Danau Empangau
Danau Empangau adalah sebuah danau yang terbentuk dari kelokan (meander) sungai yang terputus akibat sedimentasi sehingga dikategorikan sebagai danau sungai mati (oxbow lake). Danau sungai mati sering pula disebut danau ladam atau tapal kuda karena bentuknya menyerupai alas kaki kuda. Danau ini berada pada sistem daerah aliran sungai Kapuas yang terhubung melalui anak sungai Empangau.[1]
Danau Empangau telah ditetapkan sebagai danau lindung melalui SK Bupati Kapuas Hulu pada tahun 2001. Terletak di desa Nanga Empangau, kecamatan Bunut Hilir, kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Danau Empangau memiliki luas 103,6 hektar dengan kedalaman 3-21 meter [2] dan berfungsi sebagai area konservasi ikan Silok merah atau Arwana superred (Schlerofagus formosus) sebagai ikan endemik danau Empangau.
Kondisi air di danau Empangau cenderung berwarna gelap (cokelat merah kehitaman) khas warna air gambut. Penetrasi cahaya yang masuk ke perairan danau ini juga rendah dan menjadikannya habitat yang cocok untuk ikan Arwana dan lebih dari 70 jenis ikan seperti toman (Channa micropeltes), jelawat (Leptobarbus hoevani), ringau (Datnoides microlepis), tapah (Wallago leeri), dan belida (Notopterus borneensis).
Akses
suntingUntuk menuju desa Empangau bisa ditempuh dari Putussibau menggunakan perahu cepat atau speed boat dengan lama perjalanan 3 jam dengan ongkos borongan Rp. 1.750.000, atau Rp. 250 ribu per orang.[3]
Masyarakat lokal
suntingDi sekitar Danau Lindung Empangau terdapat 1.747 warga yang tinggal menyebar di Dusun Empangau Hulu, Dusun Kuala Dua dan Dusun Pangelang. Mayoritas penduduk adalah suku Melayu dengan mata pencaharian nelayan, petani karet, petani kratom dan berladang.
Masyarakat sekitar danau Empangau yang mempraktikan pembangunan berkelanjutan akhirnya pada 16 November 2011, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menobatkan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Danau Lindung Empangau sebagai Juara I Tingkat Nasional.
Perlindungan hayati
suntingPerjuangan menyelamatkan kawasan Empangau dimulai sejak 1986 oleh tetua-tetua kampung karena banyaknya penangkapan ikan yang berlebihan. Pada 1997 saat kemarau melanda, banyak ikan arwana yang mati. Dilanjutkan pada 1998, seiring meningkatnya harga ikan arwana, maka diadakanlah rapat rukun nelayan untuk menyusun peraturan nelayan dan menegakkan hukum adat dengan fokus melindungi Danau Empangau mulai dari alat tangkap, waktu pemanenan, hingga tata ruang zona danau.[2][4]
Selanjutnya, di tahun 2000 mereka membeli tiga ekor anak arwana untuk dilepasliarkan. Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu kemudian mengapresiasi hal tersebut hingga lahirlah SK Bupati Kapuas Hulu Nomor 6 Tahun 2001 yang menetapkan 30 hektar dari total kawasan danau sebagai kawasan lindung berbasis pengetahuan dan kearifan lokal.[4]
Masyarakat membagi danau lindung menjadi tiga zona yaitu zona inti lindung, zona pemanfaatan khusus dan zona umum dengan luasan masing-masing, 14,45 hektar, 40,07 hektar dan 49,08 hektar. Zona ini akan membatasi masyarakat menangkap ikan. Zona inti lindung, tak boleh ada aktivitas hingga ada musim panen raya tiba setiap dua tahun sekali. Di zona umum, warga bisa memanfaatkan sehari-hari. Untuk zona pemanfaatan khusus, pemasangan jaring atau bubu hanya di wilayah tertentu yang sudah disepakati.
Tercatat pada 2009 kerapatan stok ikan saat musim hujan mencapai 21.922 ekor per hektar dibandingkan pada 2005 yang hanya 12.000 ekor per hektar.
Referensi
sunting- ^ "Melestarikan Kehidupan di Sungai Mati". Media Indonesia. 9 November 2016. Diakses tanggal 9 Maret 2024.
- ^ a b Saturi, Sapariah (2019-11-02). "Menjaga Silok Merah di Danau Empangau". Mongabay.co.id. Diakses tanggal 2022-09-24.
- ^ Cahyana, Ludhy (2019-08-29). "Mengenal Danau Lindung Empangau Habitat Siluk Merah". Tempo. Diakses tanggal 2022-09-24.
- ^ a b R, Rahmadi (2015-03-21). "Danau Lindung Ini Lahir dari Rahim Kearifan Masyarakat Empangau". Mongabay.co.id. Diakses tanggal 2022-09-24.