Dropadi

Tokoh wanita dari epos Hindu Mahabharata
(Dialihkan dari Draupadi)

Dropadi (Dewanagari: द्रौपदी; ,IASTDraupadī,; ejaan alternatif: Drupadi) alias Pancali (Dewanagari: पांचाली; ,IASTPānchālī, पांचाली) atau Yadnyaseni (Dewanagari: याज्ञसेनी; ,IASTYajñasenī, याज्ञसेनी), adalah salah satu tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah putri Drupada, raja di kerajaan Panchala. Ia merupakan saudara Drestadyumna dan Srikandi. Menurut kitab Mahabharata dari India, Dropadi memiliki lima suami yang disebut Pandawa, dan memiliki seorang putra dari tiap suaminya, yang disebut "Pancakumara". Namun, tradisi pewayangan Jawa, ia hanya memiliki seorang suami, yaitu Yudistira, dan seorang putra bernama Pancawala.

Dropadi
द्रौपदी
Dropadi (sebagai sairandri) yang berat hati membawa arak ke tempat Kicaka. Lukisan India karya Raja Ravi Varma, menggambarkan adegan dari naskah Wirataparwa.
Dropadi (sebagai sairandri) yang berat hati membawa arak ke tempat Kicaka.
Lukisan India karya Raja Ravi Varma, menggambarkan adegan dari naskah Wirataparwa.
Tokoh Mahabharata
NamaDropadi
Ejaan Dewanagariद्रौपदी
Ejaan IASTDraupadī
Arti namaputri Drupada
Nama lain
  • Kresna
  • Pancali
  • Yadnyaseni
  • Malini
  • Sairandri
  • Drupadakania
  • Parsati
  • Nityayuwani
Kitab referensiMahabharata, Bhagawatapurana
AsalKampilya, kerajaan Panchala
KediamanHastinapura, kerajaan Kuru
Kastakesatria
AyahDrupada
SaudaraDrestadyumna, Srikandi
SuamiPancapandawa:
AnakPancakumara:
  • Pratiwindya
  • Sutasoma
  • Satanika
  • Srutasena
  • Srutakarma

Dalam Mahabharata dikisahkan bahwa ia dan Drestadyumna tercipta dari api yadnya yang diselenggarakan Drupada. Arjuna, salah satu anggota Pandawa memenangkan sayembara memperebutkan Dropadi dan berhak menikahinya, tetapi akhirnya Dropadi menikahi lima Pandawa karena kesalahpahaman Kunti, ibu para Pandawa. Setelah melaksanakan upacara Rajasuya, Yudistira diundang untuk bermain judi di Hastinapura. Ia gagal memenangkan pertaruhan sehingga kehilangan seluruh hartanya, termasuk Dropadi. Akhirnya Dropadi dihina di balairung istana Hastinapura oleh para Korawa, Sangkuni, dan Karna. Saat Dursasana hendak menelanjanginya, Kresna turun tangan secara gaib dan berhasil menyelamatkannya.

Kitab Wanaparwa menceritakan kisah Dropadi yang hidup dalam masa pengasingan di hutan selama 12 tahun bersama para suaminya, setelah Yudistira kalah bermain judi. Dalam Wirataparwa, Dropadi menjalani masa penyamaran di kerajaan Matsya selama setahun bersama para suaminya, sebelum kembali ke Hastinapura. Setelah Dropadi dan Pandawa kembali ke Hastinapura, para Korawa tidak mau menyerahkan apa yang semula menjadi milik para Pandawa, sehingga meletuslah perang besar di Kurukshetra. Pada akhir kisah Mahabharata, diceritakan bahwa para Pandawa dan Dropadi bersuluk dan melakukan perjalanan ke berbagai tempat suci, dengan tujuan akhir Himalaya. Di perjalanan, Dropadi merupakan orang pertama yang meninggal dunia.[1][2][3][4]

Kisah Dropadi telah menjadi inspirasi bagi berbagai kesenian dan pertunjukan. Dalam bidang sastra, ada banyak buku yang diterbitkan berdasarkan kisahnya. Dalam agama Hindu, ia dihormati sebagai salah satu pancakanya ("lima gadis"), kumpulan lima wanita yang dipuji karena kesucian hatinya. Di beberapa tempat di subbenua India, Dropadi tidak hanya diyakini sebagai putri yang sangat jaya, tetapi juga merupakan seorang dewi, di India Dropadi dianggap sebagai Inkarnasi Dewi Saci atau ada yang menganggap Dropadi inkarnasi dari Dewi Mahakali dan beberapa orang India Menganggap Dropadi adalah inkarnasi Dewi Lakshmi.[5]

Arti nama

sunting

Pada mulanya, Dropadi diberi nama "Kresna" (कृष्णा Kṛṣṇā), merujuk kepada warna kulitnya yang kehitam-hitaman. Dalam bahasa Sanskerta, kata Kṛṣṇa (कृष्ण) secara harfiah berarti gelap atau hitam. Lambat laun ia lebih dikenal sebagai "Dropadi" (द्रौपथी Draupadī), yang secara harfiah berarti "putri Drupada". Selain dua nama tersebut, Dropadi juga memiliki nama lain yang tercatat dalam kitab Mahabharata berbahasa Sanskerta, yakni:

  • Yadnyaseni (याज्ञसेनी Yajñasenī) atau Yadnyasenā (याज्ञसेना Yajñasenā): putri Yadnyasena, nama lain Drupada. Makna lainnya, yaitu "orang yang terlahir dari api kurban suci (yadnya)". Dari dua varian nama ini, yang pertama lebih sering disebut dalam Mahabharata, sedangkan yang kedua lebih sering muncul dalam naskah-naskah Purana klasik.
  • Pancali (पाञ्चाली Panchalī): orang yang berasal dari kerajaan Pancala.
  • Drupadakania (द्रुपदकन्या Drupadakanyā): anak perempuan Drupada.
  • Sairandri (सैरन्ध्री Sairandhrī): pelayan profesional (peran yang dilakoninya dalam masa penyamaran di kerajaan Matsya, yaitu penata rambut Ratu Sudesna).
  • Malini (मालिनी Mālinī): pembuat rangkaian bunga (nama samarannya ketika menyamar sebagai pelayan Ratu Sudesna).
  • Parsati (पर्षती Parṣatī): cucu Persata (पृषत Pṛṣata), atau keturunan Persata.
  • Nityayuwani (नित्ययुवनी Nityayuvanī): yang tidak pernah menua, atau awet muda.

Kelahiran

sunting
 
Lukisan tahun 1940-an menggambarkan kelahiran Dropadi dari api suci yadnya.

Menurut naskah Mahabharata dari India, tempat kelahiran Dropadi adalah kerajaan Panchala, yang kini merupakan wilayah Bareilly, Uttar Pradesh, India Utara.[6] Dropadi adalah anak yang tercipta dari hasil Putrakamesti, yaitu ritual suci (yadnya) untuk memohon anak, sebagaimana yang disebutkan dalam Itihasa dan Purana (susastra Hindu). Dalam Mahabharata diceritakan bahwa kelahirannya dilatarbelakangi oleh dendam pribadi ayahnya (Drupada) terhadap Drona, guru militer Dinasti Kuru. Setelah dipermalukan oleh Drona, Drupada pergi ke dalam hutan untuk merencanakan balas dendam. Dia memutuskan untuk mempunyai putra yang akan membunuh Drona, dan seorang putri yang akan menikah dengan Arjuna. Dibantu oleh resi Jaya dan Upajaya, Drupada melaksanakan Putrakamesti dengan sarana api suci. Akhirnya seorang pemuda gagah muncul dari api suci tersebut (yang diberi nama Drestadyumna), disusul oleh seorang gadis cantik yang kemudian diberi nama Dropadi.[7]

Perkawinan dengan Pandawa

sunting

Dalam kitab Mahabharata versi India dan dalam tradisi pewayangan di Bali, Dropadi bersuamikan lima orang, yaitu Pancapandawa (lima putra Pandu) dari Hastinapura, kerajaan Kuru. Pernikahan tersebut terjadi setelah para Pandawa mengunjungi Kerajaan Pancala dan mengikuti sayembara memperebutkan Dropadi yang diselenggarakan oleh Drupada. Sebelum berada di Pancala, para Pandawa dan ibu mereka (Kunti) melarikan diri dari rencana pembunuhan yang dilakukan orang suruhan Korawa di Waranawata. Akhirnya mereka berkelana dengan menyamar sebagai kaum brahmana (kaum pendeta dan rohaniwan), dan bertahan hidup dengan cara meminta sedekah.

Dalam kitab Mahabharata terjemahan Kisari Mohan Ganguli, sayembara memperebutkan Dropadi tercatat dalam Adiparwa bagian Svayamvara Parva. Dikisahkan bahwa sayembara tersebut diikuti oleh para kesatria terkemuka di seluruh penjuru daratan Bharatawarsha (India Kuno), termasuk Duryodana dari Hastinapura, Karna dari Angga, dan Salya dari Madra. Para Pandawa berkumpul bersama para kesatria lain di arena, tetapi mereka tidak diketahui oleh orang-orang yang mereka kenal karena menyamar sebagai brahmana. Di tengah-tengah arena ditempatkan sebuah sasaran yang harus dipanah secara tepat oleh para peserta; yang berhasil melakukannya akan menjadi suami Dropadi.

 
Ilustrasi sayembara memperebutkan Dropadi, lukisan tahun 1920-an.

Para peserta mencoba untuk memanah sasaran di arena, tetapi hampir semuanya gagal. Karna berhasil melakukannya, tetapi Dropadi menolaknya dengan alasan bahwa ia tidak mau menikah dengan kaum sūta (golongan kusir), sebab Karna adalah anak angkat seorang kusir.[8] Versi lain menceritakan bahwa tidak ada penolakan dari Dropadi, sebab panah Karna meleset sehingga ia gagal memenangkan sayembara.[9][10] Setelah giliran Karna, Arjuna tampil ke muka dan mencoba memanah sasaran. Panah yang dilepaskannya mampu mengenai sasaran dengan tepat, sehingga Dropadi berhak menjadi miliknya, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Namun para peserta lain menggerutu karena seorang brahmana diberi hak untuk mengikuti sayembara, sedangkan mereka ingin agar sayembara tersebut hanya diikuti oleh golongan kesatria. Akhirnya keributan tak dapat dihindari lagi. Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya. Kresna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa sebenarnya para brahmana yang telah mendapatkan Dropadi dan ia berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana tersebut mendapatkan Dropadi sebab mereka telah berhasil memenangkan sayembara dengan baik.

Pandawa pulang ke pondok kediaman mereka dengan membawa serta Dropadi. Sesampainya di sana, mereka datang menghadap Kunti dan mengatakan bahwa mereka membawa biksa (sedekah; hasil meminta-minta).[10] Kunti menyuruh agar mereka membagi rata biksa yang telah diperoleh. Namun ia terkejut ketika tahu bahwa putra-putranya tidak hanya membawa hasil meminta-minta saja, tetapi juga seorang wanita. Kunti tidak mau berdusta maka Dropadi pun menjadi istri lima Pandawa.[9][10] Perkawinan Dropadi dengan lima Pandawa merupakan contoh langka dari praktik poliandri yang ditemukan dalam kesusastraan Sanskerta.[11][12] Lima Pandawa bersepakat bahwa mereka akan menjadi suami Dropadi secara bergiliran dengan jangka waktu satu tahun untuk satu Pandawa; hukuman bagi yang melanggar perjanjian tersebut adalah pengasingan selama setahun.[11][13]

Upacara Rajasuya

sunting

Dalam naskah Sabhaparwa, bagian kedua Mahabharata diceritakan bahwa para Pandawa, yang dipimpin Yudistira membangun sebuah istana megah di daerah Kandhawaprastha (akhirnya diberi nama Indraprastha dan Sakraprastha) lalu menyelenggarakan Rajasuya di sana. Pada saat upacara Rajasuya diselenggarakan, seluruh kesatria di penjuru Bharatawarsha diundang, termasuk Duryodana dan para korawa. Setelah upacara Rajasuya usai, Duryodana dan Sangkuni terkagum-kagum dengan isi Istana Indraprastha. Pada suatu ruangan, Duryodana mengira lantai yang terbuat dari kristal adalah sebuah kolam. Di ruangan yang lain, ia mengira suatu kolam sebagai lantai. Duryodana tidak mengetahuinya sehingga ia tercebur. Hal itu membuat para Pandawa (kecuali Yudistira) tertawa terbahak-bahak.[14]

Dalam adaptasi Mahabharata diceritakan bahwa Dropadi juga turut melihat kejadian tersebut, dan berkelakar: andhasyaputra andhaha, artinya 'putra orang buta juga buta'. Kisah ini tidak terdapat dalam naskah Mahabharatha berbahasa Sanskerta, tetapi sisipan oleh para penulis skenario. Contoh adegan yang menampilkan kisah tersebut ada dalam seri Mahabharata karya B.R. Chopra (1988) dan film berbahasa Telugu Daana Veera Soora Karna, dibintangi Nandamuri Taraka Rama Rao sebagai Duryodana, menampilkan adegan Dropadi tertawa yang didramatisasi.[15]

Dalam naskah Sabhaparwa berbahasa Sanskerta, Dropadi tidak disebutkan ada saat Duryodana tercebur di istana para Pandawa.[14] Meskipun demikian, Duryodana tetap merasa terhina atas reaksi para Pandawa saat ia tercebur ke kolam. Saat kembali ke Hastinapura, ia menceritakan isi hatinya kepada Dretarastra setelah menyaksikan kekayaan dan kemewahan yang diperoleh para Pandawa, yang akhirnya memicu rencana perebutan kekayaan Pandawa melalui permainan dadu.

Permainan dadu

sunting
 
Lukisan Dursasana menjambak Dropadi, karya Evelyn Paul (1911).

Dalam naskah Sabhaparwa, setelah menghadiri upacara Rajasuya, Duryodana berdiskusi dengan Sangkuni tentang cara untuk merebut kekayaan Pandawa. Sangkuni menyuruh Duryodana agar mengundang Yudistira main dadu dengan taruhan harta, istana, dan kerajaan. Duryodana menerima usul tersebut karena yakin bahwa pamannya tersebut merupakan ahli permainan dadu. Duryodana kemudian menghasut Dretarastra agar mengizinkannya bermain dadu. Setelah rencana disusun secara baik, undangan dikirimkan kepada Yudistira. Ia tidak menolak untuk memenuhi undangan. Permainan diselenggarakan di balairung istana Hastinapura.

Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, tetapi lambat laun taruhan semakin membesar hingga mencakup istana dan kerajaannya, setelah dihasut oleh Duryodana dan Sangkuni. Semua taruhan dimenangkan oleh Duryodana, sehingga Yudistira kehilangan harta bendanya dalam permainan tersebut. Kemudian ia mempertaruhkan kebebasan saudara-saudaranya, termasuk kebebasan dirinya sendiri. Setelah semua taruhan dimenangkan Duryodana, maka Yudistira mempertaruhkan Dropadi, atas hasutan Duryodana dan Sengkuni. Sekali lagi, Yudistira kalah dan Dropadi diminta untuk hadir di balairung karena dianggap sudah menjadi milik Duryodana. Duryodana mengutus bawahannya yang bernama Pratikami untuk menjemput Dropadi, tetapi Dropadi menolak. Setelah gagal, Duryodana menyuruh adiknya yang bernama Dursasana untuk menjemput Dropadi. Karena bersikeras untuk tidak hadir, maka Dropadi diseret oleh Dursasana; rambutnya ditarik sampai ke balairung.[16][17] Di hadapan para tetua dan sesepuh Dinasti Kuru yang hadir pada saat itu (Bisma, Krepa, Drona, Bahlika, Widura, Dretarastra), Dropadi mempertanyakan hak apa yang dimiliki oleh Yudistira untuk mempertaruhkannya dalam permainan tersebut.[18][19]

 
Adegan Dropadi hendak ditelanjangi oleh Dursasana, dalam sebuah lukisan karya R. G. Chonker.

Wikarna, adik Duryodana memohon kepada tetua dan dewan kerajaan untuk menjawab pertanyaan Dropadi. Ia berpendapat bahwa Dropadi tidak dimenangkan secara sah, sebab Yudistira telah kehilangan kebebasannya saat ia mempertaruhkan Dropadi. Karna menanggapi Wikarna, dan menyatakan bahwa saat Yudistira kehilangan segala miliknya, ia juga telah kehilangan Dropadi, tanpa harus mempertaruhkannya.[20] Karna menyebut Dropadi sebagai "pelacur" karena menikahi lima lelaki, dan mengatakan bahwa menyeretnya ke tempat ramai adalah hal yang wajar, tak peduli apakah ia telanjang atau berpakaian.[21] Ia pun memerintahkan Dursasana untuk melepaskan pakaian Dropadi.[22][23] Karena para suaminya dibuat tak berdaya, maka Dropadi meminta bantuan kepada Dewa Kresna. Berkat kesaktian Kresna, maka pakaian yang dikenakan Dropadi tidak akan ada habisnya saat ditarik oleh Dursasana. Akhirnya Dursasana berhenti karena kelelahan, sedangkan Dropadi masih tetap berpakaian. Saudara Duryodana yang menentang upaya pelecehan Dropadi adalah Wikarna dan Yuyutsu.

Setelah gagal menelanjangi Dropadi, Karna menyuruh Dursasana untuk membawa Dropadi ke kediaman dayang-dayang, dan berpesan kepada Dropadi agar memilih suami lain, tidak seperti Yudistira yang mempertaruhkan istrinya sendiri. Tak lama kemudian, serigala melolong, dan pertanda buruk segera dirasakan oleh tetua Dinasti Kuru. Gandari masuk ke balairung dan memohon kebijakan Dretarastra. Menyadari bahwa masa depan keluarganya dapat terancam, maka Dretarastra memberi kesempatan kepada Dropadi untuk mengajukan permohonan. Pertama, Dropadi memohon agar Yudistira dibebaskan. Kedua, ia memohon agar para Pandawa dibebaskan dan senjata mereka diserahkan kembali. Saat Dretarastra menanyakan permohonan yang ketiga, Dropadi menjawab bahwa wanita kesatria hanya cukup untuk mengajukan dua permohonan, sebab tiga permohonan dianggap tanda keserakahan. Dretarastra pun mengabulkan permohonan Dropadi, dan mengizinkan para Pandawa pulang kembali ke istana mereka.[24]

Tak lama setelah para Pandawa memperoleh kembali harta benda milik mereka—dan dalam perjalanan menuju Indraprastha—utusan datang menyusul mereka dan menyampaikan pesan dari Hastinapura tentang permainan dadu yang kedua. Yudistira tidak menolak, dan kembali ke Hastinapura beserta para Pandawa dan Dropadi. Sebelum bermain, Sangkuni menyampaikan prasyarat permainan tersebut, bahwa yang kalah harus pergi dari kerajaannya selama 13 tahun, dengan rincian: masa pengasingan ke hutan selama 12 tahun, dan setelah itu masa penyamaran selama setahun. Apabila penyamaran terbongkar, maka pengasingan ke hutan harus diulangi lagi. Seperti sebelumnya, permainan itu pun dimenangkan oleh Duryodana, sehingga Dropadi harus mengikuti suaminya menjalani masa pengasingan.[25]

Masa pengasingan

sunting

Kunjungan Durwasa

sunting
 
Dropadi memberikan Kresna sebutir nasi yang tersisa di periuknya. Atas pemberian tersebut, Dropadi dan Pandawa terhindar dari potensi kemarahan Resi Durwasa.

Pada awal bab Draupadi-harana parwa, bagian Wanaparwa, dikisahkan bahwa Resi Durwasa dan murid-muridnya mengunjungi kediaman Pandawa yang sedang menjalani pengasingan di hutan. Para Pandawa menyambut sang resi dan murid-muridnya secara ramah. Durwasa meminta agar para Pandawa menyediakan makanan untuk mereka. Sebelum kedatangan sang resi, Dropadi baru saja selesai makan dari periuk sakti aksayapatra pemberian Dewa Surya. Periuk tersebut menyediakan makanan untuk para Pandawa dan Dropadi setiap hari; apabila Dropadi telah selesai makan, maka periuk tersebut akan kosong lalu terisi kembali pada hari berikutnya. Maka dari itu, saat Durwasa berkunjung, tidak ada makanan yang mampu mereka sediakan untuk tamu dadakan tersebut.

Dropadi merasa cemas apabila tidak mampu melayani Durwasa dengan baik, sebab Durwasa tersohor sebagai resi yang mudah marah dan lekas mengutuk seseorang. Akhirnya, Dropadi berdoa kepada para dewa agar mendapatkan solusi. Tiba-tiba Kresna muncul dan meminta agar Dropadi menyerahkan periuknya. Kresna mendapati bahwa sebutir nasi masih tersisa di sana; ia pun menelan nasi tersebut. Seketika itu juga, Durwasa dan murid-muridnya merasa kenyang meskipun belum menelan makanan, kemudian mereka meninggalkan kediaman Pandawa dengan perasaan yang puas.[26][27]

Penculikan oleh Jayadrata

sunting

Ketika para Pandawa menjalani masa pengasingan di hutan Kamyaka, mereka kerap pergi berburu sehingga Dropadi ditinggal sendirian. Pada suatu ketika, Jayadrata (suami Dursala, yakni adik perempuan Duryodana) berjalan melewati hutan Kamyaka dalam perjalanan menuju kerajaan Salwa. Di sana, Jayadrata bertemu dengan Dropadi. Kemudian Jayadrata merayu Dropadi dan mengajaknya untuk meninggalkan para Pandawa. Dropadi secara tegas menolak ajakan Jayadrata dan bersikeras untuk tetap tinggal di kediamannya saat itu. Setelah gagal dengan kata-kata, maka Jayadrata menggunakan cara kekerasan, lalu melarikan Dropadi.

Saat Pandawa kembali dari perburuan, mereka mendapati bahwa Dropadi sudah tidak ada. Kemudian mereka mengikuti jejak kereta Jayadrata. Setelah menyadari bahwa Pandawa sedang memburunya, maka Jayadrata segera menurunkan Dropadi dari keretanya. Namun Bima tetap memburu dan menahan Jayadrata. Arjuna memohon agar Bima mengampuni nyawa Jayadrata, karena ia tidak ingin melihat Dursala dan Gandari (mertua Jayadrata) bersedih. Dalam versi kisah yang berbeda, Yudistira merasa bahwa Dropadilah yang pantas untuk menentukan hukuman bagi Jayadrata. Atas dasar hubungan kekerabatan, Dropadi mengampuni Jayadrata. Sebelum membebaskan Jayadrata, Pandawa mencukur rambut Jayadrata dengan tujuan untuk mempermalukannya.[28]

Penyamaran di Matsya

sunting
 
Ilustrasi Dropadi hendak diperkosa oleh Kicaka saat menyamar di keraton Wirata, kerajaan Matsya. Gambar diambil dari buku Maha-Bharata, The Epic of Ancient India oleh Romesh Dutt, 1889.

Setelah Pandawa menjalani masa pengasingan di hutan selama 12 tahun, mereka harus menjalani masa penyamaran selama setahun. Kisah penyamaran para Pandawa dan Dropadi tercatat dalam bagian Wirataparwa dari kitab Mahabharata. Dikisahkan bahwa para Pandawa memilih kerajaan Matsya sebagai tempat untuk hidup dengan identitas samaran. Di kerajaan tersebut, Dropadi memilih identitas sebagai seorang sairandri (golongan dayang-dayang) bernama Malini, yang mengabdi kepada Ratu Sudesna di keraton Wirata. Dalam naskah Wirataparwa, sebutan sairandri juga sering muncul, yang lebih mengacu kepada sebutan untuk jenis pekerjaan yang sedang dilakoni oleh Dropadi.

Saudara Sudesna yang bernama Kicaka menjabat sebagai panglima tertinggi kerajaan Matsya. Ia jatuh cinta kepada Dropadi dan bernafsu untuk menikahinya. Namun Dropadi mengaku bahwa ia telah menikah kepada lima gandarwa. Ia memperingatkan Kicaka bahwa para suaminya sangat kuat; nyawa Kicaka tidak mungkin akan selamat di tangan mereka. Kicaka tidak menggubris peringatan Dropadi. Sebaliknya, ia meminta bantuan Sudesna untuk mempertemukannya dengan Dropadi. Pada suatu kesempatan, Sudesna menyuruh Dropadi mengambil arak dari kediaman Kicaka, yang akhirnya dilaksanakan oleh Dropadi dengan berat hati. Saat Dropadi berusaha mendapatkan arak, Kicaka berusaha melecehkan Dropadi.[29]

Dropadi segera kabur dari rumah Kicaka, lalu masuk ke balairung istana, tempat Raja Wirata dan para abdinya berkumpul. Di sana juga ada Yudistira, yang sedang menyamar sebagai asisten pribadi dan teman bermain sang raja. Bima, dalam identitas sebagai juru masak juga hadir, tetapi isyarat dari Yudistira mencegahnya untuk menolong Dropadi. Di hadapan hadirin balairung istana, Kicaka menendang dan menghina Dropadi, tetapi sang raja sekalipun tidak mampu berbuat apa-apa. Dengan marah, Dropadi mempertanyakan kewajiban dan darma seorang raja. Kemudian ia mengutuk Kicaka agar mati di tangan para suaminya. Kutukan Dropadi ditanggapi dengan tawa oleh Kicaka, yang mempertanyakan keberadaan para gandarwa. Akhirnya Yudistira menyuruh Dropadi untuk pergi ke kuil, karena Kicaka tidak berbuat macam-macam di sana. Baik Dropadi maupun Kicaka pun meninggalkan balairung istana.

Pada malam di hari yang sama, Dropadi mencurahkan keluh kesahnya kepada Bima, dan mereka berencana untuk membunuh Kicaka. Pada hari berikutnya, Dropadi berpura-pura bahwa ia sesungguhnya menaruh hati kepada Kicaka, dan setuju untuk menikahinya dengan catatan bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui hubungan mereka berdua. Kicaka pun memenuhi persyaratan tersebut. Kemudian Dropadi menyuruh Kicaka agar menemuinya di aula tari pada malam hari. Kicaka juga mematuhi kata-kata Dropadi. Pada malam hari, di tempat yang dijanjikan, Bima menunggu kedatangan Kicaka sambil berpura-pura sebagai Dropadi. Kicaka yang tidak menaruh kecurigaan, mengira Bima sebagai Dropadi karena situasi yang remang-remang. Setelah Bima menunjukkan jati dirinya, mereka pun berduel. Akhrinya Kicaka tewas di tangan Bima.[29]

Perang Kurukshetra

sunting
 
Setelah perang Kurukshetra berakhir, Aswatama (kanan) menyerahkan permata yang melekat di dahinya kepada Dropadi. Ilustrasi dari Punjab, abad ke-18.

Saat perang antara Pandawa melawan Korawa berlangsung di Kurukshetra, Dropadi berdiam di Ekachakra bersama para istri kesatria lainnya. Perang berlangsung selama 18 hari. Pada hari ke-16, Bima membunuh Dursasana, memenuhi sumpah yang ia ucapkan saat Dropadi dihina pada peristiwa permainan dadu antara Pandawa dan Korawa (episode dalam Sabhaparwa).

Ada cerita populer yang biasanya ditampilkan dalam adaptasi naskah Mahabharata. Diceritakan bahwa Dropadi mencuci rambutnya dengan darah Dursasana, sebagai tanda pembalasan dendam atas pelecehan yang pernah ia terima saat Pandawa kalah bermain dadu melawan Korawa. Namun adegan tersebut tidak ditemukan dalam naskah Mahabharata berbahasa Sanskerta. Alf Hiltebeitel dalam bukunya The Cult of Draupadi mengulas sumber dari kisah tersebut dengan menelusuri kawasan pedesaan di India. Ia menemukan bahwa adegan mencuci rambut dengan darah pertama kali muncul dalam "Venisamhara" [30] atau "Mengepang Rambut (Dropadi)", sebuah lakon berbahasa Sanskerta yang ditulis pada periode Pallava oleh sastrawan Bhatta Narayana. Sejak saat itu, adegan tersebut menjadi simbol balas dendam yang dahsyat, serta digunakan pula dalam penceritaan ulang atau adaptasi kitab Mahabharata, sehingga dikira sebagai bagian dari naskah asli karya Begawan Byasa.

Serangan Aswatama

sunting

Dalam bagian Sauptikaparwa dikisahkan bahwa setelah Korawa kalah perang, Aswatama membalas dendam dengan cara menyusup ke perkemahan Pandawa pada malam hari, dengan ditemani oleh Krepa dan Kertawarma. Aswatama membunuh para kesatria Pancala yang sedang beristirahat di perkemahan, meliputi: Drestadyumna, Srikandi, Yudamanyu, dan Utamoja. Aswatama juga membunuh Pancakumara, yaitu lima putra Dropadi. Pada pagi hari berikutnya, Yudistira memperoleh kabar serangan Aswatama dari kusir kereta Drestadyumna. Kemudian ia memerintahkan Nakula untuk membawa Dropadi dari kerajaan Matsya.[31] Setelah mendapat berita kematian para saudara dan anak-anaknya, Dropadi bersumpah jika Pandawa tidak membunuh Aswatama, maka ia akan berpuasa sampai mati.[32][33]

Para Pandawa menemukan bahwa Aswatama berlindung di pondok Begawan Byasa. Baik Arjuna maupun Aswatama meluncurkan senjata Brahmastra untuk menyerang satu sama lain. Demi mencegah kehancuran dunia yang disebabkan pertemuan dua senjata tersebut, maka Byasa mengintervensi pertarungan dan menyuruh agar kedua kesatria menarik senjata masing-masing. Karena tidak mengetahui cara menarik senjata tersebut, maka Aswatama mengubah jalurnya menuju janin Utari (menantu Arjuna), tetapi Kresna melindungi janin tersebut dengan Cakra Sudarsana. Kemudian Kresna mengutuk Aswatama, lalu permata yang melekati dahi Aswatama dicabut untuk diberikan kepada Dropadi.[32] Dropadi memberikan permata tersebut kepada Yudistira dan memaafkan pembunuh anak-anaknya. Ia menganggap bahwa putra guru sama pentingnya dengan guru itu sendiri.[34]

Kematian

sunting
 
Dropadi (kiri) tersungkur dalam perjalanan, meninggalkan para Pandawa. Ilustrasi dari buku Mahabharata edisi Barddhaman (abad ke-19).

Dalam kitab Mahaprasthanikaparwa diceritakan, setelah klan Wresni dan Andaka (keluarga bangsa Yadawa) saling bantai di Prabasha, para Pandawa beserta Dropadi memutuskan untuk mengundurkan diri dari kesibukan duniawi (wanaprastha), dan melakukan perjalanan suci mengelilingi Bharatawarsha. Sebagai tujuan akhir perjalanan, mereka menuju pegunungan Himalaya setelah melewati gurun yang terbentang di utara Bharatawarsha. Dalam perjalanan menuju ke sana, Dropadi merupakan orang pertama yang meninggal dunia. Saat Dropadi meninggal, Yudistira berkata kepada Bima, bahwa Dropadi tidak membagi rasa cintanya secara adil kepada lima Pandawa. Di antara para Pandawa, cintanya kepada Arjuna lebih besar daripada yang lain. Akibat pilih kasih tersebut, Dropadi tidak mampu melanjutkan perjalanan menuju puncak Himalaya.[35][36]

Suami dan keturunan

sunting

Dalam kitab Mahabharata versi aslinya, dan dalam tradisi pewayangan di Bali, suami Dropadi berjumlah lima orang yang disebut lima Pandawa. Dari hasil hubungannya dengan kelima Pandawa ia memiliki lima putra, yang disebut Pancakumara, yakni:

  1. Pratiwindya (प्रतविन्ध्य Prativindhya), anak pertama, dari hubungannya dengan Yudistira.
  2. Sutasoma (सुतसोम Sutasoma), anak kedua, dari hubungannya dengan Bima.
  3. Satanika (शतानीक Śātānīka), anak ketiga, dari hubungannya dengan Nakula.
  4. Srutasena (श्रुतसेन Śrutasena), anak keempat, dari hubungannya dengan Sadewa.
  5. Srutakarma (श्रुतकर्म Śrutakarma), anak kelima, dari hubungannya dengan Arjuna.

Pewayangan Jawa

sunting
 
Dewi Dropadi dalam wujud wayang Jawa.

Dalam budaya pewayangan Jawa, khususnya setelah mendapat pengaruh Islam, Dropadi diceritakan agak berbeda dengan kisah dalam kitab Mahabharata versi aslinya. Dalam cerita pewayangan, Dropadi dinikahi oleh Yudistira saja dan bukan milik kelima Pandawa. Cerita tersebut dapat disimak dalam lakon Sayembara Gandamana.

Dalam lakon tersebut dikisahkan bahwa Yudistira mengikuti sayembara mengalahkan Gandamana yang diselenggarakan Raja Drupada. Orang yang berhasil memenangkan sayembara tersebut berhak memiliki Dropadi. Yudistira ikut serta tetapi ia tidak terjun ke arena secara pribadi, melainkan diwakili oleh Bima. Bima berhasil mengalahkan Gandamana dan akhirnya Dropadi berhasil didapatkan. Karena Bima mewakili Yudistira, maka Yudistiralah yang menjadi suami Dropadi. Dalam tradisi pewayangan Jawa, putra Dropadi dengan Yudistira bernama Raden Pancawala.

Perbedaan cerita antara kitab Mahabharata dari India dengan cerita pewayangan Jawa disebabkan oleh pengaruh perkembangan agama Islam terhadap sastra Hindu khususnya Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) di Jawa sebelum abad ke-16. Dalam sejarah Nusantara, setelah Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu runtuh pada awal 1500-an, muncul Kerajaan Demak yang bercorak Islam. Pada masa itu, segala sesuatu harus disesuaikan dengan hukum agama Islam. Lakon pertunjukan wayang yang diambil dari sastra Hindu tidak diberantas maupun dilarang, melainkan disesuaikan dengan ajaran Islam. Meskipun dalam kitab asli Mahabharata diceritakan bahwa Dropadi menikah dengan kelima Pandawa, para pujangga Islam memandang poliandri (memiliki suami lebih dari satu) sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu, Dropadi versi Jawa pun dikisahkan hanya menikah dengan Yudistira saja.[37]

Galeri

sunting

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Mahasweta Devi (6 December 2012). "Draupadi". Dalam Gayatri Chakravorty Spivak. In Other Worlds: Essays In Cultural Politics. Routledge. hlm. 251. ISBN 978-1-135-07081-6. 
  2. ^ - Wendy Doniger (March 2014). On Hinduism. Oxford University Press. hlm. 533. ISBN 978-0-19-936007-9. 
  3. ^ - Devdutt Pattanaik (1 September 2000). The Goddess in India: The Five Faces of the Eternal Feminine. Inner Traditions / Bear & Co. hlm. 98. ISBN 978-1-59477-537-6. 
  4. ^ Das, Gurcharan (2010-10-04). The Difficulty of Being Good: On the Subtle Art of Dharma (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-978147-8. 
  5. ^ Alf Hiltebeitel (1 January 1991). The cult of Draupadī: Mythologies : from Gingee to Kurukserta. Motilal Banarsidass. hlm. ii. ISBN 978-81-208-1000-6. 
  6. ^ Experts, Arihant (2019-07-22). Know Your State Uttar Pradesh (dalam bahasa Inggris). Arihant Publications India limited. ISBN 978-93-131-9643-3. 
  7. ^ Jones, Constance (2007). Encyclopedia of Hinduism. New York: Infobase Publishing. hlm. 136. ISBN 978-0-8160-5458-9. 
  8. ^ Kisari Mohan Ganguli, "Svayamvara Parva. Section CLXXXIX", The Mahabharata of Krishna Dvaipayana Vyasa, Book 1: Adi Parva, hlm. 374 
  9. ^ a b C. Rajagopalachari (1950), Mahabharata, Bharatiya Vidya Bhavan 
  10. ^ a b c Kamala Subramaniam (2007), Mahabharata, Bharatiya Vidya Bhavan 
  11. ^ a b Williams, George M. (2008). "Arjuna". Handbook of Hindu Mythology. Oxford University Press. hlm. 61. ISBN 978-0-19533-261-2. 
  12. ^ Johnson, W. J. (2009). "Draupadi". A Dictionary of Hinduism. Oxford University Press. doi:10.1093/acref/9780198610250.001.0001. ISBN 978-0-19861-025-0. 
  13. ^ Johnson, W. J. (2009). "Arjuna". A Dictionary of Hinduism. Oxford University Press. doi:10.1093/acref/9780198610250.001.0001. ISBN 978-0-19861-025-0. 
  14. ^ a b Kisari Mohan Ganguli (1883–1896), "Sishupala-badha Parva. Section XLVI", The Mahabharata of Krishna Dvaipayana Vyasa, Book 2: Sabha Parva, Internet Sacred Text Archive 
  15. ^ "Did Draupadi Insult Duryodhana during Rajasuya, Karna in Swayamvara?". myIndiamyGlory (dalam bahasa Inggris). 2020-05-19. Diakses tanggal 2020-09-09. 
  16. ^ Hudson, Emily (2012). Disorienting Dharma: Ethics and the Aesthetics of Suffering in the Mahabharata. Oxford University Press. ISBN 978-0199860784. 
  17. ^ "The Mahabharata, Book 2: Sabha Parva: Shishupala-badha Parva: Section LXVI". Sacred-texts.com. Diakses tanggal 2013-10-20. 
  18. ^ Williams, Oliver F.; Houck, John W. (1992). A Virtuous Life in Business: Stories of Courage and Integrity in the Corporate World (dalam bahasa Inggris). Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-8476-7747-4. 
  19. ^ Uppal, Nishant (2018-11-29). Duryodhanization: Are Villains Born, Made, or Made Up? (dalam bahasa Inggris). Penguin Random House India Private Limited. ISBN 978-93-5305-369-7. 
  20. ^ Pattanaik, Devdutt. "The Clothes of Draupadi". Devdutt. Diakses tanggal 20 February 2015. 
  21. ^ Chakravarti, Bishnupada (2007-11-13). Penguin Companion to the Mahabharata (dalam bahasa Inggris). Penguin UK. ISBN 978-93-5214-170-8. 
  22. ^ Hudson, Emily (2012). Disorienting Dharma: Ethics and the Aesthetics of Suffering in the Mahabharata. Oxford University Press. ISBN 978-0199860784. 
  23. ^ "The Mahabharata, Book 2: Sabha Parva: Shishupala-badha Parva: Section LXVII". Sacred-texts.com. Diakses tanggal 2015-07-24. 
  24. ^ "Mahabharata with the Commentary of Nilakantha". Diakses tanggal 2015-07-24. 
  25. ^ Johnson, W. J. (2009). "Mahabharata". A Dictionary of Hinduism. Oxford University Press. doi:10.1093/acref/9780198610250.001.0001. ISBN 978-0-19861-025-0. 
  26. ^ http://www.bhagavatam-katha.com/mahabharata-story-durvasa-muni-svisit-to-pandavas-in-the-forest/
  27. ^ https://lightofgodhead.com/logstaging/durvasa-muni-visits-the-pandavas//
  28. ^ https://www.indianmirror.com/history/mahabharatha/abduction-of-draupadi.html
  29. ^ a b Chakravarti 2007.
  30. ^ Portessor of Sanskrit Elphinstone College, Bombay (11 Maret 2018). "The Venisamhara of Bhatta Narayana" – via Internet Archive. 
  31. ^ K M Ganguly(1883–1896). The Mahabharatha Book 10: Sauptika Parva section 10[pranala nonaktif permanen] Yudhishthira crying over the death of Upapandavas, October 2003, Retrieved 2015-04-17
  32. ^ a b "The Mahabharata, Book 10: Sauptika Parva: Section 11". Sacred-texts.com. Diakses tanggal 2015-07-24. 
  33. ^ "Asvathama and Kripa are born immortals and unslayable by any kind of weapons". Diakses tanggal 28 June 2015. 
  34. ^ K M Ganguly(1883–1896). The Mahabharatha Book 10: Sauptika Parva section 16 Draupadi forgiving Ashwathama, October 2003, Retrieved 2017-11-10
  35. ^ http://www.sacred-texts.com/hin/m17/m17002.htm
  36. ^ Hudson, Emily (2012). Disorienting Dharma: Ethics and the Aesthetics of Suffering in the Mahabharata. Oxford University Press. ISBN 978-0199860784. 
  37. ^ Mulyono (1991), Dewi Dropadi: Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa, 290 (edisi ke-Juli '91), Warta Hindu Dharma 

Daftar pustaka

sunting

Pranala luar

sunting