Ambang batas parlemen

(Dialihkan dari Electoral threshold)

Ambang batas parlemen (bahasa Inggris: parliamentary threshold) adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009. Threshold merupakan persyaratan minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan perwakilan yang biasanya dilihat dari presentase perolehan suara di pemilu.[1] Menurut Kacung Marijan, yang dimaksud ambang batas parlemen adalah batas minimal suatu partai atau orang untuk memperoleh kursi (wakil) di parlemen. Maksudnya, agar orang atau partai itu mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil karena mendapat kekuatan memadai di lembaga perwakilan (di Indonesia dikenal dengan istilah parliementary threshold).[2] Pernyataan tersebut juga disetujui oleh Hanta Yuda yang mengatakan bahwa, dalam logika politik pemerintahan, sebenarnya bukan jumlah partai politik peserta pemilu yang harus dibatasi, tetapi jumlah ideal kekuatan partai politik yang perlu diberdayakan atau dirampingkan di parlemen.

Alasan

sunting

Pendukung aturan ambang batas parlemen berpendapat bahwa adanya batas minimal mencegah kelompok-kelompok kecil dan radikal di parlemen. Hal ini dianggap baik karena akan menyederhanakan parlemen, serta membantu terbentuknya pemerintahan dan parlemen yang stabil. Para kritik sistem ini berpendapat bahwa sistem ini cenderung meniadakan wakil rakyat untuk para pendukung partai kecil.[3]

Ambang batas di berbagai negara

sunting

Indonesia

sunting

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR dan tidak berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan ini diterapkan pada Pemilu 2009.

Pada Pemilu 2014 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2012, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD.[4] Setelah digugat oleh 14 partai politik, Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan ambang batas 3,5% tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD.[5][6] Ketentuan ini direncanakan akan diterapkan sejak Pemilu 2014.

Pemilu 2019 dan 2024 dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 4% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR.[7][8][9]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Yuda AR, Hanta, Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema Ke Kompromi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.
  2. ^ Al-Arif, M. Yasin (22 April 2015). "Anomali Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen UUD 1945" (PDF). Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No. 2. 22: 238–254. Diakses tanggal 22 April 2015. 
  3. ^ Yuda A.R., Hanta (3 Agustus 2010). "The problem of presidential-multiparty system". The Jakarta Post. Diakses tanggal 3 Agustus 2010. 
  4. ^ "Voting DPR Putuskan PT Pemilu 3,5 Persen Skala Nasional". detikcom. 12 April 2012. Diakses tanggal 12 April 2012. 
  5. ^ "MK Kabulkan Permohonan 14 Parpol". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-02. Diakses tanggal 2012-10-28. 
  6. ^ "Kalangan DPR Hormati Keputusan MK Soal PT Pemilu 2014". detikcom. 29 Agustus 2012. Diakses tanggal 29 Agustus 2012. 
  7. ^ Setiawan, Sakina Rakhma Diah (12 Mei 2018). Aziza, Kurnia Sari, ed. "Perludem: Ambang Batas Parlemen 4 Persen, Persaingan Parpol Semakin Sengit". Kompas.com. Diakses tanggal 12 Mei 2018. 
  8. ^ Rosyidi, Ahmad Lathif (20 Juni 2022). Futhuhin, Achmad Ali, ed. "Yang Lolos Partai Akar Rumput". Rakyat Merdeka. Diakses tanggal 20 Juni 2022. 
  9. ^ Gitiyarko, Vincentius (2024-02-19). "Suara Terbuang Terpapas Ambang Batas Parlemen". kompas.id. Diakses tanggal 2024-02-19.