Disinformasi pada abad ke-20
Disinformasi pada abad ke-20 telah dimulai sejak awal abad melalui propaganda dan penyebaran berita palsu dalam dunia kewartawanan. Pada awal abad ke-20, disinformasi dan propaganda dilakukan untuk tujuan politik. Selama berlangsungnya Perang Dunia I, praktik propaganda dan disinformasi terjadi di seluruh dunia. Disinformasi semakin sering terjadi ketika pada abad ke-20 ketika totaliterisme mengalami masa kebangkitan selama Perang Dunia II. Pada periode Perang Dingin, pembuatan berita palsu sebagai bagian dari propaganda dan disinformasi menjadi persaingan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Disinformasi pada awal abad ke-20 terutama menyebar melalui radio dan televisi. Keberadaan internet pada akhir abad ke-20 kemudian melipatgandakan risiko terjadinya disinformasi.[1] Pada akhir abad ke-20 juga terjadi kampanye disinformasi skala besar dengan beragam topik terutama berkaitan dengan manusia dan lingkungan hidup.
Sejarah
suntingDisinformasi telah terjadi sejak awal abad ke-20. Salah satu disinformasi yang paling awal pada abad ke-20 ialah Protokol Para Tetua Sion yang dibuat pada tahun 1901.[2] Pada awal abad ke-20, pemalsuan terjadi terutama dalam fotografi maupun foto jurnalistik dalam dunia kewartawanan. Pemalsuan ini menjadi bagian dari persaingan antara surat kabar dalam penyampaian berita. Pemalsuan dilakukan atas fakta-fakta yang dianggap tidak penting dalam pemberitaan, sedangkan fakta-fakta yang penting dalam pemberitaan diberitakan secara akurat.[3]
Selama berlangsungnya Perang Dunia I, praktik propaganda dan disinformasi terjadi di seluruh dunia. Berita palsu menjadi produk utama dalam praktik propaganda dan disinformasi.[4] Selama Perang Dunia I, Pemerintah Inggris memberikan motivasi kepada penduduknya melalui propaganda dan disinformasi sehingga bersedia melawan Jerman.[5] Disinformasi semakin sering terjadi ketika pada abad ke-20 ketika totaliterisme mengalami masa kebangkitan.[2] Pada dasawarsa 1930-an, Partai Buruh Nasional-Sosialis Jerman mengadakan konsolidasi kekuasaan dengan menggunakan teknologi media massa untuk menyebarkan paham stereotip rasial yang mendukung diskriminasi terhadap orang Yahudi.[5] Selama Perang Dunia II, Inggris mengadakan upaya disinformasi yang dikenal sebagai propaganda hitam dengan kampanye di seluruh wilayah Jerman Nazi. Disinformasi dilakukan dengan mempublikasikan berita benar tentang kamp konsentrasi Nazi tetapi sulit dipercaya oleh Blok Sekutu.[4]
Pada periode Perang Dingin, pembuatan berita palsu sebagai bagian dari propaganda dan disinformasi menjadi persaingan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Kedua negara ini masing-masing berperan sebagai pihak yang membuat laporan yang bersifat merugikan pihak lain.[4] Dua disinformasi terencana terjadi selama periode Perang Dingin. Disinformasi pertama ialah kampanye propaganda Uni Soviet yang berusaha menyalahkan Badan Intelijen Pusat atas Pembunuhan John F. Kennedy pada tahun 1963. Sedangkan disinformasi yang kedua ialah epidemi AIDS yang merupakan bagian dari Operasi Infeksi (1983–1987).[6]
Penerapan
suntingNegara-negara yang ada pada awal abad ke-20 memanfaatkan propaganda dan disinformasi untuk mencapai tujuan politik.[5] Selama Perang Dunia I, praktik propaganda dan disinformasi menghasilkan dan menyebarkan banyak berita palsu yang dibuat dengan sengaja oleh badan-badan resmi maupun semi-resmi yang terlibat dalam perang. Penyebaran berita palsu bertujuan untuk mengganggu stabilitas publik atau membentuk opini publik.[4]
Penyebaran
suntingPada abad ke-20, radio dan televisi merupakan sarana penyebaran informasi. Bersamaan dengan peningkatan akses terhadap informasi, penggunaan radio dan televisi juga menghasilkan penyebaran informasi yang tidak akurat termasuk terjadinya disinformasi.[7] Pada akhir abad ke-20, risiko disinformasi menjadi berlipatganda akibat adanya internet.[1]
Pada akhir abad ke-20 juga terjadi kampanye disinformasi skala besar. Topik yang dibahas dalam kampanya melipuit banyak hal antara lain perubahan iklim, energi nuklir, dampak migrasi dan penggunaan senjata oleh warga sipil. Selain itu, topik kampanye disinformasi skala besar juga meliputi makanan, nutrisi, asal-usul kehidupan, kesehatan, obat generik, penyembuhan atau asal usul penyakit serta vaksin.[8]
Referensi
suntingCatatan kaki
sunting- ^ a b Posetti, J., dan Matthews, A. (Juli 2018). Ireton, Cherilyn, ed. A Short Guide to the History of ’Fake News’ and Disinformation: A Learning Module for Journalists and Journalism Educators (PDF) (dalam bahasa Inggris). International Center for Journalists. hlm. 1.
- ^ a b Vilmer, dkk. 2018, hlm. 17.
- ^ Schudson dan Zelizer 2017, hlm. 1.
- ^ a b c d Schudson dan Zelizer 2017, hlm. 2.
- ^ a b c Flore, M., dkk. (2019). Understanding Citizens' Vulnerabilities to Disinformation and Data-Driven Propaganda, Case Study: The 2018 Italian General Election (PDF) (dalam bahasa Inggris). Luksemburg: Publications Office of the European Union,. hlm. 1. doi:10.2760/153543. ISBN 978-92-76-03319-6. ISSN 1018-5593. Ringkasan.
- ^ Vilmer, dkk. 2018, hlm. 17-18.
- ^ Bereskin, Cassidy (2023). Parliamentary Handbook on Disinformation, AI and Synthetic Media (PDF) (dalam bahasa Inggris). Commonwealth Parliamentary Association. hlm. 4.
- ^ Torrealba, M., dan Viloria, Y. (2023). "Disinformation in Venezuela: Media Ecosystem and Government Controls" (PDF). Pensamiento Propio (dalam bahasa Inggris) (58): 141.
Daftar pustaka
sunting- Schudson, M., dan Zelizer, B. (Desember 2017). "Fake News in Context". Understanding and Addressing the Disinformation Ecosystem (PDF) (dalam bahasa Inggris). Annenberg School for Communication.
- Vilmer, J-B J., dkk. (Agustus 2018). Information Manipulation: A Challenge for Our Democracies, Report by the Policy Planning Staff (CAPS) of the Ministry for Europe and Foreign Affairs and the Institute for Strategic Research (IRSEM) of the Ministry for the Armed Forces (PDF) (dalam bahasa Inggris). Paris: CAPS (Ministry for Europe and Foreign Affairs) dan IRSEM (Ministry for the Armed Forces). ISBN 978-2-11-152607-5.