Womanisme adalah teori sosial yang didasarkan pada sejarah dan pengalaman sehari-hari wanita kulit hitam. Cendekiawan wanita bernama Layli Maparyan (Phillips) mengatakan bahwa teori ini bertujuan untuk menyeimbangkan kembali hubungan manusia dengan lingkungan (alam) dan mendamaikan hidup manusia melalui dimensi spiritual.[1] Penulis Alice Walker untuk pertama kalinya menggunakan istilah womanist dalam karya cerpennya bertajuk Coming Apart di tahun 1979.[1][2][3] Sejak saat itu, istilah womanist semakin berkembang, menjadi upaya perlawanan, dan interpretasi konsep-konsep seperti feminisme, laki-laki, dan blackness.[1]

Black and white drawing of women of African American descent holding a large pot together above their heads
Persatuan adalah landasan ideologi womanist.

Teori womanism memandang pentingnya feminitas dan budaya dalam kehidupan wanita. Dalam hal ini, feminitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari budaya tempat ia berada.[4] Meski feminisme gelombang ketiga juga mementingkan konsep tersebut melalui interseksionalitas, nyatanya baik teori womanism maupun feminisme memiliki pernilaian berbeda dalam kerangka teoritis masing-masing.[5] Womanism mendukung gagasan bahwa budaya perempuan bukanlah elemen feminitas, melainkan sebuah ruang bagi feminitas itu sendiri. Dengan demikian, blackness seorang wanita bukanlah komponen dari feminitasnya. Sebaliknya, blackness adalah lensa yang membantu wanita dalam memahami feminitasnya.[6]

Teori womanism awalnya menyeruak karena pengabaian gerakan feminis terhadap perempuan kulit hitam. Sebagian besar aktivis feminis awal (gelombang 1) di Amerika Serikat kerap mengecualikan wanita non-kulit putih pada saat pemungutan suara. Mereka berpendapat bahwa wanita non-kulit putih tidak menampilkan citra feminin seperti wanita kulit putih dan karena itulah mereka tidak dirasa pantas untuk menjadi bagian gerakan tersebut.[7]

Kebangkitan feminisme gelombang kedua menciptakan inklusivitas yang lebih baik bagi wanita non-kulit putih. Sayangnya, inklusi ini hanya menyoroti masalah rasial agar fokus gerakan tetap tertuju pada aspek gender. Ketidakselarasan hubungan antara feminis kulit putih dan non-kulit putih akhirnya menimbulkan perpecahan yang menghambat perwujudan gerakan antar ras yang fungsional. Atas kejadian tersebut, terbentuklah feminisme gelombang ketiga yang menyatukan konsep interseksionalitas dan womanism.[8]

Pengecualian wanita kulit hitam dari gerakan feminis telah menghasilkan dua interpretasi womanism. Sejumlah womanist meyakini bahwa pengalaman wanita kulit hitam terkait isu blackness tidak sepenuhnya dapat terwakili oleh gerakan feminisme.[9] Oleh sebab itu, para womanist memandang bahwa womanism adalah konsep independen yang terlepas dari feminisme. Pemikiran ini datang dari feminis kulit hitam yang telah menimbang-nimbang posisi mereka dalam feminisme melalui studi akademis maupun aktivisme.[10]

Namun, tidak seluruh womanist berpendapat bahwa konsep womanism berbeda dari feminisme. Alice Walker menjadi pencetus awal womanism melalui pernyataanya, "womanism untuk feminisme, seperti warna ungu untuk lavender."[11] Atas pernyataan ini, teori-teori tentang perempuan tampak berkaitan erat, di mana womanism adalah payung luas tempat feminisme berada.

Asal-usul teoritis

sunting

Alice Walker

sunting

Penulis dan penyair, Alice Walker, untuk pertama kalinya menggunakan istilah womanist dalam karya cerpennya bertajuk Coming Apart di tahun 1979 dan juga pada In Search of Our Mothers' Gardens: Womanist Prosa (1983). Istilah womanist didefinisikan Walker sebagai feminis kulit hitam atau feminis kulit berwarna. Istilah ini dibubuhkan dalam ucapan warga kulit hitam, dari seorang ibu kepada anak perempuannya, 'Kamu bertingkah feminin' (Inggris: You acting womanish) untuk merujuk perilaku orang dewasa.[11][12] Gadis yang bertingkah feminin menunjukkan perilaku yang keras kepala, berani, dan keterlaluan, serta dianggap melewati batasan norma-norma masyarakat.[11] Ia kemudian mengatakan bahwa womanist juga:

Seorang wanita yang mencintai wanita lain, secara seksual dan atau nonseksual. Menghargai dan lebih mementingkan budaya wanita, fleksibilitas emosional wanita, dan kekuatan wanita. Berkomitmen untuk kelangsungan hidup dan keutuhan seluruh orang, baik laki-laki dan perempuan. Bukan separatis, kecuali yang terjadi berkala, demi kesehatan. Suka musik. Suka menari. Mencintai bulan. Bersemangat Menyukai perjuangan. Mencintai rakyat. Mencintai dirinya sendiri. Tak begitu memusingkan hal-hal lain. Womanist untuk feminis, seperti ungu untuk lavender

Walker menilai bahwa womanism merupakan payung luas yang didalamnya mencakup feminisme.[13] Fokus teologinya bukan terletak pada ketidaksetaraan gender, tetapi penindasan berbasis ras dan kelas. Walker memandang womanism sebagai teori atau gerakan yang mempertimbangkan pengalaman wanita kulit hitam, budaya kulit hitam, mitos kulit hitam, kehidupan spiritual, dan suara para wanita kulit hitam.[11] Ungkapan Walker yang paling banyak dikutip, "womanist is to feminist as purple is to lavender", menunjukkan bahwa feminisme merupakan elemen yang berada di bawah payung ideologis womanism.[12]

Walker juga mendefinisikan kaum wanita sebagai universalis. Filosofi ini tercermin dalam metaforanya tentang taman yang didalamnya seluruh bunga bermekaran. Seorang wanita berperan dalam kelangsungan hidup pria maupun wanita dan karena itulah ia menginginkan dunia di mana pria dan wanita dapat hidup berdampingan sembari mempertahankan kekhasan budaya mereka. Penyertaan laki-laki dalam konteks ini akan mampu memberi kesempatan bagi wanita kulit hitam untuk mengatasi penindasan gender tanpa secara langsung menyerang laki-laki.[14]

Definisi ketiga Walker yang berkaitan dengan seksualitas wanita digambarkan dalam ulasan Walker tentang Gifts of Power: The Writings of Rebecca Jackson. Dalam ulasan tersebut, ia berpendapat bahwa Rebecca Jackson, seorang Shaker (gerakan yang menganut nilai-nilai egalitarianisme) kulit hitam yang meninggalkan suaminya dan kemudian hidup bersama rekan wanitanya, patut disebut sebagai womanist terlepas dari orientasi seksualnya.[15] Penafsiran kontras Walker tentang womanism telah memvalidasi pengalaman wanita Afrika-Amerika dan sejalan dengan perspektif yang lebih maju.

Meski banyak orang mengakui Alice Walker sebagai pencetus istilah womanism, tetapi Walker nampaknya tak begitu konsisten mendefinisikan istilah ini dan kerap bertentangan dengan dirinya sendiri.[16] Pada beberapa kesempatan, ia menggambarkan womanism sebagai konsep yang lebih inklusif bagi feminis kulit hitam karena berfokus pada wanita secara keseluruhan. Namun, ia kemudian menyesali konsep womanism yang menginginkan perdamaian dan inklusivitas. Hal ini dikarenakan suara wanita kulit hitam yang belum divalidasi oleh wanita kulit putih dan pria kulit hitam.[17]

Clenora Hudson-Weems

sunting

Clenora Hudson-Weems merupakan pencetus istilah Africana womanism. Penerbitan bukunya yang berjudul "Africana Womanism: Reclaiming Ourselves" (1995) menjadi sebuah kejutan bagi komunitas nasionalis kulit hitam, hingga ia dinobatkan sebagai pemikir independen. Hudson-Weems menolak mengamini bahwa feminisme adalah teologi wanita Afrika. Hal ini dikarenakan wanita diaspora Afrika sejalan dengan cita-cita Eurosentris.[15] Lebih lanjut, Hudson-Weems mengidentifikasi perbedaan womanism dan feminisme. Ia berkata bahwa womanism berorientasi pada keluarga dan berfokus pada ras, kelas, dan gender, sedangkan feminisme berorientasi pada wanita dan fokus utamanya tertuju pada isu seks biologis yang dihadapi perempuan dan anak perempuan secara global.[18]

Ia juga menyatakan bahwa mustahil untuk memasukkan perspektif budaya perempuan Afrika ke dalam idealisme feminisme. Hal ini karena terkait sejarah perbudakan dan rasisme di Amerika. Weems turut pula menolak pemikiran feminisme yang memandang laki-laki sebagai musuh. Ia menyatakan bahwa wanita Afrika tidak pernah melihat pria Afrika sebagai musuh. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa musuh sejati ialah siapapun yang menindas pria, wanita, dan anak Afrika.[9] Ia mengklaim bahwa biner feminisme maskulin-feminin terjadi karena tidak adanya kesulitan terkait ras dan sosio-ekonomi pada perempuan kulit putih kelas atas.[9]

Ia dengan jelas membedakan antara wanita Afrika dari feminisme kulit hitam, di mana campuran Afrika-Amerika dianggapnya sebagai bagian dari budaya barat.[19] Ia juga mengkritik feminisme kulit hitam karena mereka seakan membutuhkan validasi feminis kulit putih agar suara mereka didengar. Ia mengatakan bahwa feminisme tidak akan pernah menerima feminis kulit hitam dan hanya memposisikan mereka sebagai bagian remeh dari gerakan feminis.[20]

Ia pun menyatakan bahwa pemimpin gerakan feminis kulit hitam tidak akan pernah sejalan dengan pemimpin gerakan feminis. Sebagian besar karyanya pun mencerminkan wacana separatis Black Nationalist, karena fokus pada kolektif daripada individu sebagai basis ideologinya. Hudson-Weems tak sependapat bahwa Africana womanism menjadi bagian dari feminisme. Ia menegaskan bahwa ideologinya ini berbeda dari feminisme kulit hitam, womanism Walker, dan Africana womanism.[20]

Chikwenye Okonjo Ogunyemi

sunting

Chikwenye Okonjo Ogunyemi selaku kritikus sastra Nigeria, menerbitkan artikel Womanism: The Dynamics of the Contemporary Black Female Novel in English (1985) untuk memaparkan interpretasinya tentang womanism. Ia menyatakan bahwa visi utama womanist adalah untuk mencari solusi atas pembagian kekuasaan yang adil antara ras dan jenis kelamin.[21] Interpretasinya begitu independen, tetapi sejumlah poin menunjukkan tumpang tindih dengan gagasan Alice Walker. Sejalan dengan definisi Walker yang berfokus pada blackness dan womanhood, Ogunyemi menulis, "Wanita kulit hitam mencerminkan budaya, cita-cita, dan citra wanita kulit hitam."[21]

Alih-alih berfokus pada ketidaksetaraan gender sebagai sumber penindasan kulit hitam, Ogunyemi justru mengambil sikap separatis seperti Hudson-Weems. Ia menolak rekonsiliasi feminis kulit putih dan feminis kulit hitam atas dasar kerasnya rasisme.[15] Ia mencontohkan bahwa feminis membahas tentang blackness dan African Blackness yang merujuk pada kebutuhan konsepsi perempuan Afrika. Kritik tersebut meliputi penggunaan isu blackness untuk mendukung idealisme feminis dan bukan idealisme wanita kulit hitam, pemikiran bahwa feminisme barat adalah alat yang akan bekerja di negara-negara Afrika tanpa sekalipun mengakui norma dan perbedaan budaya, dan pengkooptasian berbagai hal yang telah dilakukan wanita Afrika selama berabad-abad sebelum adanya gagasan barat tentang feminisme barat.[1]

Ogunyemi memandang konsepnya sebagai titik tengah gagasan Walker dan Hudson Weems tentang relasi perempuan dengan laki-laki. Gagasan Walker mengacu pada peran yang diemban pria dan kemungkinannya untuk menindas kaum wanita.[16] Sedangkan, Hudson-Weems menolak gagasan bahwa pria Afrika adalah musuh. Dalam konteks ini, ia mengabaikan kemalangan yang diperbuat pria Afrika terhadap masyarakat.[22]

Ideologi

sunting

Womanism memiliki beragam definisi dan interpretasi. Definisi luasnya berupa ideologi universalis bagi seluruh wanita, terlepas dari warna kulitnya. Dalam cerpen Coming Apart (1979) karangan Walker, seorang wanita heteroseksual Afrika-Amerika digambarkan menjalani kehidupan bersama lesbian Afrika-Amerika dan menghindarkan dirinya dari objektivitas seksual. Dalam konteks penggunaan pornografi oleh laki-laki dan eksploitasi perempuan kulit hitam sebagai objek pornografi, seorang perempuan mengemban peran demi kelangsungan hidup dan keutuhan seluruh rakyat, baik laki-laki maupun perempuan melalui perlawanan terhadap penindasan.[23]

Ungkapan Walker, "womanist is to feminist as purple is to lavender", menunjukkan anggapanya bahwa feminisme berada dalam payung besar ideologi womanism.[14] Konsep Walker berfokus pada pengalaman unik, perjuangan, kebutuhan, dan keinginan pada seluruh wanita kulit berwarna (tidak hanya hitam). Juga untuk menyelesaikan dinamika konflik antara feminis arus utama, feminis kulit hitam, feminis Afrika, dan Africana womanist. Mengingat adanya gagasan nasionalis kulit hitam pada banyak karya perempuan, para cendekiawan kemudian terpecah. Satu sisi menjadi kubu pendukung konsep tersebut atau konsep yang mengasosiasikan perempuan dengan ideologi seperti feminisme kulit hitam dan Africana womanism atau mengambil sikap bahwa ketiganya secara inheren bertentangan.[24]

Feminisme kulit hitam

sunting

Gerakan feminis kulit hitam dibentuk atas kurangnya keterwakilan perempuan secara rasial dalam Gerakan Perempuan (Inggris: Women's Movement) dan tertindasnya mereka secara seksual oleh Black Liberation Movement.[25] Cendekiawan feminis kulit hitam menyatakan bahwa perempuan Afrika-Amerika dirugikan dua kali lipat dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini terjadi karena mereka menghadapi diskriminasi ras dan gender.[26] Wanita kulit hitam merasa bahwa kebutuhan mereka diabaikan oleh kedua gerakan tersebut dan mereka berjuang untuk mengidentifikasi diri mereka berdasarkan ras atau gender. Wanita Afrika-Amerika yang menggunakan istilah feminisme kulit hitam menyertakan berbagai interpretasi mereka untuk hal tersebut.[27]

Salah satu interpretasinya menyatakan bahwa feminisme kulit hitam memikul kebutuhan perempuan Afrika-Amerika yang diabaikan oleh gerakan feminisme. Pearl Cleage selaku feminis kulit hitam mendefinisikan femisime sebagai sebuah keyakinan bahwa perempuan adalah manusia yang mampu berpartisipasi dan memimpin dalam berbagai aktivitas, seperti intelektual, politik, sosial, seksual, spiritual, dan ekonomi.[14] Dengan definisi tersebut, agenda feminisme dipandang menghimpun berbagai isu mulai dari hak politik hingga peluang pendidikan dalam konteks global. Agenda feminis kulit hitam berusaha mengerucutkan masalah ini dan berfokus pada masalah krusial yang dapat diterapkan pada wanita Afrika-Amerika.[14]

Africana womanism

sunting

Konsep Africana womanism yang diusung oleh Clenora Hudson-Weems berasal dari studi nasionalis Afrika. Dalam Africana Womanism: Reclaiming Ourselves, Hudson-Weems menyelidiki keterbatasan teori feminis. Ia juga menjelaskan ide dan aktivisme dari berbagai wanita Afrika yang berkontribusi pada teori womanist.[28] Pada intinya, Africana womanism menentang feminisme karena dianggap mempromosikan isu-isu perempuan kulit putih di atas isu-isu perempuan kulit hitam. Hudson-Weems berpendapat bahwa feminisme tidak akan pernah cocok bagi perempuan kulit hitam terkait implikasi perbudakan dan prasangka.[4]

Weems berkata bahwa womanism berbeda dari feminisme karena perbedaan agenda, prioritas, dan fokusnya yang merujuk pada pengalaman, perjuangan, kebutuhan, dan harapan wanita Afrika. Ia menyampaikan bahwa perbedaannya juga tercermin dari keinginan wanita kulit putih untuk memerangi pria kulit putih dalam hal kekuasaan, sedangkan wanita kulit hitam berusaha melawan segala bentuk penindasan terhadap dirinya, anak-anaknya, dan pria kulit hitam.[29]

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa rasisme memaksa pria dan wanita Afrika-Amerika untuk mengemban peran gender nontradisional. Dalam konteks ini, perombakan peran gender tradisional oleh feminisme menjadi kurang relevan untuk diaplikasikan pada pengalaman orang kulit hitam. Meski berkaitan dengan konsep womanism, tetapi konsep Africana womanism lebih diperuntukkan bagi wanita keturunan Afrika. Konsep tersebut dilandasi oleh budaya Afrika dan berfokus pada perjuangan, kebutuhan, dan harapan wanita Afrika. Berdasarkan alasan ini, Africana womanism menempatkan penindasan berbasis ras dan kelas jauh lebih signifikan daripada penindasan berbasis gender.[30]

Identitas wanita

sunting

Dalam pengantarnya untuk The Womanist Reader, Layli Phillips berpendapat bahwa sebetulnya wanita kulit hitam merupakan cikal bakal terlahirnya womanism.[1] Prinsip dasar womanism didasarkan pada semangat aktivisme yang terekam dalam berbagai literatur sastra. Konsep ini tak ubahnya seperti gerakan perlawanan perempuan agar ia dapat memperluas ruangnya. Tak hanya di komunitas kulit hitam, tetapi juga untuk komunitas non-kulit putih lainnya. "Ungu untuk lavender" (Inggris: Purple is to lavender) digambarkan melalui pengalaman yang dibahas Dimpal Jain dan Caroline Turner.[31]

Sejumlah cendekiawan berpendapat bahwa womanism adalah subkategori dari feminisme, sementara yang lain berpikir sebaliknya. "Ungu untuk lavender" menyiratkan bahwa womanism adalah payung besar dari feminisme. Melalui ungkapan itu, Dimpal Jain dan Caroline Turner menggambarkan pengalaman diskriminasi yang mereka rasakan sebagai seorang minoritas. Jain adalah orang Asia Selatan, sementara Caroline adalah orang Filipina.[32]

Mereka selanjutnya menjabarkan konsep "The Politics of Naming" yang menjadikannya condong ke arah womanism dibandingkan feminisme. Jain berkata, "Saya mengetahui bahwa istilah feminisme itu masih diperdebatkan. Namun, saya merasa bahwa feminisme cukup asing dan tidak mewakili diri saya."[32]

Sedangkan, Turner merasa bahwa feminisme tak ubahnya seperti sesuatu yang dipaksakan padanya dan tidak pula mewakilinya. Jain menegaskan bahwa, "Inti dari The Politics of Naming adalah bahwa nama berfungsi sebagai pengenal dan tidak bersifat netral ketika melekat pada gerakan sosial, ide, dan kelompok. Penamaan dan pelabelan menjadi tindakan politis ketika mereka berfungsi untuk menentukan jenis keanggotaan di tingkat kelompok apapun."[32]

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa ada alasan tertentu yang membuat individu merasa terwakili melalui konsep feminisme. Namun, alasan tersebut mungkin tidak terlihat oleh masyarakat umum. Hal ini terjadi karena konotoasi feminisme yang terkait dengan gerakan sosial, ide, dan kelompok. Pada dasarnya, individu menginginkan sebuah konsep yang dapat mengekspresikan dan mendukung keyakinan mereka secara holistik. Mereka menginginkan sesuatu yang dapat mereka pegang sepenuhnya tanpa sedikit pun tersirat penyesalan. Sama halnya, Alice Walker yang menyatakan bahwa dirinya tak menganggap womanism lebih baik daripada feminisme. Namun, Walker hanya berusaha menyediakan istilah baru yang lebih relevan dan mewakili pengalaman para perempuan kulit berwarna.[31][32]

Bagi sebagian besar perempuan kulit hitam, feminisme telah dianggap gagal untuk mewakilinya. Para perempuan kulit hitam itu menginginkan gerakan baru yang bisa mewujudkan cita-cita mereka. Womanism menjadi sebuah konsep baru yang dicetuskan Alice Walker dengan penuh keyakinan. Banyak wanita merasa bahwa womanism lebih mudah dikenali dibandingkan feminisme. Selain itu, elemen inti dari konsep womanism didasarkan pada peran spiritualitas dan etika dalam mengakhiri penindasan yang terkait oleh ras, gender, dan kelas yang membatasi kehidupan wanita Afrika-Amerika.[33]

Sastra dan aktivisme

sunting

Sastra perempuan dan aktivisme adalah dua bidang yang sebagian besar diinterpolasi dan berpengaruh satu sama lain. Prinsip utama keduanya adalah gagasan bahwa aktivis dan penulis kulit hitam harus memisahkan diri dari ideologi feminis. Hal ini dapat terlihat dalam pernyataan Kalenda Eaton, Chikwenye Okonjo Ogunyemi, dan sejumlah teolog wanita lainnya yang menyatakan bahwa wanita sebaiknya mendukung isu yang menindas tidak hanya kaum wanita kulit hitam, tetapi juga kelompok lain yang mengalami diskriminasi serupa.[34] Chikwenye Okonjo Ogunyemi menyatakan bahwa seorang penulis wanita kulit putih mungkin seorang feminis, tetapi seorang penulis wanita kulit hitam kemungkinan besar adalah seorang womanist. Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa wanita kulit hitam sedang berjuang demi kesetaraan seksual dan juga isu lain seperti: ras, ekonomi, budaya, dan politik.[35]

Melalui Womanism, Literature and the Transformation of the Black Community, Kalenda Eaton menggambarkan penulis perempuan kulit hitam sebagai seorang agen perubahan setelah kemunculan Gerakan Hak Sipil.[5] Ia menciptakan jalinan peristiwa sejarah Afrika-Amerika dengan perkembangan Afro-Politico womanism sebagai upaya memberikan ruang bagi aktivisme wanita kulit hitam.[35] Afro-Politico womanism berbeda dari tujuan kesetaraan gender yang diusung feminisme. Konsep ini lebih cenderung memperjuangkan hak sipil yang dilanggar, baik perempuan maupun laki-laki. Eaton berpendapat bahwa aktivis wanita kulit hitam memiliki pengaruh besar dalam perjuangan skala kecil dalam komunitasnya.[36]

Menggunakan berbagai karakter dari Song of Solomon karya Toni Morrison, Meridian karya Alice Walker, The Salt Eaters karya Toni Cade Bambara, dan The Chosen Place karya Paule Marshall, The Timeless People menjadi sebuah simbol dari berbagai agenda dan isu politik yang merebak dalam gerakan kulit hitam. Dalam hal ini, Eaton merujuk pada solusi atas problema ketidakpuasan dan disorganisasi dalam gerakan. Aktivis sastra ini kerap mengangkat isu yang bertujuan untuk memberdayakan komunitas miskin (komunitas Afrika-Amerika Selatan) dan memungkinkan mobilitas sosial dalam komunitas Afrika-Amerika. Seringkali penulis wanita kulit hitam gagal mengidentifikasi dirinya dengan pemikiran feminis. Karena itulah, womanism menjadi sebuah konsep yang menyatukan para novelis ini.[35]

Dalam The Master's Tools Will Never Dismantle the Master's House, Audre Lorde mengkritik feminisme gelombang kedua atas pengabaian perbedaan di antara mereka dan perpecahan yang timbul karenanya. Lorde tidak pernah menggunakan kata womanist atau womanism dalam karya ataupun di halaman deskripsi novelnya. Namun, karya Lorde tampak mendukung konsep tersebut. Seperti yang ia tunjukkan bahwa feminisme gelombang kedua seringkali hanya fokus pada masalah wanita kulit putih heteroseksual dan mengabaikan masalah yang terkait wanita kulit hitam dan lesbian.[37]

Spiritualitas

sunting

Spiritualitas wanita terdiri dari enam karakteristik, yakni eklektik, sintetis, holistik, pribadi, visioner, dan pragmatis. Karakter itu membangun pribadi wanita secara penuh. Meskipun pada akhirnya ditentukan oleh diri sendiri, spiritualitas wanita menjadi sebuah gambaran luas dalam memutuskan masalah dan mengakhiri ketidakadilan.[15] Emilie Townes, seorang teolog wanita, lebih lanjut menegaskan bahwa spiritualitas wanita tumbuh dari refleksi individu dan komunal tentang iman dan kehidupan Afrika-Amerika. Ia menambahkan bahwa spiritualitas tak hanya dipandang sebagai kekuatan, melainkan juga diri kita dari waktu ke waktu.[35]

Salah satu ciri utama womanism adalah aspek religiusnya yang kerap dianggap bagian dari ajaran Kristiani. Dalam konteks ini, spiritualitas wanita kulit hitam ditunjukkan oleh perannya dalam aktivitas gereja. Melalui artikel Womanist Spirituality Defined, William mengulas keterkaitan langsung antara spiritualitas wanita dengan pengalaman individu terhadap Tuhan.[38] William berpendapat bahwa spiritualitas mengacu pada pengalaman hidup sehari-hari, relasi terhadap hidup dan Tuhan, serta pemaknaan Tuhan sebagai sosok yang berkehendak atas pengalaman tersebut.[38]

Konotasi ini diperdebatkan dalam diskusi. Monica Coleman menyoroti kelemahan wanita dalam mendefinisikan womanism.[39] Dalam diskusi holistik ini, Coleman menjabarkan alasan dirinya memilih feminisme kulit hitam daripada femininisme. Ia juga membahas ruang lingkup terbatas yang dihasilkan oleh pengetahuan agama. Coleman mengajukan gagasan mendalam tentang aspek spiritual womanism, "Disengaja atau tidak, kaum wanita telah menciptakan wacana hegemonik Kristen di lapangan."[39]

Coleman berpendapat bahwa sebagian besar wanita mendeksripsikan aspek spiritual womanism dalam kerangka Kekristenan. Misalnya, dalam Everyday Use karya Walker, yang memuat kisah seorang ibu yang mendadak berani dalam mengambil sikap untuk menentang putrinya yang manja dengan sebuah ucapan, "Ketika saya menatapnya seperti itu, sesuatu menghantam saya di atas kepala dan turun ke telapak kakiku. Sama seperti ketika saya di gereja dan roh Tuhan menyentuh saya. Saya gembira dan berteriak."[40]

Hal tersebut dapat dikategorikan aspek spiritual womanism karena penyebutan relasi terhadap Tuhan Kristen. Namun, Coleman memberikan contoh tandingan dalam karya Tina Turner yang menyoroti peran agama Buddha yang mendukung wanita agar terlepas dari hubungan berbasis kekerasan. Dalam hal ini, Coleman mempertanyakan konsepsi yang dibangun oleh pengetahuan spiritual womanism dan menyatakan spiritualitas tertentu sangat terbatas cakupannya. Menurutnya, konsepsi ini dapat menyebar ke berbagai paradigma, mewakili dan mendukung spiritualitas womanism. Selain itu, ketika mempertimbangkan womanism secara penuh, perlu juga untuk memahami relasinya dengan feminisme.[39]

Etika womanism adalah disiplin agama yang mengkaji teori-teori etika tentang agensi, tindakan, dan hubungan manusia. Etika ini juga menolak konstruksi sosial yang mengabaikan kelompok perempuan yang menanggung beban ketidakadilan dan penindasan.[41] Perspektifnya dibentuk oleh pengalaman teologis wanita Afrika-Amerika.[34] Etika ini memerika pengaruh ras, kelas, gender, dan seksualitas pada individu dan komunitas. Etika ini menjadi sebuah alternatif bagi agama Kristen dan lainnya. Etika ini juga menggunakan kritik, deskripsi, dan konstruksi untuk menilai ketimpangan kekuasaan dan patriarki yang menindas perempuan kulit berwarna dan komunitasnya.[34]

The Emergence of Black Feminis Consciousness karya Katie Cannon merupakan sastra perdana yang mengulasi etika womanism. Dalam artikel ini, Cannon berargumen bahwa terdapat pengabaian perspektif wanita kulit hitam dalam makalah keagamaan dan akademis. Jacquelyn Grant menambahkan bahwa wanita kulit hitam setidaknya mengalami tiga penindasan terkait rasisme, seksisme, dan kelas.[34] Teori feminis kulit hitam telah digunakan oleh etika womanism untuk menjelaskan kurangnya partisipasi wanita dan pria Afrika-Amerika dalam makalah akademis. Patricia Collins berpendapat bahwa fenomena ini dilandasi atas prevalensi pria kulit putih dalam menentukan sesuatu yang dibolehkan dan yang tidak. Oleh sebab itu, munculah desakan atas alternatif pengetahuan bagi wanita kulit hitam.[34]

Kritik

sunting

Kritik utama dalam ajaran womanism adalah kegagalannya dalam mengatasi homoseksualitas dalam komunitas kulit hitam. Tokoh protagonis Walker di Coming Apart menggunakan tulisan dari dua lesbian Afrika-Amerika, Audre Lorde dan Louisah Teish, untuk mendukung argumen bahwa suaminya harus berhenti mengonsumsi pornografi. Ia menempelkan kutipan Audre Lorde itu di atas wastafel dapurnya. In Search of Our Mother's Garden menyatakan bahwa seorang womanist adalah seorang wanita yang mencintai wanita lain, secara seksual dan atau nonseksual.[11] Sayangnya, masih sangat sedikit literatur yang menghubungkan womanism terkait isu lesbian dan biseksual. Teolog wanita bernama Renee Hill mengakui pengaruh Kristen atas heteroseksisme dan homofobia.[39]

Womanism berasal dari gagasan bahwa laki-laki berarti laki-laki dan wanita berarti wanita kulit putih, tanpa sekalipun mencermati perempuan kulit berwarna yang memiliki relasi kuat dengan gereja kulit hitam. Barbara Smith selaku kritikus feminis kulit hitam, menyalahkan keengganan komunitas kulit hitam untuk menerima homoseksualitas.[14] Namun, terdapat peningkatan kritik terhadap heteroseksisme dalam ajaran womanist. Pamela R. Lightsey sebagai teolog wanita Kristen melalui bukunya Our Lives Matter: A Womanist Queer Theology (2015), menulis, "Bagi banyak orang, kita masih sesat. Bagi banyak orang, orang mesum berkulit hitam adalah ancaman paling berbahaya bagi Amerika. Karena borjuasi konservatif kulit hitam telah menyerang kepribadian kita, orang-orang LGBTQ kulit hitam tidak dapat membiarkan hal ini dikendalikan dan membuat kita ditolak atau tak dianggap."[42]

Kritik tambahan mengacu pada ambivalensi womanism, sebuah istilah yang mendukung nasionalis kulit hitam dan gerakan separatis. Patricia Collins berargumen bahwa konsep ini mendramatisasi perbedaan ras dengan mendukung identitas homogen. Hal ini bertolak belakang dengan model universalis womanism yang digagas oleh Walker. Kontroversi dan protes yang terus bergulir dalam berbagai ideologi womanism membuatnya membelot dari tujuan untuk mengakhiri penindasan berbasis ras dan gender.[14]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e Phillips, Layli (2006). The Womanist Reader (dalam bahasa Inggris). UK: Taylor & Francis. hlm. 7. ISBN 978-0-415-95411-2. 
  2. ^ Encyclopedia (2022). "Black Womanhood". www.encyclopedia.com. Diakses tanggal 24 Maret 2022. 
  3. ^ Walker, Alice (1981). "Coming Apart". You Can't Keep a Good Woman Down. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
  4. ^ a b Chandrika, A. M. M. (2019). "Feminism and Emancipation: Influence of Feminist Ideas on Women's Socio-Economic and Political Liberation in Sri Lanka". Sociology Mind. 09 (04): 302–315. doi:10.4236/sm.2019.94020. ISSN 2160-083X. 
  5. ^ a b Eaton, Kalenda (2007). Womanism Literature, and the transformation of the Black community. New York: Routledge. hlm. 26. ISBN 9780415961295.  [pranala nonaktif permanen]
  6. ^ Barlow, Jameta N.; Johnson, Breya M. (2021). "Listen to Black Women: Do Black Feminist and Womanist Health Policy Analyses". Women's Health Issues (dalam bahasa Inggris). 31 (2): 91–95. doi:10.1016/j.whi.2020.11.001. 
  7. ^ de Stacey & Pinn (2010). Liberation Theologies in the United States: An Introduction. Manhattan: NYU Press. hlm. 23. ISBN 978-0814727652. 
  8. ^ Richardson‐Self, Louise (2018). "Woman‐Hating: On Misogyny, Sexism, and Hate Speech". Hypatia (dalam bahasa Inggris). 33 (2): 256–272. doi:10.1111/hypa.12398. ISSN 0887-5367. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-05. Diakses tanggal 2022-04-05. 
  9. ^ a b c Schiele, Jerome H. (2017). "The Afrocentric paradigm in social work: A historical perspective and future outlook". Journal of Human Behavior in the Social Environment (dalam bahasa Inggris). 27 (1-2): 15–26. doi:10.1080/10911359.2016.1252601. ISSN 1091-1359. 
  10. ^ James & Whiting (2000). The Black feminist reader. Oxford, UK: Blackwell. ISBN 0-631-21006-7. OCLC 42652614.  [pranala nonaktif permanen]
  11. ^ a b c d e Walker, Alice (1983). In Search of Our Mothers' Gardens: Womanist Prose. London: Phoenix. hlm. 12. ISBN 9780753819609.  [pranala nonaktif permanen]
  12. ^ a b Clark, Elizabeth A. (1994). "Ideology, History, and the Construction of "Woman" in Late Ancient Christianity". Journal of Early Christian Studies (dalam bahasa Inggris). 2 (2): 155–184. doi:10.1353/earl.0.0121. ISSN 1086-3184. 
  13. ^ Cheung, King-Kok (1988). ""Don't Tell": Imposed Silences in The Color Purple and The Woman Warrior". PMLA/Publications of the Modern Language Association of America (dalam bahasa Inggris). 103 (2): 162–174. doi:10.2307/462432. ISSN 0030-8129. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-05. Diakses tanggal 2022-04-05. 
  14. ^ a b c d e f Collins, Patricia (1996). "What's In a Time: Womanism, Black Feminism, and Beyond" (PDF). The Black Scholar. 26 (1): 9–17. doi:10.1080/00064246.1996.11430765. 
  15. ^ a b c d Herrmann, Anne; Irigaray, Luce; Gill, Gillian C.; Porter, Catherine; Burke, Carolyn; Jardine, Alice (1987). "Feminist Theory". Contemporary Literature. 28 (2): 271. doi:10.2307/1208392. 
  16. ^ a b Radharani & Davidson (2018). "A critical analysis of Alice walker's The Color Purple" (PDF). International Journal of Applied Research. 4 (8): 83–85. 
  17. ^ Izgarjan, Aleksandra; Markov, Slobodanka (2012). "Alice Walker's Womanism: Perspectives Past and Present". Gender Studies. 11 (1): 304–315. doi:10.2478/v10320-012-0047-0. ISSN 1583-980X. 
  18. ^ Hudson-Weems, Clenora (1995). Africana womanism: reclaiming ourselves. Boston: Bedford Publishers. hlm. 8. ISBN 978-0-911557-14-5. 
  19. ^ May, Vivian M. (2014). Anna Julia Cooper (1858-1964): Black Feminist Scholar, Educator, and Activist. USA: University of Georgia. hlm. 3. 
  20. ^ a b Signorella, Margaret L. (2020-06). "Toward a More Just Feminism". Psychology of Women Quarterly (dalam bahasa Inggris). 44 (2): 256–265. doi:10.1177/0361684320908320. ISSN 0361-6843. 
  21. ^ a b Ogunyemi, Chikwenye (1985). "Womanism: The Dynamics of the Contemporary Black Female Novel in English". Journal of Women in Culture and Society. 11 (1): 63–80. doi:10.1086/494200. 
  22. ^ Bond, Chelsea (2019). "Talkin' Down to the Black Woman". Australian Feminist Law Journal (dalam bahasa Inggris). 45 (2): 185–189. doi:10.1080/13200968.2020.1837536. ISSN 1320-0968. 
  23. ^ Brecht, Mara (2014-03-05). Virtue in Dialogue: Belief, Religious Diversity, and Women’s Interreligious Encounter (dalam bahasa Inggris). Oregon: Wipf and Stock Publishers. hlm. 26. ISBN 978-1-63087-365-3. 
  24. ^ Guardian (2014). "An influential, vibrant, exciting force: defining African feminism". Guardian (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24 Maret 2022. 
  25. ^ Saba, Paul (1974). "History of the Modern Black Liberation Movement and the Black Workers Congress Summed-Up". Marxists. Diakses tanggal 24 Maret 2022. 
  26. ^ Simien, Evelyn M. (2004). "Gender Differences in Attitudes toward Black Feminism among African Americans". Political Science Quarterly (dalam bahasa Inggris). 119 (2): 315–338. doi:10.2307/20202348. 
  27. ^ Strongman, Saraellen (2018). "The Sisterhood: Black W The Sisterhood: Black Women, Black F omen, Black Feminism, And The W eminism, And The Women's Liberation Movement". Publicly Accessible Penn Dissertations. 1 (2): 3061. 
  28. ^ Ahmed, Nahed Mohammed (2017). "An Africana womanist Reading of the Unity of Thought and Action". IOSR Journal of Humanities and Social Science. 22 (03): 58–64. doi:10.9790/0837-2203055864. 
  29. ^ Ben Zid, Mounir (2019). "Unearthing New Dimensions of Black "Womanism": Poetic Resistance and the Journey from Absence to Self-Representation" (PDF). Advances in Language and Literary Studies. 10 (6): 12. doi:10.7575/aiac.alls.v.10n.6p.12. ISSN 2203-4714. 
  30. ^ Huff, Stephanie; Rudman, Debbie Laliberte; Magalhães, Lilian; Lawson, Erica (2018). "'Africana womanism': Implications for transformative scholarship in occupational science". Journal of Occupational Science (dalam bahasa Inggris). 25 (4): 554–565. doi:10.1080/14427591.2018.1493614. ISSN 1442-7591. 
  31. ^ a b Arya, Rina (2012). "Black feminism in the academy". Equality, Diversity and Inclusion: An International Journal (dalam bahasa Inggris). 31 (5): 556–572. doi:10.1108/02610151211235523. ISSN 2040-7149. 
  32. ^ a b c d Geetha & Thomas (2020). ""Womanist is to feminist as Purple to Lavender" Purple Womanism- A Theoretical Perspective" (PDF). Journal of Composition Theory. 13 (8): 1–3. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-04-11. Diakses tanggal 2022-03-31. 
  33. ^ Duran, Jane (2009). "African NGO's and Womanism: Microcredit and Self-Help". Journal of African American Studies. 14 (2): 171–180. doi:10.1007/s12111-009-9109-2. ISSN 1559-1646. 
  34. ^ a b c d e Jesmin, Ruhina (2021). "Continuity of Womanist Ethos: Intertextuality in Select Novels of Alice Walker". University of Bucharest Review. Literary and Cultural Studies Series (dalam bahasa Inggris). 10 (1): 42–54. doi:10.31178/UBR.10.1.4. ISSN 2734-5963. 
  35. ^ a b c d Ligon, Jan (1998). "Brief Crisis Stabilization of an African American Woman: Integrating Cultural and Ecological Approaches". Journal of Multicultural Social Work (dalam bahasa Inggris). 6 (3-4): 111–122. doi:10.1300/J285v06n03_06. ISSN 1042-8224. 
  36. ^ Yusak, Nailil Muna (2016). "God in Alice Walker's The Color Purple, A Paradox of The Divine". EduLite: Journal of English Education, Literature and Culture (dalam bahasa Inggris). 1 (2): 129–142. doi:10.30659/e.1.2.129-142. ISSN 2528-4479. 
  37. ^ Bailey, Moya (2021). Misogynoir Transformed: Black Women’s Digital Resistance (dalam bahasa Inggris). New York: NYU Press. hlm. 67. ISBN 978-1-4798-6510-9. 
  38. ^ a b Musgrave, Catherine F.; Allen, Carol Easley; Allen, Gregory J. (2002). "Spirituality and Health for Women of Color". American Journal of Public Health (dalam bahasa Inggris). 92 (4): 557–560. doi:10.2105/AJPH.92.4.557. ISSN 0090-0036. PMC 1447116 . PMID 11919051. 
  39. ^ a b c d Offen, Karen (1988). "Defining Feminism: A Comparative Historical Approach". Signs: Journal of Women in Culture and Society (dalam bahasa Inggris). 14 (1): 119–157. doi:10.1086/494494. ISSN 0097-9740. 
  40. ^ Walker, Alice (1973). "Everyday Use". Harper's Magazine (dalam bahasa Inggris). April 1973. ISSN 0017-789X. Diakses tanggal 24 Maret 2022. 
  41. ^ Harris, M. L. (2010). "Introduction". Gifts of virtue, Alice Walker, and womanist ethics (p. 2). New York: Palgrave Macmillan.
  42. ^ García Johnson, Carolina Pía; Otto, Kathleen (2019). "Better Together: A Model for Women and LGBTQ Equality in the Workplace". Frontiers in Psychology. 10 (1): 272. doi:10.3389/fpsyg.2019.00272. ISSN 1664-1078. PMC 6391313 . PMID 30842747.