Djoko Kahiman
R. Djoko Kahiman adalah Bupati Banyumas pertama dari tahun 1582 sampai 1583.[1]
R. Djoko Kahiman | |
---|---|
Adipati Banyumas ke-1 | |
Masa jabatan 6 April[2] 1582 – 1583 | |
Pendahulu Jabatan baru | |
Informasi pribadi | |
Hubungan | Raden Aryo Baribin (kakek) Ny. Retno Pamekas (nenek) Kiai Sambarata (paman) Ny. Roro Aisyah (bibi) |
Anak | Merta Sura I |
Orang tua | Raden Banyak Sosro (Ayah) |
Sunting kotak info • L • B |
Silsilah
suntingMelacak garis keturunan dari kakeknya, Raden Aryo Baribin, ia merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit. Di sisi lain, melalui garis keturunan neneknya, Ny. Retno Pamekas, ia berasal dari Kerajaan Pajajaran. Raden Aryo Baribin dan Ny. Retno Pamekas memiliki empat orang anak, tiga putra dan satu putri. Ayah Raden Djoko Kahiman, yang bernama Raden Banyak Sosro, memerintah di Kadipaten Pasir Luhur dan merupakan salah satu dari anak-anak mereka. Namun, Raden Djoko Kahiman kehilangan ayahnya saat masih kecil, dan kemudian dibesarkan oleh pamannya, Kiai Sambarata, serta bibinya, Ny. Roro Aisyah.
Perjalanan Hidup
suntingRaden Djoko Kahiman dibesarkan oleh bibi dan pamannya di padepokan yang terletak di hutan Kejawar. Di padepokan tersebut, Raden Djoko Kahiman dilatih dalam ilmu agama dan ketatanegaraan oleh pamannya. Setelah merasa ilmunya cukup, Raden Djoko Kahiman yang masih muda memutuskan untuk mencari peruntungan. Perjalanan panjang membawanya ke Kadipaten Wirasaba (yang kini dikenal sebagai Kabupaten Purbalingga), di mana beliau berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai abdi dalem yang bertugas mencari rumput.
Seiring waktu, pada suatu malam yang dikatakan Jum’at Kliwon, ketika semua abdi tengah terlelap, tubuh Raden Djaka Kahiman tiba-tiba memancarkan cahaya terang benderang. Pada saat yang sama, Adipati Wirasaba yang sedang melakukan inspeksi mendapati kejadian tersebut dan dengan inisiatifnya, beliau memberikan tanda dengan cara merobek kain sarung Raden Djoko Kahiman.
Pada pagi harinya, seluruh abdi dihadapkan kepada Adipati untuk ditanya siapa di antara mereka yang sarungnya robek. Raden Djoko Kahiman kemudian menjawab, "milik saya, Gusti, namun maaf, saya tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi." Selanjutnya, Raden Djoko Kahiman dipanggil secara pribadi oleh Adipati. Dalam pertemuan itu, ia ditanya dengan detail hingga akhirnya terungkap bahwa ia adalah keturunan bangsawan, putra dari penguasa Kadipaten Pasir Luhur. Setelah terungkap bahwa Raden Djoko Kahiman adalah putra Adipati Pasir Luhur, Adipati Wirasaba kemudian mempertunangkannya dengan putrinya yang bernama Roro Ayu Kartimah.
Beberapa tahun setelah menjadi menantu Adipati Wirasaba, seorang utusan dari Kesultanan Pajang datang membawa perintah yang menyatakan bahwa setiap adipati harus mengirimkan satu putri mereka ke Pajang. Namun, putri yang dikirim dari Adipaten Wirasaba ke Pajang sejak kecil telah bertunangan dengan Demang Toyareka. Merasa sakit hati, Demang Toyareka pun berangkat ke Pajang untuk mendahului Adipati Wirasaba. Setibanya di Kesultanan Pajang, ia menghadap Sultan Hadiwijaya dan menyebar fitnah. Ketika Adipati Wirasaba tiba di Pajang, tanpa kesempatan untuk bicara, ia langsung mendapat kemarahan Sultan Hadiwijaya dan diperintahkan untuk kembali ke Wirasaba.
Ketika Adipati bersiap kembali ke Wirasaba, ia beristirahat dan disuguhi jamuan oleh seorang teman di desa "Bener" (sekarang Purworejo). Sultan Hadiwijaya, mengira Adipati Wirasaba telah berbohong, memerintahkan dua prajuritnya untuk mengikuti dan membunuhnya. Namun, setelah menanyakan langsung kepada putri Adipati dan mendengar kebenaran dari mulutnya, Sultan Hadiwijaya sangat menyesal atas kemarahannya terhadap Adipati. Akhirnya, Sultan Pajang mengirim dua prajurit lain untuk mencegah pembunuhan Adipati Wirasaba oleh prajurit yang telah diutus sebelumnya.
Namun hal yang tidak diinginkan terjadi, antara prajurit utusan yang pertama dan kedua mengalami salah komunikasi. Karena komunikasi itu dilakukan dari kejauhan, jadi utusan yang kedua mengisyaratkan untuk tidak membunuh sang Adipati, akan tetapi utusan pertama yang berada dekat dengan Adipati menangkap isyarat itu untuk segera membunuh Adipati. Pada saat Adipati sedang makan oleh utusan pertama langsung ditusuk dengan tombak. Kemudian antara utusan pertama dan kedua ini saling menyalahkan satu sama lainnya dan pada akhirnya bertengkar.
Sebelum wafat, Adipati memberikan tiga larangan kepada anak cucu orang Banyumas. Pertama, jangan pernah bepergian jauh pada hari Sabtu Pahing. Kedua, jangan pernah makan lauk pindang angsa. Ketiga, jangan membuat rumah balai malang. Larangan ini diucapkan karena Adipati pada saat itu sedang dijamu dengan makanan pindang angsa di hari Sabtu Pahing. Setelah itu, jenazah Adipati dibawa pulang ke kadipaten Wirasaba untuk dimakamkan.
Beberapa tahun setelah pemakaman Adipati Wirasaba, seorang utusan dari Kesultanan Pajang tiba membawa surat perintah yang menyatakan bahwa salah satu anak Adipati Wirasaba harus menghadap Sultan Pajang. Namun, tidak satupun anak Adipati Wirasaba yang bersedia menghadap Sultan Pajang, khawatir akan bernasib sama seperti ayah mereka yang telah meninggal. Mengetahui hal ini, Raden Djoko Kahiman menawarkan diri untuk pergi ke Pajang setelah berdiskusi dengan saudara-saudaranya, "Jika tidak ada kangmas yang bersedia, biarlah saya yang menghadap. Jika saya dibunuh, saya ikhlas, tetapi jika saya tidak dibunuh setelah sampai di sana, saya harap kangmas-kangmas tidak iri."
Setelah musyawarah, Raden Djoko Kahiman berangkat menuju Kesultanan Pajang. Ketika tiba di Pajang, beliau tidak dimarahi oleh Sultan, melainkan diberi hadiah dan diangkat kembali sebagai Adipati Wirasaba dengan gelar Kanjeng Adipati Wargo Utomo II. Gelar ini diberikan karena Kanjeng Adipati Wargo Utomo I adalah gelar dari Adipati Wirasaba sebelumnya, yang juga merupakan mertua Raden Djoko Kahiman.
Setibanya di Kadipaten Wirasaba usai audiensi dengan Sultan Pajang, Raden Djoko Kahiman mengadakan pertemuan kembali dengan kakak iparnya untuk melaporkan peristiwa sebenarnya. Hasil pertemuannya dengan Sultan Pajang, beliau tidak hanya terhindar dari hukuman mati tetapi juga diberikan mandat untuk melanjutkan kepemimpinan sebagai adipati di Wirasaba. Dengan demikian, Raden Djoko Kahiman adalah adipati ketujuh di Kadipaten Wirasaba. Pasca pertemuan tersebut, Raden Djoko Kahiman mengajak kakak iparnya untuk berdiskusi lagi. Beliau berkata, "Meskipun kita telah berdiskusi kemarin tentang hadiah dari Sultan Pajang, saya tidak ingin menikmati kemewahan ini sendirian," meskipun hadiah tersebut adalah hak mutlak Raden Djoko Kahiman dari Sultan Pajang. Namun, karena sifat mulia Raden Djoko Kahiman, beliau membagikan wilayah Kadipaten Wirasaba menjadi empat bagian untuk kakak iparnya dan dirinya sendiri. Keempat bagian wilayah tersebut yaitu:
- Wirasaba (lk. Purbalingga sekarang) diberikan kepada Ngabehi Wargawijaya[3],
- Banjar Petambakan (Banjarnegara) diberikan kepada Ngabehi Wirayuda [4],
- Merden (wilayah Cilacap) diberikan Ngabehi Wirakusuma[5], dan
- Kejawar (Banyumas) dikuasai oleh Djoko Kahiman sendiri.[6]
Selain menguasai Kejawarr, Djoko Kahiman diangkat menjadi pemuka (wedana bupati) bagi ketiga wilayah lainnya. Karena membagi empat wilayahnya, Djoko Kahiman juga dikenal sebagai Adipati Mrapat.
Pengukuhan Djoko Kahiman sebagai Adipati Wirasaba ke-7 oleh Sultan Hadiwijaya diyakini terjadi pada hari bulan 12 Rabi'ul Awwal 990 H atau 6 April 1582 M.[7]
Rujukan
sunting- ^ "Daftar Bupati Banyumas". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2024-11-10.
- ^ "Kabupaten Banyumas". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2024-10-04.
- ^ "Sejarah Singkat Wirasaba Hingga Karesidenan Banyumas (1/2)".
- ^ "Sejarah Singkat Wirasaba Hingga Karesidenan Banyumas (1/2)".
- ^ "Sejarah Singkat Wirasaba Hingga Karesidenan Banyumas (1/2)".
- ^ "Sejarah Singkat Wirasaba Hingga Karesidenan Banyumas (1/2)".
- ^ "Kabupaten Banyumas". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2024-10-04.
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Jabatan baru |
Adipati Banyumas 1852-1853 |
Diteruskan oleh: Merta Sura I |