Front Lage–Tojo (bahasa Inggris: Lage–Tojo Front), yang berpusat di daerah perbatasan antara desa-desa mayoritas Muslim dan mayoritas Kristen di sebelah timur ibu kota Poso, merupakan wilayah pertama di luar kota yang mengalami pertempuran skala besar. Kekerasan di front ini dimulai dengan bentrokan antara kelompok Islam dan Kristen di desa Bategencu pada tanggal 25 Mei 2000. Setelah itu, bentrokan di front ini terjadi dalam dua gelombang yang berbeda: serangkaian bentrokan awal dari tanggal 25 Mei sampai 29 Mei diikuti dengan jeda selama seminggu, dan disusul oleh dua bentrokan lebih lanjut pada tanggal 5 hingga 6 Juni.[1]

Kekerasan di front ini umumnya terdiri dari bentrokan antar kelompok massa. Pola karakteristik khusus dari sekian banyak bentrokan skala besar yang terjadi selama periode bulan Mei hingga Juni, menunjukkan bahwa setiap konfrontasi akan berlanjut hingga salah satu pihak terpaksa mundur atau desa mereka dibakar. Karena kelompok yang kalah mampu untuk mundur dan melarikan diri, hanya sedikit orang yang terbunuh dalam bentrokan-bentrokan ini, dan membatasi jumlah total korban tewas di front ini. Para kombatan utama di posko Tagolu bukanlah yang memulai kekerasan di front ini —di daerah ini berbeda, karena kelompok Islam yang memulai penyerangan. Meskipun demikian, para anggota posko Tagolu datang untuk membantu orang-orang Kristen setempat setelah hari pertama pertempuran, dan kemudian menduduki posisi kepemimpinan dalam kelompok Kristen, membantu untuk menjamin "kemenangan" mereka.[2]

Jalannya pertempuran

sunting

Bentrokan pertama

sunting

Bentrokan pertama di front ini terjadi ketika beberapa truk yang ditumpangi kelompok Islam meninggalkan kota Ampana yang dihuni mayoritas Muslim menuju ke kota Poso, sama seperti yang mereka lakukan selama kerusuhan Desember 1998.[3]. Ada dua informasi yang berbeda yang melaporkan tentang kepergian mereka. Yang pertama, mereka berangkat ke Poso setelah mendengar dengan kabar tentang penyerangan kelompok Lateka ke kota pada tanggal 23 Mei, sedangkan yang lainnya menyebut bahwa mereka datang sebagai tanggapan atas desas-desus bahwa seorang warga Muslim hilang setelah kendaraannya dihentikan di sebuah penghalang jalan di desa Poso.[4][5].

Ketika iring-iringan kendaraan ini tiba di desa mayoritas Muslim di dekat Bategencu, polisi yang ditempatkan di sekitar dilaporkan meninggalkan pos mereka, dan kelompok Islam dari konvoi tersebut bersatu dengan warga Muslim setempat untuk melakukan penyerangan pada sore hari di desa tersebut.[1] Warga Bategencu tidak dapat menghalau serangan tersebut dan melarikan diri ke Sepe, desa mayoritas Kristen berikutnya di sebelah Bategencu, meninggalkan desa mereka sendiri kepada kelompok Islam untuk dibakar. Setelah mereka membakar Bategencu, kelompok Islam mundur sementara ke daerah-daerah mayoritas Muslim di dekatnya.

Serangan ini sekaligus meyakinkan warga desa-desa Kristen setempat tentang perlunya untuk berperang dan juga menarik perhatian beberapa orang Kristen yang berkumpul di Tagolu untuk membantu rekan-rekan seagama mereka. Orang-orang yang datang termasuk para anggota inti, seperti Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan salah satu putra Paulus Tungkanan, Berny. Dalam deposisi interogasinya, Tibo juga menunjuk seorang warga Silanca yang bernama Ladue sebagai pemimpin dalam bentrokan ini, seorang pria yang menurutnya termasuk aktif di posko Tagolu. Desas-desus tentang kecakapan mereka kemungkinan besar telah membantu para anggota inti untuk menegaskan pengaruh mereka atas penduduk desa setempat yang tidak mereka kenal. Seorang warga Silanca, misalnya, ingat bahwa Tibo dan Dominggus diakui sebagai pemimpin yang dikabarkan memiliki "ilmu" (kekuatan magis, yang biasanya bersifat kebal).

Pertempuran kedua dan pembumihangusan Toyado

sunting

Keesokan harinya, pada tanggal 26 Mei, kedua kelompok bersiap untuk saling menyerang di Bategencu. Kelompok Islam sekali lagi merupakan perpaduan antara penduduk lokal dan kelompok Islam Ampana. Di sisi lain, Kelompok Kristen terdiri dari anggota posko Tagolu dan para warga dari beberapa pemukiman Kristen setempat, mengusir kelompok Islam dari Bategencu dan maju untuk membakar sebagian besar desa Toyado. Dua orang tewas, dan sebanyak 200 rumah dibakar di Toyado.[4][5] Selama sebagian besar kekerasan yang terjadi pada bulan Mei hingga Juni, masjid-masjid di setiap desa tidak pernah tersentuh. Pembakaran di Toyado menandai berakhirnya bentrokan hari itu, sedangkan kelompok Kristen menarik diri untuk mundur.

Seorang warga Muslim setempat menyebut bahwa kesuksesan kelompok Kristen pada hari itu karena mereka memiliki persenjataan dan taktik yang lebih baik. Meskipun dalam bentrokan tersebut ada lebih banyak orang Muslim daripada orang Kristen, tetapi pada saat bertempur kelompok Islam membentuk formasi memanjang dan berkerumun di jalanan. Akibatnya, "bahkan jika ada orang buta dari pihak Kristen yang menembak, seseorang di pihak Islam pasti akan terkena tembakan itu." Hanya sedikit orang-orang Kristen yang berkumpul di jalan, dan lebih memilih untuk bertempur dari posisi tersembunyi.

Serangan balik Kristen dan berakhirnya pertempuran

sunting

Sejak hari kedua dan seterusnya, kelompok Kristen yang memulai penyerangan di front ini. Tiga hari bentrokan menyusul setelah tanggal 26 Mei. Lokasi dari bentrokan yang terjadi pada tanggal 27 Mei tidak diketahi secara pasti, namun desa Tongko dan Labuan dibakar pada tanggal 28 Mei, sementara dusun Buyung Katedo dan Lee dilaporkan telah diserang pada tanggal 29 Mei.[6]. Selanjutnya, tidak ada bentrokan skala besar di front ini selama satu minggu. Alasan adanya masa jeda ini mungkin sebagai hasil dari kesepakatan damai yang terjadi antara desa Malei Lage dan Sepe. Inti dari kesepakatan tersebut adalah bahwa orang-orang Kristen tidak akan menyerang Malei Lage jika warga Muslim yang tinggal di sana mengosongkan desa untuk sementara selama pertempuran yang terjadi pada bulan Mei dan Juni. Meski menyetujui kesepakatan tersebut, kelompok Kristen akhirnya membakar desa Malei Lage pada tanggal 5 Juni, dan kemudian menyerang desa tetangga Malei Tojo keesokan harinya. Dalam serangan yang terjadi pada tangal 6 Juni, sekaligus yang terakhir terjadi di front ini, kelompok Kristen terlibat baku tembak dengan polisi yang ditempatkan di desa untuk menjaga penggergajian kayu eboni. Salah satu anggota polisi terluka, dan seorang anggota satuan militer yang dikirim untuk membebaskannya, tewas.[7]

Reaksi

sunting

Seorang peneliti dan profesor dari Universitas Nasional Australia, Dave McRae, dalam bukunya "A Few Poorly Organized Men", menyatakan bahwa dia tidak memiliki informasi yang cukup untuk mencapai kesimpulan yang kuat mengenai apakah bentrokan di front Lage-Tojo ini adalah bagian dari rencana yang telah disusun sebelumnya. Di satu sisi, lokasi posko kelompok merah di Tagolu menunjukkan bahwa orang-orang Kristen paling tidak menyadari bahwa ada kemungkinan terjadinya bentrokan di sepanjang jalan dari Tagolu ke Tongko. Selain itu, mereka bukan provokator seperti yang dikemukakan pihak Kristen yang mengaku melakukan kekerasan pada bulan Mei-Juni. McRae menambahkan, fakta bahwa kelompok Muslim dari Ampana-lah yang mengakibatkan terjadinya bentrokan perdana di front ini mengingatkan bahwa para anggota utama di posko Tagolu tidak berada dalam posisi untuk mengendalikan keseluruhan dinamika kekerasan tersebut.

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b McRae 2013, hlm. 66.
  2. ^ McRae 2008, hlm. 99.
  3. ^ Ecip & Waru 2001, hlm. 74.
  4. ^ a b Damanik & Posende 2000, hlm. 1.
  5. ^ a b Tengko 2000, hlm. 1.
  6. ^ Tengko 2000, hlm. 2.
  7. ^ "Kelompok Merah Aktif Menyerang". Mercusuar. 7 Juni 2000. 

Sumber

sunting