GPIB Sion Jakarta
Gereja Sion dikenal juga dengan nama Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis berada di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Mangga Dua Raya. Bangunan gereja ini memiliki kemegahan arsitektur serta daya tahan yang kokoh. Pada akhir abad ke-17 kawasan ini merupakan kawasan elit dan banyak bangunan rumah mewah dengan halaman mewah.[1]
GPIB Jemaat "Sion" DKI Jakarta | |
---|---|
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat | |
Koordinat: 6°8′17.880″S 106°49′4.080″E / 6.13830000°S 106.81780000°E | |
Lokasi | Jakarta, Indonesia |
Denominasi | Protestan |
Arsitektur | |
Status fungsional | Aktif |
Penetapan warisan | A |
Tipe arsitektur | Gereja |
Cagar budaya Indonesia Gereja Sion Jakarta | |
Peringkat | Nasional |
Kategori | Bangunan |
No. Regnas | CB.625 |
Lokasi keberadaan | Jakarta Barat, DKI Jakarta |
No. SK | 193/M/2017 |
Tanggal SK | 14 Juli 2017 |
Tingkat SK | Menteri |
Pemilik | Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat |
Pengelola | Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat Jemaat Sion |
Koordinat | 6°08′17″S 106°49′04″E / 6.1381264°S 106.8177903°E |
Lokasi GPIB Sion Jakarta di Jakarta Barat | |
Nama sebagaimana tercantum dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya | |
Disebut Gereja Portugis karena saat kapal-kapal Portugis singgah di pelabuhan Sunda Kelapa dan ditandatangani perjanjian dengan raja Hindu-Sunda.[1] Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis selesai dibangun pada 1695 untuk menggantikan pondok kayu sederhana yang sudah tidak memadai bagi umat Portugis Hitam.[1] Peresmian gedung gereja dilakukan pada hari Minggu, 23 Oktober 1695 dengan dihadiri gubernur jenderal Willem van Outhoorn dan pemberkatan oleh Pendeta Theodorus Zas. Pembangunan fisik memakan waktu sekitar dua tahun. Peletakan batu pertama dilakukan Pieter van Hoorn pada 19 Oktober 1693.
Cerita lengkap pemberkatan gereja ini tertulis dalam bahasa Belanda pada sebuah papan peringatan. Sampai sekarang, masih bisa dilihat di dinding gereja.
Gereja ini merupakan gedung tertua di Jakarta yang masih dipakai untuk tujuan semula seperti saat awal didirikan. Rumah ibadah ini masih memiliki sebagian besar perabot yang sama juga. Gereja ini pernah dipugar pada 1920 dan sekali lagi pada 1978. Bangunan gereja ini dilindungi oleh pemerintah lewat SK Gubernur DKI Jakarta CB/11/1/12/1972.
Sejarah
suntingNama asli gereja ini adalah Portugese Buitenkerk, yang artinya "gereja Portugis di luar" (tembok kota), bangunan gereja tua ini juga memiliki nama Belkita, semasa Hindia Belanda menguasai Batavia. Karena pada masa pendudukan Belanda setelah mengambil alih pendudukan Portugis, pemerintahan Belanda masa itu membangun tembok batas pertahanan kota pemerintahannya. Portugeesche Buitenkerk yang berada di luar tembok pemerintahan Belanda. Karena sampai pada awal abad ke-19 pun masih ada gereja Portugis lain yang ada di dalam kota.
Di sisi lain, Gereja Sion dibangun sebagai pengganti sebuah pondok terbuka yang sangat sederhana. Pondok ini sudah tak memadai bagi warga Portugis Hitam. Para tawanan Portugis dan para budak dari India, Portugis Mardijkers berstatus tawanan yang berasal dari Malaya dan India untuk beribadah. Sebagai tawanan, mereka dibawa ke Batavia oleh VOC bersamaan dengan jatuhnya wilayah kekuasaan Portugis di India, Malaya, Sri Lanka, dan Maluku.
Pada masa pendudukan Jepang, bala tentara Dai Nippon ingin menjadikan gereja ini tempat abu tentara yang gugur.
Setelah Indonesia merdeka, Portugeesche Buitenkerk berganti nama menjadi Gereja Portugis. Sebagai peralihan kekuasaan pemerintahan, Pemerintahan Belanda memberikan kepercayaan pengelolaan asset peninggalannya kepada Gereja-gereja Protestan di Indonesia (GPI). Wilayah pelayanan GPI pada bagian barat Indonesia diemban oleh Gereja Protestan Indonesia di bagian Barat (GPIB). Maka, pada persidangan Sinode GPIB tahun 1957 Gereja Portugis, diputuskan untuk bernama GPIB Jemaat Sion. Dan masyarakat kini mengenal bangunan itu dengan Gereja Sion. Sion berasal dari nama sebuah bukit di daerah Palestina berbahasa Ibrani dan merupakan lambang keselamatan pada bangsa Israel kuno.
Tahun 1984, halaman gereja menyempit karena harus mengalah pada kepentingan pelebaran jalan.
Bangunan
suntingGereja dibangun dengan fondasi 10.000 batang kayu dolken atau balok bundar. Konstruksi ini berdasarkan rancangan Mr E. Ewout Verhagen dari Rotterdam. Seluruh tembok bangunan terbuat dari batu bata yang direkatkan dengan campuran pasir dan gula tahan panas.
Bangunan berbentuk persegi empat ini punya luas total 24 x 32 meter persegi. Pada bagian belakang, dibangun bangunan tambahan berukuran 6 x 18 meter persegi. Gereja mampu menampung 1.000 jemaat. Sedang luas tanah seluruhnya 6.725 meter persegi.
Gereja Portugis termasuk gereja bangsal (hall church). Gereja ini membentuk satu ruang panjang dengan tiga bagian langit-langit kayu yang sama tingginya dan melengkung seperti setengah tong. Langit-langit itu disangga enam tiang.
Di bagian dalam, beberapa kursi berukiran bagus dan bangku dari kayu hitam atau eboni masih juga dipakai. Dilengkapi meja kayu, kursi-kursi itu dipakai untuk kepentingan rapat gereja. Tak ketinggalan acara sidang pencatatan sipil bagi anggota jemaat yang akan menikah secara gerejawi.
Ada mimbar unik bergaya Barok. Salah satu perabot asli gereja ini merupakan persembahan indah dari H. Bruijn. Letaknya ada di bagian belakang bersama bangunan tambahan. Mimbar ini bertudung sebuah kanopi, yang ditopang dua tiang bergulir dengan gaya arsitektur Ionia serta empat tonggak perunggu.
Selain itu, ada organ pipa gereja yang sampai sekarang masih terawat baik. Organ ini diletakkan di balkon yang disangga empat tiang langsing. Organ ini pemberian putri seorang pendeta bernama John Maurits Moor ini terakhir kali dipakai pada 8 Oktober 2000.
Organ Pipa Sion
suntingSelain gedung bersejarahnya, Gereja Sion memiliki kekayaan tak ternilai lainnya yang masih terpelihara di saat banyak gereja lain menjual barang serupa secara tidak bertanggung jawab. Organ Sion (biasa juga dipanggil “orgel” dari bahasa Belanda untuk organ pipa “orgelpijp”) menurut plakat kecil yang ada pada bagian depan organ berdiri sejak 1 Agustus MDCCCLX (1860 dalam angka arab) dan dibangun oleh orgelbauer (sebutan untuk pembuat organ pipa) E. F. Rijkmans. Plakat kuningan kecil itu sendiri berbunyi “Anno MDCCCLX Auguste 1; Organa hoec suo; Opere refecta, in solita sede loranda curavit E. F. RIJKMANS; urbana ecclesia organions” yang jika diterjemahkan secara kasar ke dalam bahasa Indonesia berarti, “1 Agustus tahun 1860; inilah organ mereka; telah diperbaiki, dalam perawatan rutin E. F. Rijkmans pembuat organ gereja perkotaan”. Tetap berdiri dan beroperasi hingga saat ini mencapai usia 160 tahun (2020), maka Organ Sion menjadi salah satu organ dan alat musik tertua yang masih beroperasi di Indonesia.
Organ ini merupakan pemberian dari putri dari Pendeta John Maurits Moor. Menurut sejarah yang dihimpun Rudi van Straten dari Sounding Heritage Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda, organ ini merupakan pindahan dari Gereja Kota yang kemudian hancur karena serangan serangga pada konstruksi kayunya. Organ pada gereja tersebut kemudian dipindahkan ke Portuguese Buitenkerk dan diperbesar dengan penambahan menara pedal (dua menara pipa berukuran panjang yang merupakan pipa-pipa pedal
di kiri dan kanan bagian depan/fasad). Konsol (bagian untuk memainkan organ pipa, terdiri atas keyboard dan pedalboard/pedal) dahulu berada di depan organ, dan saat ini sisa lubang tombol register (jenis-jenis suara) masih terlihat.
Organ Sion kemudian mengalami renovasi besar pada 1930 oleh perusahaan Fa Bekker & Lefèbre yang berbasis di daerah Weltevreden atau Gambir saat ini.
Keindahan luar biasa pada Organ Sion adalah arsitektur yang penuh dengan hiasan indah gaya barok (gaya arsitektur yang penuh hiasan, dimulai sekitar akhir abad ke-16 di Eropa). Patung-patung malaikat kecil di fasad serta ornamen megah ala barok mampu mendatangkan keindahan dan keagungan pada Organ Sion. Arsitektur Organ Sion sedemikian rupa sehingga tampak kompak dengan arsitektur Gereja Sion lainnya yang juga kental dengan gaya barok, seperti mimbar cawan dan ornamen-ornamen mimbar. Masih beroperasinya Organ Sion membuat organ ini menjadi satu-satunya organ gaya barok di Indonesia yang masih aktif. Suara pipa yang sangat merdu dan khas juga menjadi keindahan tersendiri di kalangan organis, jemaat, dan pendengar.
Mekanik dan Rangka
suntingOrgan Sion beroperasi dengan sistem pneumatik (tubular-pneumatic action), sistem yang kerap digunakan di dunia pembuatan organ pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Sistem ini menggunakan tabung-tabung timah untuk menghubungkan tuts dan pedal dengan katup yang mengendalikan aliran angin ke organ pipa. Sebelum direnovasi oleh Fa Bekker & Lefèbre pada tahun 1930, Organ Sion menggunakan sistem mekanik tracker-action yang menggunakan rangka-rangka sambungan untuk menghubungkan tuts dan pedal dengan katup. Mekanisme ini kemudian memungkinkan pipa berbunyi sesuai not dan suara yang diinginkan.
Pengoperasian Organ Sion saat ini dibantu oleh motor listrik yang penggunaannya disesuaikan untuk memutar roda. Roda yang terputar akan membuat sistem mekanik pada bilik udara bekerja untuk memasukkan udara ke dalam bilik udara dan pipa-pipa. Sebelum adanya motor listrik, roda diputar dengan tangan sehingga membutuhkan pekerja tambahan sebagai pemutar roda. Hingga saat ini, tuas pemutar masih ada walaupun tidak digunakan lagi. Pada zaman dahulu, pemutar roda menjadi suatu jenis pekerjaan tersendiri, walaupun di Indonesia catatan mengenai pekerjaan ini tidak jelas.
Renovasi dan Riwayat Pemakaian
suntingOrgan Sion telah melalui beberapa renovasi sepanjang sejarahnya. Pada 1930, Fa Bekker & Lefèbre merenovasi Organ Sion dan mengganti pipa-pipa dan sistem organ dari mekanik menjadi pneumatik. Sejak 1980, organ kemudian rusak sehingga tidak dapat digunakan. Baru kemudian pada 1992 organ kembali direnovasi dengan bantuan beberapa pendukung yang tertera di plakat dekat bilik udara organ. Organ kemudian tidak dapat dipakai lagi dan baru pada 2001 organ direnovasi kembali. Setelah kembali mengalami penurunan kondisi kembali sejak 2006, pada tahun 2012 Organ Sion mengalami renovasi skala besar di bawah orgelbauer asal Indonesia Benedictus Martino Hidajat.
Organis
suntingSebelum organis Jonathan Wibowo hadir pada HUT ke-313 Gedung GPIB Sion Jakarta (Oktober 2008) untuk membantu pelayanan, belum ada penjadwalan tetap untuk permainan organ pipa di Gereja Sion. Organis (sebutan untuk pemain organ pipa) yang tercatat telah membantu pelayanan musik organ pipa di Gereja Sion antara lain Elizabeth Flora Makaminan, Jonathan Christian Turangan Wibowo (2008-2016, 2022-sekarang), Rillo Hans Stevanus Purba-Samallo, Dimu Boeky, Albert Deil (2015-2016, 2020-2022), dan Nico Gamalliel (2017-sekarang). Organis yang melayani di GPIB Sion Jakarta sebelum tahun 2000-an tidak tercatat dengan jelas. Salah satu organis yang menurut cerita pernah turut dalam pelayanan organ pipa di GPIB Sion adalah Pnt. Drs. Janus Siagian (1970-1982). Sebelum Pnt. Janus, pemain organ pipa di GPIB Sion menurut cerita adalah organis asal Belanda yang masih tinggal di Indonesia setelah kemerdekaan.
Referensi
sunting- ^ a b c Adolf., Heuken, (2003). Gereja-gereja tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. ISBN 9799722942. OCLC 53951079.
Pranala luar
sunting- (Indonesia) Sejarah Gereja Sion Diarsipkan 2007-03-13 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Wisata Gereja Tua Jakarta Menggali Memori lewat Rumah Ibadah Diarsipkan 2022-11-27 di Wayback Machine.