Doa hening
Doa hening (mental prayer) secara teknis berarti doa yang diungkapkan dalam hati, bukan secara lisan; merupakan satu bentuk doa yang dianjurkan dalam Gereja Katolik, dan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) dibagi lagi menjadi 2 kelompok utama: doa renungan (meditative prayer) dan doa batin (contemplative prayer).[1][2] KGK menjelaskan bahwa doa ini sesungguhnya merupakan suatu pencarian, dalam kepapaan dan dalam iman; tempat pencarian tersebut adalah lubuk hati si pendoa. Di mana dalam tahap tertentu si pendoa menyadari bahwa jiwanya mencari kekasihnya (jantung hatinya) yang begitu dicintainya (Kidung Agung 1:7, Kidung Agung 3:1-4), yang adalah Tuhan Yesus sendiri.[2] Dengan kata lain tujuan doa hening adalah mencari kehendak Allah atas dirinya, mencari-Nya dengan kerinduan; hal-hal lainnya tidak dapat dikatakan sebagai doa hening.
KGK 2709 mengutip kata-kata Santa Teresa dari Yesus (St. Teresa dari Avila), seorang Pujangga Gereja yang juga bergelar "Guru Doa" atau Doctor of Prayer, yang menyatakan perihal tingkatan luhur dari doa ini:[2]
Sebab doa batin, menurut pandanganku, adalah tak lain daripada percakapan akrab antara 2 orang sahabat; berarti sering kali tinggal (menyendiri) bersama Dia yang kita tahu mencintai kita.
— St. Teresa Avila[3]
Hubungan dengan doa lainnya
suntingDoa lisan dan doa batin
suntingBeberapa literatur dalam bahasa Indonesia menyamakan istilah doa hening dengan doa batin. St Theresa Avila menjelaskan dalam buku Jalan Kesempurnaan (Way of Perfection) bahwa doa vokal (lisan) dan meditasi termasuk dalam doa hening jika ada usaha aktif dari si pendoa—dengan bantuan rahmat Allah—untuk menjalin persahabatan akrab dengan Allah.[4] Sehingga dalam pengertian yang dimaksudkan olehnya, istilah doa batin sepertinya lebih tepat digunakan; KGK juga menggunakan istilah interior prayer, selain mental prayer. Dengan mengutip kata-kata St. Teresa, KGK 2704 menegaskan bahwa suatu doa dibatinkan (doa lisan menjadi doa batin) jika si pendoa menyadari dan menghayati dengan Siapa dia berbicara, dan siapa dia sehingga berani berbicara dengan-Nya yang maha agung; dengan demikian doa lisan menjadi bentuk awal dari doa batin.[2][4]
Kontemplasi
suntingIstilah "kontemplatif", menurut St. Teresa Avila, mengacu pada seseorang yang sudah mencapai kontemplasi sempurna dan sudah mengalami pengalaman mistis yang mendalam, semata-mata merupakan pemberian Allah yang hanya diberikan secara pasif (tanpa dapat diusahakan oleh seseorang) kepada orang dengan tingkat kerendahan hati dan kelepasan tertentu. Dalam tulisannya di Puri Batin (The Interior Castle), yang adalah puncak karyanya, ia menjelaskan mengenai doa batin yang dilakukan seseorang sejak ruang III; sementara kontemplasi baru benar-benar dialami seseorang di ruang V-VII.[5] Bagi St Teresa, kontemplasi yang sesungguhnya berbeda dengan doa hening atau doa batin; kontemplasi bersifat pasif, sementara doa batin menuntut usaha aktif dari si pendoa.[6] Kemungkinan KGK menggunakan istilah contemplative prayer untuk menyatakan bahwa setiap orang dapat mencapai persatuan cinta kasih dengan Tuhan dalam doanya melalui usaha aktif dengan syarat tertentu, sesuai penjelasan dalam KGK 2709-2719,[2] mengingat bahwa kontemplasi yang dimaksudkan oleh St. Teresa tidak dapat dicapai oleh semua orang.[4]
Makna teologis
suntingSanto Siprianus dari Karthago, seorang Bapa Gereja Afrika dari abad ke-3, mengatakan bahwa Hana berdoa kepada Allah bukan dengan permohonan yang 'heboh', tetapi dengan diam-diam dan bersahaja dalam lubuk hatinya. Hana berbicara dengan doa yang tersembunyi, tetapi dengan iman yang nyata. Ia tidak berbicara dengan suaranya, tetapi dengan hatinya, karena ia mengetahui bahwa Allah mendengarnya; dan ia memperoleh apa yang dicarinya, karena ia memintanya dengan keyakinan. (1 Samuel 1:13) St. Siprianus juga mengutip Mazmur 4:5: "Memang kamu gelisah, tetapi jangan lalu berdosa, selidikilah batinmu dan mengaduhlah di tempat tidurmu."[7] (terjemahan dalam bahasa Indonesia sesuai yang dipergunakan pada Horarium)
Selain itu St. Siprianus mengutip Lukas 18:10-14, di mana St. Yohanes Klimakus juga mengutipnya dalam "Tangga Pendakian Ilahi" (The Ladder of Divine Ascent),[8] untuk menegaskan bagaimana seharusnya berdoa layaknya sang pemungut cukai berdoa di dalam Bait Allah. Sang pemungut cukai memohon pertolongan dari kerahiman Ilahi, tidak seperti sang Farisi yang puas dengan dirinya. Dengan mengakukan dosanya ia berdoa; dan Tuhan, yang mengampuni orang yang rendah hati, mendengar sang pemohon.[7] Demikian berarti bahwa kerendahan hati dan penyesalan sangat penting dan dibutuhkan dalam doa yang sesungguhnya.
Menuju doa hening
suntingDalam tulisannya di Conferences of the Desert Fathers, Santo Yohanes Kasianus — seorang Bapa Gurun — menganalogikan suatu jiwa dengan sehelai bulu atau sayap ketika menjelaskan bagaimana doa yang dilantunkan suatu jiwa yang 'ringan' dapat naik dengan cepat kepada Allah. Menurutnya sifat dari jiwa dapat dibandingkan dengan sehelai bulu yang sangat halus atau sayap yang sangat ringan, yang mana, jika tidak rusak atau dibebani oleh embun yang jatuh ke atasnya, secara alami akan naik ke ketinggian langit karena sifatnya yang ringan —dan dengan sedikit bantuan pernapasan. Tetapi jika bulu atau sayap tersebut dibebani oleh embun yang jatuh ke atasnya dan yang menembus ke dalamnya, maka ia akan jatuh sampai ke tanah karena bebannya yang berat.[9]
Melalui perumpamaan tersebut, St Yohanes Kasianus menyatakan hal yang sama seperti pada jiwa seseorang. Jika suatu jiwa tidak dibebani oleh kesalahan yang diperbuatnya, dan kekuatiran dunia ini, atau dirusak oleh 'embun' nafsu yang berbahaya, maka jiwa tersebut akan 'naik' sebagaimana seharusnya oleh karena berkat alamiah kemurniannya (lihat: Dosa asal) dan membubung tinggi karena hembusan nafas ringan dari meditasi rohani; jiwa tersebut meninggalkan hal-hal duniawi yang rendah agar dapat beralih ke hal-hal surgawi dan tak terlihat oleh mata. Hal itu sesuai dengan peringatan Tuhan agar hati seseorang tidak dibebani oleh kerakusan, kemabukan, dan kepentingan dunia ini (Lukas 21:34). Sehingga, menurut St Yohanes, jika seseorang menghendaki agar doanya -bahkan- melampaui 'langit', maka ia harus berhati-hati agar tidak membuat jiwanya merosot, senantiasa membersihkan diri dari kesalahan duniawi dan memurnikan diri dari setiap noda, sampai pada 'keringanannya' yang alamiah; demikian akhirnya doa orang tersebut dapat naik kepada Allah tanpa dapat dicegah oleh beban dosa apapun.[9]
Praktik melalui doa lisan
suntingBapa Kami
suntingDalam Hari Doa Panggilan Sedunia yang ke-42, Santo Yohanes Paulus II mengatakan bahwa:[10]
"Keaslian hidup seorang Kristiani diukur dengan kedalaman doanya, suatu seni yang harus dipelajari dengan rendah hati dari 'mulut Sang Guru Ilahi', memohon seperti para murid pertama: 'Tuhan, ajarlah kami berdoa!' (Lukas 11:1)."
Sang Guru (Tuhan Yesus) mengajarkan doa Bapa Kami yang mana sangat dianjurkan oleh St Teresa Avila (dalam Jalan Kesempurnaan bab 24) sebagai praktik doa lisan yang sederhana —selain doa Salam Maria, khususnya bagi orang yang mengalami kesulitan untuk memusatkan pikiran melalui doa batin atau meditasi. St Teresa mengingatkan bahwa Ia yang mengajarkan doa tersebut tidak pernah begitu jauh sehingga tidaklah perlu seseorang berdoa sampai 'berteriak' dengan harapan agar didengar-Nya. Yang diperlukan bagi si pendoa adalah agar jangan sampai ia meninggalkan Sang Guru yang telah mengajarkan doa itu —yaitu dengan tidak memikirkan hal-hal lain selagi berbicara dengan-Nya (bab 22). Jika seseorang sudah membiasakan diri dengan nyaman untuk tidak menyaringkan suara saat berbicara dengan Tuhan, karena Dia akan menyadarkan si pendoa bahwa Dia ada di sana, ia akan dapat mendoakan Bapa Kami atau doa apa pun dengan ketenangan budi dan Tuhan sendiri yang membantunya agar ia tidak lelah selagi berdoa (bab 29).[4]
Referensi
sunting- ^ (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - The Life of Prayer". Holy See.
- ^ a b c d e (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - Expressions of Prayer". Holy See.
- ^ St. Teresa. Riwayat Hidup (The Collected Works of St. Teresa of Avila) - Riwayat Hidup Santa Teresa Avila (The Book of her Life) (edisi ke-Cetakan Kedua, Terjemahan Indonesia oleh Biara Karmel Jl. P.B. Sudirman 8, Bajawa, Flores, NTT). Bajawa: St. Yosef. hlm. 60(VIII,5).
- ^ a b c d St. Teresa Avila. Jalan Kesempurnaan (edisi ke-2004, Cetakan ke 2). Pertapaan Shanti Bhuana (Terjemahan Indonesia oleh Sr. Angelica Maria, P.Karm.). ISBN 9-799-76153-0.
- ^ Teresa de Jesus. Puri Batin (edisi ke-2010, Cetakan ke 3). Bajawa, Flores, NTT: St. Yosef (Terjemahan Indonesia oleh Biara Karmel - Lembang).
- ^ (Inggris) St. Teresa of Avila. "The Way of Perfection: Study Edition" (edisi ke-2000). ICS Publications (translated and prepared by Kieran Kavanaugh, OCD). hlm. 186-190. ISBN 0-935216-70-7.
- ^ a b (Inggris) Cyprian of Carthage, "Treatise 4 - On the Lord's Prayer", dalam Alexander Roberts, James Donaldson, A. Cleveland Coxe, Ante-Nicene Fathers, Vol. 5 (edisi ke-1886, Revised and edited for New Advent by Kevin Knight), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. (Translated by Robert Ernest Wallis)
- ^ (Inggris) Saint John (Climacus). "John Climacus - The Ladder of Divine Ascent" (edisi ke-1982). Paulist Press. hlm. 44-45,48. ISBN 0-8091-2330-4.
- ^ a b (Inggris) St. John Cassian, "Conference 9 - The First Conference of Abbot Isaac. On Prayer", dalam Philip Schaff, Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Vol. 11 (edisi ke-1894, Revised and edited for New Advent by Kevin Knight), Christian Literature Publishing Co. (Translated by C.S. Gibson)
- ^ (Inggris) Ioannes Paulus II (17 April 2005). "Message of His Holiness Pope John Paul II for The 42nd World Day of Prayer for Vocations". Libreria Editrice Vaticana.