Hassasin, bahasa Arab الحشاشين, transliterasi "Al-Hasyāsyīn", (juga disebut Hasyisyin, Hasyasyiyyin, Hasysyasyin atau Assassin) adalah salah satu cabang dari Syi'ah Ismailiyah. Mereka mendirikan beberapa pemukiman di Iran, Irak, Suriah dan Lebanon di bawah pemimpin karismatik Hassan-i Sabbah. Mereka mengirim orang yang berdedikasi untuk membunuh pemimpin-pemimpin penting baik dari sisi Latin/Franka dalam perang salib maupun sisi Sunni, yang dianggap mereka sebagai "kaum kafir perebut takhta."[1]

Benteng Hassasin di Alamut.

Etimologi

sunting

Sekte ini menyebut dirinya al-Da'wa al-Jadīda, dari bahasa Arab yang artinya panggilan baru, kebalikan dari slogan kelompok Fatimiyah panggilan lama. Nama Hasyasyin oleh beberapa orang diartikan sebagai pengikut Hassan (pemimpin kelompok persia ini yang bernama Hassan-i Sabah). meskipun ini masih diperdebatkan. Variasi terkini tentang teori ini, dijelaskan oleh Edward Burman, bahwa julukan tersebut diberikan oleh para pengkritik kelompok Nizari yang mencurigai kelompok rahasia ini, serta pelaksanaan konsep filosofi dan teologi mereka yang heterodoks.[butuh rujukan]

Pandangan umum ini bisa jadi memengaruhi pendapat para pelaku perang salib, dan tentunya juga kisah perjalanan Marco Polo ke benteng Alamut pada tahun 1273 juga menyebutkan tentang hal ini. Karena salah satu atau kedua sumbar inilah kata 'assasin' yang telah artinya telah terdistorsi masuk ke dalam kosakata bahasa Barat.[butuh rujukan]

Meskipun demikian, etimologi yang paling diterima mengenai kata assasin adalah dari kata Hassan (Hassan-i Sabbah) dan pengikutnya, dan begitu adanya selama berabad-abad. Keriuhan di sekitar versi Hasish dimulai oleh seorang orientalis bangsa Prancis, Silvestre De Sacy, yang pada tanggal 7 juli 1809 mengadakan kuliah di Institute of France, dia mengutip kembali kisah Marco Polo tentang narkotika & sekte ini, serta menghubungkannya dengan kata ini. Herannya teori ini mendapatkan kesuksesan yang sangat besar, dan masih digunakan hingga saat ini.[2]

Banyak cendekiawan berargumen, dan dengan sangat meyakinkan, bahwa julukan 'pemakan hashish' atau 'pengambil hashish' diberikan oleh lawan dari kelompok Ismaili dan tidak pernah digunakan dalam kisah-kisah atau sumber-sumber muslim. Karenanya istilah ini diartikan secara negatif sebagai 'musuh' atau 'orang-orang yang tidak terhormat'. Pengertian istilah ini berlaku hingga zaman modern sebagaimana kata Hasyashin di Mesir pada tahun 1930-an yang berarti 'berisik atau rusuh'. Sangatlah tak mungkin Hassan-i Sabbah yang taat terlibat dalam pengambilan narkotik, tidak disebutkan adanya narkotik hashish terkait para pembunuh Persia ini, khususnya di perpustakaan Alamut (the secret archives),[3] dan menyebut mereka hash-ishiyun, "penyedot hashish". Beberapa orientalis mengira ini adalah asal dari kata assassin, yang dalam banyak bahasa Eropa artinya lebih mengerikan, tetapi kenyataannya berbeda. Menurut teks yang kami dapat dari Alamut, Hassan-i Sabbah biasa menyebut pengikutnya Asasiyun, yang berarti orang-orang yang taat pada asas, artinya 'dasar' dari keyakinan. Inilah kata, yang disalah artikan oleh para pengelana asing, yang kelihatannya mirip dengan kata "Hashish".[4]

Sejarah

sunting

Meskipun menjadi minoritas di dalam minoritas, sekte Ismailiyah, di bawah pimpinan para imamnya, telah berhasil membangun gerakan rahasia bawah tanah yang berkelanjutan terhadap kekhalifahan Abbasiyah. Mereka bermaksud merealisasikan gagasan-gagasan revolusioner mereka dengan cara membangun negara Syiah pertama, Kekhalifahan Fatimiyah, di sepanjang Mediterania dan Levant, dengan ibu kotanya Kairo. Kerajaan ini bertujuan untuk melakukan terobosan ilmiah dan sosial terhadap masyarakatnya, termasuk kebebasan beragama, dan memang, kelompok Fatimiyah berjasa dalam beberapa kemajuan besar pada masa kejayaan Islam.

Pada tahun 1904, ketika Khalifah Fatimiah VIII dan imam kelompok Ismailiyah Maad al-Mustansir Billah sakit di Kairo, Wazirnya yang berpengaruh, Al-Afdal, mengambil alih kekuasaan negara dan menunjuk anak bungsu khalifah, Al- Musta'i (ipar sang wazir) sebagai khalifah, dalam sebuah kudeta di istana. Nizar, sang pewaris kekuasaan yang sebenarnya, pergi ke e, di saat dia mendapat dukungan kuat dan lalu memimpin perlawanan,tetapi kemudian dikalahkan dan dibunuh atas perintah saudaranya. Hal ini menyebabkan perpecahan di kalangan Ismailiyah, dan para pendukung Nizar, yang dijuluki kaum Nizari, pindah ke timur dan melanjutkan perjuangan mereka di bawah pimpinan mereka si penyeru dari Persia yang kharismatik, Hassan-i Sabbah.

Hassan-i Sabbah sebelumnya dikenal sebagai sebagai penyeru utama, Da'i, di mesin propanganda rahasia kalangan Fatimiah di dalam kekhalihafan Abbasiyah. Dia lalu memimpin kelompok perlawanan Nizari, dan berhasil mendapatkan dukungan dari mayoritas shiah Fatimiyah di Levant, Persia, Iraq, sekelompok pengikut bawah tanah di jantung kekhalifahan Fatimiyah, di Mesir, dan di Afrika Utara lainnya. Meski demikian, dengan memisahkan diri dari kekhalifakan Fatimiah, para pengikut Hassan-i Sabbah menjadi terkucil dan kalah kekuatan di wilayah musuh.

Tidak puas hanya bertahan, sebaliknya teguh untuk membangun suatu negara impian yang baru, Kaum Nizariyya merancang suatu strategi untuk mengendalikan benteng-benteng yang secara strategis penting dengan diam-diam mengislamkan para penduduk di dalam wilayah dan di sekitar benteng-benteng strategis Ismailiyah. Mereka membangun suatu bentuk baru 'negara di dalam negara' yang mencakup beberapa 'pulau' pemukiman yang dikelilingi tembok di wilayah, sekarang ini, Iran, Irak, Syria dan Libanon. Awal yang resmi dari Federation of the Assasins adalah tahun 1090 ketika Hassan-i Sabbah mendirikan basis pertamanya di Daylam, di dalam benteng Alamut (sangkar elang dalam bahasa Persia) di selatan laut Kaspia. Alamut tetap menjadi ibu kota dari 'Federasi kaum Assassin', dan tempat bermukim para pemimpinnya, disebut penguasa Alamut, hingga keruntuhannya.

Taktik: pembunuhan, intimidasi dan intrik

sunting

Karena tidak mampu membentuk satuan tentara konvensional, kaum Nizariyya membentuk peperangan asimetris yang mengubah tindakan pembunuhan politis menjadi suatu sistem untuk bertahan hidup dan pertahanan terhadap musuh-musuhnya. Mereka melatih pasukan komando tersamar yang sangat terlatih (ahli dalam bahasa, ilmu pengetahuan, perdagangan dan lain-lain, yang dikenal sebagai Fedayeen, yang secara diam-diam akan menginfiltrasi posisi musuh dan selalu menyamar. Jika warga Nizari menghadapi ancaman pembunuhan atau benteng mereka akan diserang, Fedayeen diaktifkan untuk menghadapi serangan tersebut.

Fedayeen menggunakan ketrampilan mereka yang termasyhur untuk tujuan-tujuan politik tanpa harus membunuh; misalnya seorang korban, biasanya berpangkat tinggi, di suatu pagi akan mendapati belati Fedayeen di atas bantalnya di saat bangun pagi. Ini petunjuk yang jelas bagi orang tersebut bahwa dia tidak lagi aman dimanapun, bahwa lingkaran dalam para pelayannya telah diinfiltrasi oleh kelompok pembunuh tersebut, dan bahwa tindakan apapun yang menyebabkannya berkonflik dengan kaum Hashshashin harus dihentikan, jika ia ingin hidup.

Di Persia mereka menggunakan taktiknya secara langsung terhadap kaum Turki seljuk yang membunuhi kaum Nizari. Saat membunuh tokoh tertentu, mereka sangat hati-hati, melakukannya tanpa jatuhnya korban yang tidak perlu dan hilangnya nyawa orang yang tak bersalah, meski mereka juga sengaja membentuk reputasinya yang mengerikan dengan membantai korbannya di depan umum. Umumnya, mereka mendekati dengan memakai samaran, atau telah menjadi agen tersamar di suatu kelompok. Mereka lebih menyukai belati atau pisau kecil yang tersembunyi, mereka menolak menggunakan racun, panah atau alat lain yang bisa memungkinkan penyerangnya lolos dan hidup.

Di Levant diyakini bahwa Saladdin, yang kesal akibat beberapa serangan hashshashin yang hampir berhasil atas dirinya, mengepung basis mereka di Syria, Masyaf, saat pengambilalihan kembali Outremer pada tahun 1176. Lalu ia mengakhiri pengepungan tersebut setelah perjanjian, dan setelahnya berusaha menjaga hubungan baik dengan sekte tersebut. Dari sekte itu sendiri tersiar kabar bahwa assassin Rashid-ad Dinan menyelinap ke dalam tenda Saladdin, di tengah-tengah kampnya, meninggalkan sepotong kue yang telah diberi racun dan selembar surat bertuliskan "anda berada dalam genggaman kami" yang ditaruh di perut Saladdin saat dia tidur, dan kemudian menyelinap keluar lagi tanpa suatu halangan. Kisah lainnya menceritakan tentang surat yang dikirim kepada paman Saladdin yang penyayang berisi ancaman mati bagi seluruh garis keturunan kerajaan, mungkin bukan sekadar ancaman kosong. Apapun kebenarannya, paman Saladdin jelas-jelas mematuhi ancaman tersebut dan mengurungkan niatnya.

Kaum Hashshashin juga termasuk kelompok pertama yang menggunakan sinyal pantulan cermin di siang hari untuk berkomunikasi dengan basis terdekat, khususnya sekitar alamut. Di malam hari mereka menggunakan sinyal api.

Kaum Hasshashin sering kali menerima kontrak dari pihak luar. Richard the Lionheart adalah salah satunya yang dicurigai membayar mereka untuk membunuh Conrad de Montferrat. Dalam banyak kasus, kaum Hashshashin digunakan untuk mempertahankan keseimbangan musuh mereka. Korban-korban yang terkenal diantaranya Wazir Abbasiyah yang terkenal Nizam al-Mulk (1092), Wazir Fatimiah al-Afdal Shahanshah (1122)(bertanggung jawab memenjarakan kaum Nizari), Ibn al-Khashshab dari Aleppo (1125), al-Bursuqi dari Mosul (1126), Raymond II dari Tripoli (1152), Conrad de Montferrat (1192), dan pangeran Edward (kemudian menjadi Edward I dari Inggris) terluka oleh pisau beracun Hashshashin pada tahun 1271.

Mitos dan legenda

sunting

Perpustakaan Alamut telah dihancurkan, bersama dengan basis kekuatan Persia mereka, mengakibatkan hilangnya sebagian besar catatan mereka. Kebanyakan kisah mereka berasal dari cerita orang arab dan cerita dari Marco Polo. Mayoritas muslim sekarang memusuhi kaum Nizari, mereka disebut dengan istilah Batini. Istilah ini biasa digunakan untuk ejekan bagi mereka, khusunya kaum Ismailiyah, yang memahami makna tingkat esoterik dalam al-Qur'an. Pengucilan keagaman yang terus menerus ini yang akhirnya membuat mereka sampai membuat bersekutu dengan orang-orang kristen melawan kaum muslim di sejumlah kejadian bila itu sesuai dengan kepentingan mereka.

Kebanyakan kisah saat ini mengenai Assassin berasal dari Marco Polo, yang menyatakan telah mengunjungi Alamut pada tahun 1273 dalam pengembaraannya ke timur (kunjungan yang secara luas dianggap fiktif karena basis pertahanan tersebut telah dihancurkan oleh tentara Mongol pada tahun 1256). Polo menulis bahwa calon assassin diharuskan mengikuti ritual dimana mereka diberi narkotika untuk merasakan 'sekarat', dan kemudian dibangunkan di dalam taman penuh dengan anggur dan makanan mewah yang disajikan para gadis yang jelita. Si calon kemudian diyakinkan bahwa ia berada di surga dan sang pemimpin, Hassan-i Sabbah merupakan perwujudan dari keilahian dan bahwa seluruh perintahnya harus diikuti, bahkan sampai mati. Kisah-kisah lainnya tentang Hashshashin berasal dari pejuang perang salib yang kembali dari Levant yang bercerita mereka telah berjumpa dengan pemimpin Nizari Syria Rashid ad-Dinan Sinan (Si orang tua dari gunung)di benteng Masyaf.

Penggunaan bahan beracun tidak ada disebut di dalam sumber-sumber Ismailiyah, tidak juga di musuh-musuh mereka, Sunni dan Syiah, meski keduanya menderita akibat pembunuhan-pembunuhan oleh kaum Hashshashin. Misalnya Farhad Daftary dalam The Assassins Legends: Miths of the Isma'ili mengatakan: "di saat yang sama, di dalam budaya perang salib dari masa sebelum dan awal eropa modern, kaum Nizari di Persia dan Syria digambarkan sebagai tentara muslim bayaran yang membunuh korbannya selagi 'melayang' karena opium atau Hashish. Jika perancangan propaganda tentang pembunuh yang 'teler' ini tidak sesuai dengan realitas kompleks tentang disiplin dan pelatihan yang dibutuhkan untuk malukan tindakan jelas yang selalu bersifat politis, maka angapan umum tentang kaum Nizari sebagai komunitas pembunuh juga menafikan budaya mereka yang kaya dan beragam".

Edward Burman, dalam The Assassins - Holy Killers of Islam, mengatakan: "tidak disebutkan adanya narkotik tersebut (Hashish) terkait dengan para pembunuh Persia - khususnya di perpustakaan Alamut ('the secret archives')". Sebagai tambahan, the Encyclopedia of the Orient menolak tuduhan ini. Memang Hassan-i Sabbah tercatat keras khusus terhadap pengguna narkoika. Ia merasa narkotika melemahkan disiplin keras yang dibutuhkan para Nizari untuk bertahan hidup. Ia membuat contoh dengan menghukum anaknya di muka umum karena minum alkohol, yang dia yakini memberi contoh buruk bagi masyarakat yang sedang menghadapi cobaan berat tersebut. Benyamin of Tudela yang berkelana seratus tahun sebelum Marco Polo menyebutkan tentang Al-Hashshashin dan pemimpin mereka di tanah bulan sabit yang subur Al-Sinan yang oleh para pejuang perang salib dijuluki "Orang tua dari gunung". Dia mencatat kota utamanya adalah Qadmous.

Para cendekiawan modern yang diawali peneliti dari Soviet, untuk memahami lebih jauh komunitas-komunitas yang berada dalam wilayah mereka yang luas, melakukan survey dan menemukan komunitas-komunitas kecil Ismaili terisolasi di dataran-dataran yang berbahaya di dalam wilayah Asia tengah. Profesor Vladimir A. Ivanov, seorang orientalis Rusia, mengumpulkan dan menerbitkan salinan dari dokumen-dokumen yang berasal dari Alamut ini, yang mencakup catatan-catatan dari tangan pertama, diikuti oleh komentar mengenai kaum Hashshashin dari sumber aslinya. Kaum Nizari melanjutkan pekerjaan yang dimulai oleh orang-orang soviet, kemudian cendekiawan barat, untuk mengumpulkan, melestarikan dan mencetak karya-karya tertulis dari komunitas-komunitas Isma'ili Nizari. Pada tahun 1997, Institut of Ismaili Studies didirikan untuk menyebarkan karya ilmiah dari para akademisi ternama mengenai kaum Nizari. Banyak dari karya ini yang membahas periode Hashshashin, termasuk sejarah, ilmu pengetahuan dan filosofi mereka.

Pranala luar

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Lewis, p.145
  2. ^ Jacques Boudet, les mots de l'histoire, Ed. Larousse-Bordas, Paris
  3. ^ Edward Burman, The Assassins - Holy Killers of Islam, Ed. Crucible, Wellingborough, 1987)
  4. ^ Amin Maalouf, Samarkand, Interlink Publishing Group, New York, 1998