan 2023-05-30 di Wayback Machine.". 19 November 2006 p. 4.
  3. ^ a b c d e f g h i Strassberg, Richard E. (2002). A Chinese Bestiary: Strange Creatures from the Guideways Through Mountains and Seas. Berkeley: University of California Press. hlm. 201-203. ISBN 0-520-21844-2. 
  4. ^ Watson, Burton (2013). The Complete works of Zhuangzi. New York: Columbia University Press. ISBN 9780231164740. 
  5. ^ a b c Hawkes, David (2011 [1985]). The Songs of the South: An Ancient Chinese Anthology of Poems by Qu Yuan and Other Poets. London: Penguin Books. hlm. 113-114. ISBN 978-0-14-044375-2. 
  6. ^ a b c Christie, Anthony (1968). Chinese Mythology. Feltham: Hamlyn Publishing. hlm. 79, 82-83. ISBN 0600006379. 
  7. ^ a b c d Lianshan Chen (2011). Chinese Myths and Legends. New York: Cambridge University Press. hlm. 108-110. ISBN 978-0-521-18679-7. 
  8. ^ a b Yang, Lihui, dkk (2005). Handbook of Chinese Mythology. New York: Oxford University Press. hlm. 131. ISBN 978-0-19-533263-6.