Hantu Aru-Aru merupakan sebuah cerita tradisional atau cerita rakyat yang berasal dari kanagarian IV Jurai Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat. Hantu aru-aru adalah makhluk halus yang bergentayangan ditempat-tempat tinggi. Tempat hantu aru-aru biasanya berada diatas bubungan atap, diatas pohon yang kayunya besar dan rindang serta di tempat tinggi lainya. Biasanya orang yang akan dirasuki oleh hantu aru-aru ini adalah anak-anak yang masih bermain di waktu sore atau lebih tepatnya pada saat waktu magrib tiba, kadang-kadang ada juga anak remaja yang suka melamun sendiri.[1]

Ketika sesorang telah dirasuki oleh hantu aru-aru, maka orang tersebut akan dibawa berjalan-jalan ketempat yang indah-indah karena pandangan matanya telah diubah oleh hantu aru-aru sehingga orang yang telah dirasuki tersebut akan menurut saja ke mana ia akan dibawa. Mereka yang pernah dilarikan oleh hantu aru-aru menceritakan, kalau dirinya dibawa bermain ketaman yang indah penuh dengan bunga-bunga dan kupu-kupu yang warnaya cantik-cantik. ada juga yang dibawa seolah-olah menaiki kuda atau naik keatas punggung burung besar yang seolah-olah terbang kelangit melihat pemandangan yang indah.[1] Orang yang sudah dilarikan oleh hantu aru-aru sulit untuk menemukannya, biasanya orang sekampung mencari berkeliling kampung dengan membunyikan canang atau bambu sebagai kentongan untuk mencari orang yang hilang tersebut dan menyusuri setiap rumah-rumah kosong maupun ke tempat pohon-pohon kayu yang besar.[1]

Ada sebuah pemahaman yang dapat diambil dari cerita rakyat di kanagarian IV Jurai Kabupaten Pesisir selatan Provinsi Sumatera Barat ini adalah jangan membarkan anak-anak bermain-main pada waktu sore hari menjelang masuknya waktu sholat magrib dikarenakan pada saat itu terjadi perpindahan antara siang dengan malam hari dan biasanya makhluk halus mulai menampakkan dirinya atau wujudnya pada tempat-tempat tertentu. Disamping itu janganlah suka melamun bagi anak-anak remaja karena dengan melamun mungkin ada-ada saja yang akan merasuki tubuhnya dalam artian istilah lokal disebut tasapo menurut pemahaman orang kampung di kanagarian IV Jurai Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d Hasanadi, d.k.k (2013). Warisan Budaya Tak Benda Di provinsi Sumatera Barat. Padang: Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang. hlm. 207–208. ISBN 978-602-8742-67-2.