Dewa dapur adalah salah satu dewa rumah tangga yang dipercaya dalam berbagai kebudayaan masyarakat dunia. Dewa Dapur erat kaitannya dengan penggunaan api atau perapian di suatu rumah tangga.

Dewa Dapur dalam Kepercayaan tradisional Tionghoa digambarkan bersama istrinya.

Kepercayaan terhadap dewa dapur di berbagai negara

sunting

Kepercayaan terhadap dewa rumah tangga di Korea berasal dari Shamanisme yang dipercaya oleh rakyat jelata. Dewa rumah tangga dinamakan Seongjusin, bertugas mengatur keberuntungan sekeluarga. Selain itu dewa dapur di Korea dinamakan juga Jowangsin.[1] Jowangsin dipercaya mengatur umur anggota keluarga dan keberuntungan mereka.[1] Ibu atau wanita tertua di rumah sering kali bertugas untuk memberikan sesajen kepada semua dewa-dewi rumah tangga pada bulan ke-10 kalender tradisional dan masing-masing dewa seperlunya pada hari-hari biasa.[1] Upacara-upacara besar rumah tangga dilakukan oleh seorang dukun, biasanya wanita. Tiap-tiap daerah di Korea mempunyai keunikan upacara tersendiri, yang diikuti oleh mantra-mantra maupun persembahan sesajen.

Kepercayaan Tionghoa

sunting

Penghormatan untuk dewa dapur dalam kepercayaan tradisional Tionghoa ini masih dapat dijumpai di rumah-rumah di Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, maupun komunitas Tionghoa di Indonesia. Altar dewa dapur diletakkan dekat tempat memasak (kompor) atau perapian berupa gambar sang dewa. Dewa dapur yang dinamakan Zao Jun ini adalah abdi Kaisar Giok. Dewa dapur ini sebelum Tahun Baru Imlek naik ke langit untuk melaporkan perilaku pemilik rumah dan keluarganya kepada Kaisar Giok. Agar dewa dapur memberi laporan yang baik, pemilik rumah menyuapnya dengan kue keranjang yang manis supaya apa yang dilaporkan yang manis-manis serta mulut sang dewa lengket susah berkata yang jelek. Ia pulang pada hari ke-4 dengan disiapkan sesajen berupa daging, buah-buahan dan kue-kue.

Jepang

sunting
 
Altar Kamado-gami di Jepang.

Dewa dapur di Jepang dinamakan Kamado-gami atau Kama no Kami.[2] Ia menghuni irori, perapian terbuka di rumah tradisional Jepang dan tempat-tempat lain di mana api dimanfaatkan.[2] Kamado-gami juga disebut sebagai dewa api, dewa pelindung pertanian, ternak dan keluarga.[3] Biasanya sebuah altar yang dihiasi gohei (kertas putih zigzag) dan jimat diletakkan dekat dengan kamado (kompor, perapian), namun bentuk pemujaan berbeda-beda menurut daerah.[3] Karena ia adalah bentuk sinkretis Shinto-Buddhis, ia dinamakan Kamado-gami dalam tradisi Shinto, sedangkan dalam tradisi Buddhis dinamakan Kōjin.[2] Pemujaan Kamado-gami/Kōjin telah lama dimulai sebelum kedatangan Buddhisme namun kemudian menjadi sinkretis. Di kawasan Tohoku, kamado-gami dinamakan juga dengan Kamaotoko.[3]

Suku Ainu menamai dewi dapur mereka Kamuy Fuchi yang bersemayam di perapian pusat di setiap rumah tangga.[4] Dewi dapur bertugas memberi penghangatan dan perlindungan kepada rumah dan api berperan sebagai gerbang menuju alam roh.[4] Dalam kepercayaan Ainu, dewi dapur membawa jiwa-jiwa baru dari api pada saat kelahiran dan mengantarkan arwah orang mati ke alam baka.[4] Kamuy Fuchi mengajarkan orang Ainu pertama berbagai keterampilan untuk bertahan hidup.[4]

Kepulauan Ryukyu

sunting

Pada agama pribumi Ryukyu, wanita diangkat sebagai pemimpin religius yang melaksanakan berbagai ritual untuk masyarakat.[5] Ritual sehari-hari di rumah dilakukan di perapian dapur di mana doa-doa untuk leluhur dilaksanakan oleh wanita tertua di rumah.[5] pada upacara bulanan untuk leluhur dan upacara pertanian sebagian besar dilakukan oleh saudara perempuan pemilik rumah.[5] Dewa pertama yang menerima persembahan sesajen adalah dewa dapur (fii nu kan).[5] Peran sebagai pemimpin upacara dijalankan hingga ia menghembuskan nafas terakhir dan kemudian diteruskan oleh menantu perempuannya atau wanita tertua di rumah tersebut.[5] Dewa dapur adalah dewa terpenting di dalam rumah tangga yang bertugas melindungi penghuninya. Dewa dapur ini harus mengetahui segala hal tentang penghuni rumah dengan cara diberi laporan secara rutin misalnya tentang kelahiran, pernikahan, pindah rumah, dan kematian.[5]

Dewa dapur bahkan masih dihormati di rumah-rumah moderen di sebuah rak di dinding sebelah utara dapur dalam bentuk pedupaan, sebuah vas kecil dengan ranting susuki, semangkuk sesajen bersisi garam, beras dan sake.[5] Dewa-dewa juga dapat disimbolkan dengan tiga batu kerucut dari pantai.[5]

Di Pulau Izena, batu-batu ini akan digantikan dengan yang baru saat pemimpin rumah tangga meninggal dunia.[5] Sementara itu di daerah lain, perapian dapur dari tanah dihancurkan dan dibangun kembali setelah kematian tokoh wanita tertua di rumah.[5]

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Women in Korean History 한국 역사 속의 여성들, Pae-yong Yi, Ewha Womans University Press, 2008. hal 91-92.
  2. ^ a b c Kitchen Dieties in Japan, both Shinto and Buddhist, onmarkproductions. Akses:04-02-2022.
  3. ^ a b c God of the Hearth (かまど神), japanese wiki corpus。 Akses: 04-02-2022.
  4. ^ a b c d Traditional Worship of the Ainu, tota. Akses: 04-02-2022.
  5. ^ a b c d e f g h i j Onarigami: Holy Women in the Twentieth Century, Monika Wacker. Japanese Journal of Religious Studies, Vol. 30, No. 3/4, Feminism and Religion in Contemporary Japan (Fall, 2003), pp. 339-359. Nanzan University.

Pranala luar

sunting