Determinisme dan pertanggungjawaban (hukum)

Determinisme dan pertanggung jawab hukum adalah dua hal yang berbeda namun memiliki kaitan yang cukup erat dalam teori hukum. Determinisme dapat diartikan sebagai suatu aliran filsafat yang berpendapat, bahwa semua amal perbuatan manusia telah ditentukan begitu rupa oleh sebab musabab terdahulu, sehingga manusia praktis tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut atas kehendaknya sendiri yang bebas. Dengan perkataan lain, dalam aliran tersebut manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat dan berkehendak.[1] Holbach berpendapat bahwa "Sebaliknya bahwa manusia itu tidaklah bebas" sama segala sesuatu yang ada di alam dunia ini, manusia sungguh-sungguh tidak luput dari determinisme dunia yang universal ini. Bagi Holbach orang yang mengatakan bahwa dirinya merasa bebas, pengakuan tersebut adalah suatu khayalan .[1] Dan sedangkan istilah dari pertanggung jawaban hukum merupakan Pertanggung jawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya)[2]

Konsep pertanggungjawaban hukum berhubungan dengan pertanggungjawaban secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang bertentangan dengan undang-undang. Menurut Hans Kelsen (1971: 95):[3] Sebuah konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab (pertanggungjawaban) hukum. Bahwa seseorang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia bertanggungjawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan. Biasanya, yakni bila sanksi ditunjukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek dari tanggungjawab hukum identik dengan subjek dari kewajiban hukum.[3] Dalam teori hukum umum, menyatakan bahwa setiap orang, termasuk pemerintah, harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa kesalahan. Dari teori hukum umum, munculah tanggungjawab hukum berupa tanggungjawab pidana, tanggungjawab perdata, dan tanggungjawab administrasi.[3]

Geneologi Pertanggung jawaban Hukum

sunting

Orang tidak dinyatakan bersalah atas perbuatannya kecuali motif yang melatarbelakangi perbuatannya juga salah (Actus non facit reum nisi mens sit rea'). Demikian bunyi maksim dalam tradisi hukum pidana common law. Tidak seperti ajaran monisme yang memadukan unsur alasan dan tindakan dalam mengevaluasi suatu tindak pidana, postulat di atas justru menghendaki adanya dualisme; yaitu menciptakan distingsi antara perbuatan lahiriah (actus reus) dengan kondisi bathin (mens rea) pelaku tindak pidana. Yang pertama merujuk pada suatu tindak pidana, sementara yang kedua adalah syarat bagi pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, dalam ajaran dualisme, bukti bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana tidak serta-merta mengimplikasikan ancaman pidana. Sebab, koneksi antara tindak pidana (actus reus) dengan pikiran yang melatarbelakanginya (mens rea) mesti ditautkan (concurrence) terlebih dahulu.[4]

Dalam proses pembuktian, actus reus merupakan unsur objektif sementara mens rea adalah unsur subjektif. Dikatakan objektif sebab actus reus merujuk pada suatu tindak pidana yang secara aktual-empiris terjadi (elemen eksternal); bersifat melawan hukum, serta menimbulkan kerugian (harm) bagi pihak lain. Misalnya, sebut saja, tindakan penyiksaan. Selain dikategorikan sebagai tindak pidana oleh hukum (asas legalitas), penyiksaan yang dilakukan oleh seseorang tentu menimbulkan kerugian bagi pihak korban, baik secara materil maupun imateril. Sedangkan mens rea disebut subjektif karena bermukim dalam benak pelaku (elemen internal); yakni dalam bentuk kesadaran (niat dan kehendak) dan pengetahuan. Dalam kasus penyiksaan, hal tersebut terejawantah melalui kesadaran (kehendak untuk menyiksa) dan pengetahuan pelaku (bahwa penyiksaan dapat merugikan seseorang).[4]

Penjajakan pada wilayah subjektif inilah yang menyebabkan lahirnya derivasi konsep-konsep, seperti: kesalahan (schuld), kesengajaan (opzet), kelalaian (culpa), dan kemampuan untuk bertanggungjawab atas suatu tindak pidana. Dalam pengertian yang paling umum, kesalahan dimaknai sebagai perbuatan yang, dilakukan baik dengan sengaja (dolus, opzet, atau intention) maupun alpa (culpa, nelatigheid, atau negligence), menimbulkan suatu pertanggungjawaban pidana. Hal ini karena kaitan antara kondisi psikis (jiwa/pikiran) pelaku dengan perbuatan (lahiriahnya) meniscayakan suatu pencelaan yang tidak dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Dengan kalimat lain, kesengajaan atau kelalaian, yang didalamnya memuat unsur pencelaan (secara moral), merupakan unsur-unsur kesalahan yang melegitimasi pertanggungjawaban pidana.[4]

Hukum pidana lebih lanjut menguraikan secara detil pengertian yang dimaksud dengan kesengajaan dan kealpaan. Kesengajaan yang dimengerti sebagai adanya "kehendak" seseorang untuk melakukan perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang, adalah pengertian menurut Wetboek Van Strafrecht tahun 1980. Sementara Memorie van Toelichting (MvT) memperluas muatannya, bukan hanya mencakup "kehendak" seseorang melainkan juga "pengetahuannya". Sebagaimana diungkapkan oleh Satochid Kartanegara, “seseorang yang melakukan suatu perbuatan Kejahatan dan Hukuman, dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatannya itu, serta harus menginsyafi atau mengerti (weten) akibat dari perbuatannya itu”.[5]

Dualisme (Cartesian) vis-à-vis Determinisme (Newtonian)

sunting

Asumsi ontologis (metafisika) subjek hukum yang berciri dualistis dilegitimasi oleh berbagai macam pandangan dunia; entah itu teologi, filsafat, maupun sains. Akan tetapi, sebagai suatu kesadaran yang khas di era moderen, pandangan dualisme berjangkar dalam paradigma Cartesian-Newtonian. Istilah tersebut merujuk pada suatu paradigma modern yang telah menyatu dan built‐in dalam berbagai sistem dan dimensi kehidupan, baik dalam kegiatan wacana ilmiah maupun dalam kehidupan sosial budaya sehari‐ hari. Paradigma ini dibangun atas dasar ontologi, kosmologi, epistemologi dan metodologi yang dicanangkan oleh dua tokoh penggerak modernisme, yakni Rene Descartes dan Isaac Newton.[6]

Dualisme Cartesian mulanya diajukan sebagai kritik atas konsep monisme dalam mengevaluasi suatu tindak pidana; suatu konsep yang tidak memilah secara tegas antara actus reus dan mens rea. Sebagaimana diutarakan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes, "bahkan anjing sekalipun membedakan antara ditendang dengan sekedar dilangkahi. Dengan perkataan lain, dualismecartesian hendak mengatakan, adalah tidak bermoral untuk menghukum orang yang berada dalam kondisi terpaksa. Juga, tidak adil jika kesalahan tidak dipilah (antara sengaja dan alpa), apalagi disamakan begitu saja dengan ketidaksengajaan. Itu sama saja dengan menvonis ketidakbebasan manusia.[7]

Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, kita mengandaikan begitu saja (taken for granted) perasaan pilihan bebas yang kita miliki. Kita mentaati hukum ketimbang melanggarnya, misalnya, karena kita berpikir rasional dan menimbangnimbang secara emosional (hasrat, keinginan dan emosi) sehingga merasa kitalah (agen) yang mengambil keputusan itu (bukan sebaliknya). Meski sains mengatakan bahwa faktor genetik, pola orangtua dalam mendidik, serta kondisi ekonomi-sosiallingkungan turut membentuk kepribadian, kita mengandalkan akal sehat dan hati nurani dalam mengambil keputusan sehingga ruang kebebasan (atau pilihan) tetap diandaikan ada. Itu sebabnya kita menvonis secara moral kesalahan (kejahatan) yang bertentangan dengan norma-norma, dan karenanya, melegitimasi pengenaan tanggungjawab hukum. Demikianlah cara kita dalam menghayati kehidupan, suatu psikologi rakyat (folk psychology) yang juga diadopsi oleh hukum pidana.[7]

Secara ilmiah, kenyataan tersebut dilegitimasi melalui bidang fisika quantum; suatu disiplin yang meneliti cara kerja partikel-partikel di level sub-atomik. Seorang fisikawan moderen, Werner Heisenberg, menjungkirbalikan keyakinan lama pandangan fisika tentang determinisme-newtonian. Melalui prinsip ketidakpastian (uncertainty principles), posisi dan kecepatan (velocity) partikel pada tataran subatomik justru digambarkan secara acak dan tidak pasti. Observasi, sementara itu, hanya mungkin jika disertai dengan interaksi atas objek mengingat pengamatan atas kondisi awal (initial condition) meniscayakan hasil-akhir yang berbeda. Singkatnya, mengutip perkataan Michio Kaku, "God does play dice".Temuan lainnya, dari seorang ahli biologi, Martin Heisenberg, menunjukan suatu proses ketidakpastian di dalam otak. Sirkulasi saluran ion dan synaptic vesicles di dalam otak, menurut Martin, terjadi secara acak dan karenanya tidak hanya ditentukan oleh rangsangan eksternal. Artinya, tetap ada ruang bagi kehendak yang diciptakan sendiri (self-generated).[8] Praktis, fakta-fakta ini menjadi basis sekaligus memverifikasi eksistensi kehendak bebas; yakni, suatu tindakan manusia yang tidak pasti dan penuh kemungkinan.[8]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Baharudin M., Baharudin (2017). "Rerfleksi Filosofis Tentang indeterminisme dan Determinisme". Repository Radenintan: 12. 
  2. ^ "INSPIRASI HUKUM". inspirasihukum.blogspot.com. Diakses tanggal 2022-08-21. 
  3. ^ a b c "Welcome to E-Journal Universitas Atma Jaya Yogyakarta - E-Journal Universitas Atma Jaya Yogyakarta". e-journal.uajy.ac.id. Diakses tanggal 2022-08-21. 
  4. ^ a b c Prof. Dr. H.R. Abdussalam, SH, MH., Adri Desas Furyanto, SH, MH. (2020). Teori Hukum. Jakarta: PTIK. 
  5. ^ Kabir, Syahrul Fauzul (1955). Kejahatan dan Hukuman. Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa. 
  6. ^ Susanto, Anton F. (2010). Ilmu Hukum Non-Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indsonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. 
  7. ^ a b Morse, Stephen J. (2007). "Determinism and the Death Folk of Psychology: Two Challenges to Responsibility from Neuroscience". Minnesota Journal of Law, Science and Technology. 9. 
  8. ^ a b Heisenberg, Martin (2009). "Is Free Will an Illusion?", Nature. Macmillan Publisher.