Pelayaran Hongi

(Dialihkan dari Ekspedisi Hongi)

Pelayaran Hongi atau Ekspedisi Hongi (Belanda: Hongitochten) adalah suatu bentuk pelayaran serta pengawasan yang dilakukan oleh pemerintahan zaman VOC Belanda yang bertujuan menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah termasuk Hak Ekstirpasi, yaitu hak memusnahkan pohon Pala atau Cengkih, demi mengekalkan monopoli rempah-rempah di Kepulauan Maluku dan sekitarnya. Hal ini penting untuk dilakukan karena jika tidak, maka akan terjadi kelebihan produksi rempah, sehingga harganya pun turun dan akan mengurangi keuntungan perdagangan rempah Belanda.[1]

Armada Hongi Gubernur Balthasar Coyett dan beberapa Raja pada tahun 1702

Asal penamaan

sunting
 
Kora-kora Raja daerah Titaway di Nusa Laut. Ilustrasi karya Francois Valentijn dari tahun 1726

Nama Hongi diambil dari nama kapal kora-kora yang dipakai untuk berpatroli, kapal ini terinspirasi dari Kesultanan Ternate yang berhasil mengusir Portugis dengan bantuan kapal tersebut. Kapal dengan bentuk ramping, yang didesain untuk mampu melaju dengan cepat. Didukung oleh banyak orang memegang kayu. Kapal kora-kora ini mampu melayari selat-selat kecil dan perairan dangkal ciri khas kawasan kepulauan di Maluku dan pesisir Papua.[2]

Bentuk dan tujuannya

sunting
 
Armada Hongi Kora-kora Ternate dalam perjalanan menuju Ambon 1817

Pelayaran Hongi dilaksanakan dengan menggunakan armada perahu Kora-kora yang kadang dikawal oleh Kapal Perang VOC untuk melayari pulau-pulau di kepulauan Maluku dan sekitar laut Banda dengan melakukan pemusnahan tanaman dan kebun-kebun cengkih dan pala illegal. Kapal-kapal ini juga bertujuan untuk mengejar pelaku penyelundupan rempah-rempah dan menangkap kapal asing lainnya yang melakukan perdagangan tanpa seizin Belanda.[1]

Tujuan pemusnahan tersebut adalah untuk membuat harga rempah-rempah stabil ketika produksi berlebih, sehingga harga rempah-rempah yang ada di gudang kompeni tidak jatuh. Belanda sangat ingin untuk menjaga harga cengkih dan pala di pasar Eropa tinggi agar monopoli rempah yang mereka pegang menjadi semakin menguntungkan. Pelayaran Hongi berhasil mencapai tujuan karena dengan adanya kebijakan ini, semua perdagangan rempah di kepulauan Maluku dikontrol oleh Belanda.

Motivasi lain bisa berupa kompetisi antar kerajaan[Ctt. 1][3], kampung[Ctt. 2][4] atau kerjawriya[Ctt. 3][5] (kelompok marga) dimana pelayaran hongi dilakukan oleh sesama atas nama Sultan Tidore oleh pemimpin daerah bawahan.

Peraturan Hongi

sunting

Dalam aturannya Pemerintah VOC membuat perjanjian dengan raja, patih, dan orang kaya pemimpin Negeri-negeri agar mereka mengijinkan adanya pemusnahan tanaman Cengkih serta Pala di wilayahnya. Mereka juga diwajibkan menyediakan kora-kora serta pendayungnya untuk berlayar ke negeri atau pulau lain. Untuk semua kegiatan itu maka Kepala Negeri tersebut mendapatkan sejumlah ganti rugi berupa pembayaran tahunan dari pihak Belanda.

 
Armada Hongi ilustrasi karya Wouter Schoutens Oost-Indische Voyagie tahun 1676

Tetapi pada kenyataannya, karena maraknya Korupsi dikalangan pegawai VOC dan kepala-kepala negeri, rakyat tidak pernah mendapatkan apa-apa. Ketika perkebunan mereka dimusnahkan dengan api, parang, dan kapak, rakyat hanya bisa meratapi semua hasil kerja kerasnya. Sementara itu, para bangsawan dan pemilik tanah menjadi semakin kaya dari uang ganti rugi yang dibayarkan oleh Belanda.

Pelayaran Hongi benar-benar membuat rakyat Kepulauan Maluku yang pada zaman dahulu kala sangat makmur menjadi jatuh dalam kemelaratan. Aturan Pelayaran Hongi benar-benar dilaksanakan VOC dengan "Tangan Besi", sebab kepala negeri yang menolak maka akan di buang, negeri dan rakyatnya akan di repatriasi atau di deportasi (pemindahan paksa penduduk antar pulau), untuk dikerjakan secara Kerja Rodi di kebun milik VOC. Rakyat laki-laki yang menolak mendayung diperahu kora-kora akan dicambuk oleh kepala negeri dan didenda. Dalam sejarah Ekstirpasi Maluku telah membuat populasi rakyat Maluku berkurang sepertiga dari jumlah awalnya.

Dampak pelayaran Hongi

sunting

Selama pelayaran Hongi beberapa pemuda yang dipekerjakan sebagai pendayung kora-kora mengalami kelaparan dan meninggal karena tidak diberi makan yang cukup. Seringkali, waktu yang digunakan pun melebihi batas yang disepakati, yaitu tiga bulan. Kondisi ini terus berlangsung, karena rakyat yang menolak akan langsung dihukum cambuk bahkan dibunuh. Kabarnya, Pelayaran Hongi tidak hanya membuat rakyat Maluku menderita, tetapi juga kehilangan populasinya.[1][6]

Kebijakan Hongitochten yang disertai dengan ekstirpasi membuat jumlah tanaman rempah-rempah yang ada di Maluku berkurang. Seperti diketahui, VOC akan melakukan pembinasaan tanaman rempah-rempah ketika ditemukan pelanggaran demi meraih kestabilan harga dan memaksimalkan keuntungan. Akibatnya, rakyat pun semakin terjun dalam jurang kemiskinan ketika perkebunan mereka dimusnahkan oleh Belanda.[1][6]

Sekitar tahun 1850an Teluk Doreri (Manokwari) dan Pulau Roon, Wondama merupakan pusat perdagangan di teluk Cendrawasih ini dikarenakan pusat perdagangan sebelumnya yang merupakan Pulau Kurudu, Waropen diserang ekspedisi Hongi berkali-kali di penghujung akhir tahun 1840an. Pedagang Seram Laut juga mengembangkan ekspedisi perdagangan ke pesisir Barat Pulau Papua, tetapi ekspedisi Hongi tahun 1850 menghalangi dan menghancurkan hubungan perdagangan antar pulau. Walau kapal pedagang sangat jarang diserang tetapi berita adanya pelayaran hongi menyebabkan penduduk pesisir kabur sehingga tidak ada perdagangan pada musim itu.[7]

Catatan

sunting
  1. ^ Seperti ekspedisi Hongi tahun 1874 yang dilakukan oleh Raja Rumasol di pulau Misool atas nama Sultan Tidore, bernama Sebiar terhadap Hati-Hati dan Rumbati
  2. ^ Menurut catatan B.G.F. de Kops tahun 1894, Sangaji Gebe baru melakukan ekspedisi hongi terhadap pulau Kurudu dekat pesisir Waropen dan menangkap 200 orang sebagai budak tawanan.
  3. ^ Salah satu peristiwa hongi antar kelompok kerjawriya terkenal dengan hongi besar Genuni di Teluk Patipi. Ada beberapa versi narasi ini terkait dengan penyebab terjadinya peristiwa hongi besar Genuni. Ada yang mengatakan penyebabnya adalah perebutan perempuan. Versi lain menyebutkan persaingan antar kelompok.

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d Ningsih, Widya Lestari (2021-08-23). Nailufar, Nibras Nada, ed. "Pelayaran Hongi: Tujuan dan Dampaknya". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-06-04. 
  2. ^ IndonesianCultures.Com, Pelayaran Hongi Cara Kejam VOC Kendalikan Rempah Nusantara, 5 Agustus 2021
  3. ^ Swadling, Pamela; Wagner, Roy; Laba, Billai (2019-12-01). Plumes from Paradise. Sydney University Press. hlm. 146. doi:10.30722/sup.9781743325445. ISBN 978-1-74332-544-5. 
  4. ^ Swadling, Pamela; Wagner, Roy; Laba, Billai (2019-12-01). Plumes from Paradise. Sydney University Press. hlm. 211. doi:10.30722/sup.9781743325445. ISBN 978-1-74332-544-5. 
  5. ^ Helweldery, Ronald (2018-11-05). Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelusuran Etnografis Atas Narasi dan Praktik Sosial; Bab IV Rumpun Etnik Mbaham Matta: Tuan Rumah Sosial-Budaya. Repositori Institusi Universitas Kristen Satya Wacana. hlm. 157. Diakses tanggal 2022-06-04. 
  6. ^ a b Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho (2008). Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1. 
  7. ^ Swadling, Pamela; Wagner, Roy; Laba, Billai (2019-12-01). Plumes from Paradise. Sydney University Press. hlm. 125,146. doi:10.30722/sup.9781743325445. ISBN 978-1-74332-544-5.