Fides et Ratio (Iman dan Akal budi) adalah sebuah ensiklik kepausan yang diumumkan secara resmi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 14 September 1998. Ensiklik ini pada intinya membahas hubungan antara iman dan akal budi.

Sri Paus percaya bahwa iman dan akal budi tidak hanya sepadan, namun penting bagi satu dengan yang lain. Iman tanpa akal budi, ia berargumen, akan menjurus pada ketakhyulan (superstisi). Akal budi tanpa iman akan menjurus pada paham Nihilisme dan Relativisme. Ia menulis:

Melalui karya-karya filosofi, kemampuan untuk mempertimbangkan apa yang lebih pantas bagi intelektualitas manusia menghasilkan sebuah gaya berpikir yang sangat terperinci; dan kemudian sebaliknya, melalui perpaduan logika dari penegasan-penegasan akan suatu hal yang telah dibuat dan kesatuan yang teratur dari isi hal-hal tersebut, kemampuan ini menghasilkan suatu bagan pengetahuan yang sistematis ... Hal ini juga membawa godaan untuk menyamakan suatu aliran tertentu dengan filosofi seluruhnya. Dalam kasus-kasus tersebut, kita secara jelas berurusan dengan suatu "kesombongan filosofis" yang berusaha untuk mengajukan pandangannya yang berat sebelah dan tidak sempurna sebagai suatu tafsiran lengkap akan semua kenyataan ..."

Walau logika menciptakan suatu "bagan pengetahuan yang sistematis", Sri Paus menegaskan bahwa kelengkapannya adalah suatu yang dibuat-buat:

Namun hasil-hasil positif yang tercapai haruslah tidak mengecilkan fakta bahwa logika, dimana perhatiannya yang hanya pada satu sisi saja dalam menyelidiki subyektivitas manusia, terlihat lupa bahwa pria dan wanita selalu diingatkan untuk mengarahkan langkah-langkah mereka kepada suatu kebenaran yang melebihi diri mereka. Terpisah dari kebenaran itu, para pribadi hanya bergantung pada sesuatu yang tidak pasti, dan keberadaan mereka sebagai manusia dinilai oleh kriteria pragmatis yang pada intinya berdasarkan pada data coba-coba, dalam kepercayaan yang salah bahwa teknologi harus menguasai semuanya. Sudah terjadi sebelumnya bahwa logika, daripada menyuarakan pedoman manusia ke arah kebenaran, telah bertekuk lutut di bawah beban sebegitu banyaknya ilmu pengetahuan, dan sedikit demi sedikit telah kehilangan kemampuannya untuk mengangkat kepalanya memandang puncak-puncak kebenaran - tidak berani untuk menghadapi kebenaran akan makhluk hidup. Dengan meninggalkan penyelidikan akan makhluk hidup, penelitian filosofi modern hanya berkonsentrasi pada pengetahuan manusia. Daripada menggunakan kemampuan manusia untuk mengerti akan kebenaran, filosofi modern lebih cenderung untuk lebih mengutamakan cara-cara kemampuan ini dibatasi dan ditentukan kerangkanya.

Tanpa suatu dasar kebenaran spiritual, ia melanjutkan, akal budi telah

... melahirkan bentuk-bentuk yang berbeda dari agnotisisme dan relativisme yang menyebabkan penelitian filosofi untuk kehilangan arah dalam berbagai pergeseran dari kesangsian yang meluas. Waktu-waktu belakangan ini telah menyaksikan kelahiran berbagai doktrin yang condong untuk merendahkan nilai kebenaran-kebenaran yang telah dinilai sebagai sesuatu yang pasti. Keaneka-ragaman posisi yang sah telah menyebabkan suatu pluralisme yang tidak dibeda-bedakan, yang berdasarkan pada anggapan bahwa semua posisi adalah sama benarnya, yang merupakan suatu gejala yang menyebar luas saat ini dari kurangnya kepercayaan pada kebenaran. Bahkan pengertian-pengertian tertentu akan kehidupan dari Timur menyingkap kekurangan kepercayaan ini, menolak sifat eksklusif kebenaran dan menganggap bahwa kebenaran menyatakan dirinya secara sama di dalam doktrin-doktrin yang berbeda, meski bila doktrin-doktrin ini berlawanan satu dengan yang lainnya. Mengenai pengertian ini, segala sesuatu dikurangi menjadi opini; dan terdapat suatu perasaan hanyut terkatung-katung. Walau, di satu sisi, pemikiran filosofi telah berhasil semakin mendekati realitas kehidupan manusia dan berbagai bentuk ungkapannya, pemikiran tersebut juga cenderung untuk mengejar masalah-masalah keberadaan (eksistensial), interpretasi naskah ataupun linguistik, yang tidak memperdulikan pertanyaan mendasar mengenai kebenaran tentang keberadaan pribadi, mengenai makhluk hidup dan mengenai Tuhan. Oleh karena itu kita menyaksikan di antara pria dan wanita pada zaman kita, dan tidak hanya pada sebagian filsuf, sikap ketidak-percayaan yang semakin meluas akan kemampuan untuk berpengetahuan yang luar biasa dari manusia. Dengan kesederhanaan yang salah, orang-orang cukup puas pada kebenaran-kebenaran yang berat sebelah dan bersifat sementara, tidak lagi mencoba untuk mempertanyakan hal-hal yang mendasar mengenai arti dan dasar utama dari keberadaan umat manusia, pribadi dan sosial. Singkatnya, jumlah harapan bahwa ilmu filosofi mungkin bisa memberikan jawaban-jawaban yang pasti akan pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menyusut.

Secara keseluruhan, Sri Paus "menyerukan dengan kuat dan keras" bahwa "iman dan filosofi memulihkan kembali kesatuan mereka yang mendalam yang mampu menyebabkan mereka untuk berdiri secara selaras dengan sifat-sifat mereka tanpa mengorbankan kemandirian mereka sendiri. Kewajiban untuk menyuarakan kebenaran dari iman harus disertai dengan keberanian logika.

Struktur Dokumen

sunting

PENDAHULUAN: "KETAHUILAH DIRIMU" (1-6)

BAB I: WAHYU KEBIJAKSANAAN TUHAN (7-15)

  • Yesus, Pengungkap Allah Bapa (7-12)
  • Logika di hadapan misteri (13-15)

BAB II: CREDO UT INTELLEGAM (16-23)

  • "Kebijaksanaan mengetahui dan memahami segala-galanya" (Kitab Kebijaksanaan 9:11) (16-20)
  • "Perolehlah hikmat, perolehlah pengertian," (Kitab Amsal 4:5) (21-23)

BAB III: INTELLEGO UT CREDAM (24-34)

  • Perjalanan dalam mencari kebenaran (24-27)
  • Berbagai wajah kebenaran manusia (28-34)

BAB IV: HUBUNGAN ANTARA IMAN DAN AKAL BUDI (36-48)

  • Saat-saat penting dalam pertemuan antara iman dan akal budi (36-43)
  • Sifat khusus yang abadi dari pemikiran Santo Thomas Aquinas (43-44)
  • Kejadian terpisahnya iman dan akal budi (45-48)

BAB V: CAMPUR-TANGAN MAGISTERIUM DALAM HAL-HAL FILOSOFI (49-63)

  • Kearifan Magisterium sebagai pembawa kebenaran (49-56)
  • Kepentingan gereja dalam filosofi (57-63)

BAB VI: INTERAKSI ANTARA FILOSOFI DAN TEOLOGI (64-79)

  • Pengetahuan akan iman dan tuntutan akan logika filosofi (64-74)
  • Berbagai pendirian dari filosofi (75-79)

BAB VII: CURRENT REQUIREMENTS AND TASKS (80-99)

  • Persyaratan yang harus ada dari Sabda Allah (80-91)
  • Tugas-tugas saat ini bagi teologi (92-99)

KESIMPULAN (100-108)

Pranala luar

sunting

Secara singkat Santo Yohanes Paulus II menjabarkan 4 dimensi iman: 1. Mencari dan, 2. Menerima kebenaran yang diwahyukan Allah, serta 3. Melaksanakan dengan Konsisten, dan 4. Secara terus menerus atau konstan melaksanakannya didalam kehidupan kita. Ia mengatakan bahwa setiap orang pada akhirnya akan mencari apa yang dikehendaki oleh Allah didalam hidupnya. Ada yang mencari sambil lalu, tetapi adapula yang dengan sungguh-sungguh. Misal dengan bergabung dengan program katekese atau mengambil kursus-kursus tentang kitab suci atau tentang iman Katolik. Seseorang yang telah memperoleh pengertian akan dapat menerimanya dengan sukacita. Namun menerima saja tidak cukup karena iman harus diwujudkan dengan perbuatan nyata. Untuk dapat secara konsisten melakukan apa yang dipercayai tidaklah mudah, dan sering kali memgandung risiko. Tidak mudah untuk hidup jujur dan adil, dalam kemurnian dan kekudusan. Namun lebih sulit lagi, karena hal itu harus dilakukan tidak hanya sekali, tetapi senantiasa sepanjang hidup, dan secara terus menerus atau konstan. Seseorang dapat melakukannya dengan bantuan rahmat Allah, asalkan ia berjuang untuk selalu bekerjasama dengan rahmat Allah itu.

Fides et Ratio Diarsipkan 2013-07-24 di Wayback Machine. full text of the English translation from the Vatican website