Gua Maria Pohsarang

gua di Indonesia
(Dialihkan dari Gua Maria Puh Sarang)

7°50′1.5″S 111°56′57.9″E / 7.833750°S 111.949417°E / -7.833750; 111.949417 Gua Maria Pohsarang, sering disebut Puhsarang, atau dikenal dengan nama Gua Maria Lourdes Pohsarang, adalah salah satu tempat ziarah agama Katolik yang terletak di kompleks Gereja Pohsarang, di Desa Puhsarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur. Gua Maria Pohsarang terletak di lereng Gunung Wilis dan berada pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara yang cukup sejuk, yakni rata-rata 21-25 derajat Celcius. Gua ini terletak sekitar 10 km arah barat daya Kota Kediri.

Sejarah

sunting

Pada kompleks gereja yang lama terdapat miniatur Gua Maria Lourdes yang dikemudian hari oleh karena terlalu kecil bentuknya maka pada tanggal 11 Oktober 1998, dimulailah pembangunan gua Lourdes yang merupakan tiruan atau replika Gua Maria Lourdes yang ada di Prancis.

Dinamakan Gua Maria Lourdes sebab dalam gereja yang lama terdapat tiruan Gua Lourdes di Prancis, dalam bentuk yang kecil. Di seputar patung yang kecil dalam gua pertama tertulis tulisan di atas kuningan dengan menggunakan bahasa Jawa ejaan Belanda: Iboe Maria ingkang pinoerba tanpa dosa asal, moegi mangestonana kawoela ingkang ngoengsi ing Panjenenengan Dalem. (Bunda Maria yang terkandung tanpa noda dosa asal, doakanlah aku yang datang berlindung kepadaMu). Gua kecil yang berada di sebelah kanan Gereja ini merupakan sebuah gua yang banyak didatangi oleh bukan hanya umat Katolik untuk berdoa rosario atau novena, melainkan juga oleh umat lain yang bukan Katolik untuk melakukan meditasi dan memohon ujub kepada Tuhan yang Mahapemurah.

Sementara patung Maria yang terdapat di Gua Maria Lourdes Pohsarang (di luar kompleks Gereja lama) merupakan replika atau tiruan dari patung Maria Lourdes, yang terbuat dari semen kemudian dicat berwarna bagian luarnya. Patung itu lebih tinggi dari contoh aslinya yang hanya 1,75 meter, sedangkan patung Maria yang kini tingginya 3,5 meter, bahkan kalau dihitung dari alas kakinya 4 meter.

Patung ini dibuat lebih besar dari contohnya sebab disesuaikan dengan besarnya gua yang tingginya mencapai hampir 18 meter.

Arsitektur gereja

sunting

Gereja Puhsarang didirikan atas inisiatif dari Romo Jan Wolters CM dengan bantuan arsitek terkenal waktu itu, Ir. Henricus Maclaine Pont pada tahun 1936. Romo Jan Wolters, CM dikenal sebagai seorang misionaris yang sangat menghormati kebudayaan Jawa dan mencintai orang Jawa dengan segala kekayaan kulturalnya. Gereja Pohsarang adalah emblem inkulturasi yang amat mendahului semangat Gereja pada waktu itu, dimana hampir setiap bangunan Gereja yang didirikan selalu memiliki bentuk seperti yang ada di Eropa. Sementara Insinyur Maclaine Pont adalah arsitek yang juga menangani pembangunan Museum di Trowulan, Mojokerto, yang menyimpan peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit.

Bangunan gereja Pohsarang mirip dengan bangunan museum Trowulan yang sudah hancur karena tidak terawat dan ketiadaan dana perawatan pada tahun 1960, maka dengan melihat gereja sekarang kita bisa membayangkan bagaimanakah bentuk museum Trowulan dulu kala.

Pastor Wolters, CM, lah yang meminta agar sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Pohsarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu. Pastor Jan Wolters CM adalah pecinta orang Jawa dengan kebudayaannya. Sebagai seorang misionaris yang mengajukan "dialog" antara iman dan kebudayaan, Pastor Wolters CM dapat disebut sebagai pionir dalam inkulturasi di Gereja lokal Keuskupan Surabaya.

Kompleks gereja Pohsarang merupakan suatu usaha untuk menampilkan iman kristiani dan tempat ibadat katolik dalam budaya setempat. Banyak orang berpendapat bahwa bangunan yang dibuat di Pohsarang indah dan unik serta merupakan karya monumental yang patut untuk dipelihara dan dijaga agar jangan musnah seperti museum Trowulan.

Gereja Puhsarang yang menampilkan gaya Majapahit tetapi dikombinasikan dengan gaya dari daerah lain dan iman kristiani. Yulianto Sumalyo dalam buku yang berjudul `Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993" menulis mengenai gereja Puh Sarang sebagai berikut: "Seperti pada bangunan Trowulan, Tegal dan lain-lain untuk membangun gereja Pohsarang selalu menggunakan bahan-bahan lokal. Maclaine Pont menggunakan juga buruh setempat selain beberapa tukang yang sudah berpengalaman pada saat membangun museum.

Gereja yang sarat dengan simbolisme ini merupakan suatu karya arsitektur yang sangat berhasil dilihat dari berbagai segi: mulai dari lokasi, tata massa, bahan bangunan, struktur dan ten tu saja fungsi dan keindahannya. Semua aspek termasuk budaya setempat dan filsafat agama dipadukan dalam bentuk arsitektur dengan amat selaras"

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting