Bungkuisme adalah sebuah istilah dalam sistem politik yang pertama kali diperkenalkan oleh Sulaiman Mamar, sosiolog Bugis dari Universitas Tadulako di Palu pada tahun 2001,[1] yang merujuk kepada dampak dari pemilihan Bupati Kabupaten Poso yang baru, bersama dengan kesuksesan masyarakat Bungku dalam mendirikan Kabupaten Morowali. Hal ini dilaporkan telah membuat masyarakat non-Muslim Bungku serta warga yang beragama Kristen merasa terganggu.

Upaya nepotisme Muin Pusadan, Bupati Poso yang berasal dari Bungku dan menjabat pada periode tahun 1999 hingga tahun 2004, dengan menempatkan tokoh-tokoh yang berasal dari Bungku di dalam pemerintahan Kabupaten Poso, menimbulkan berbagai macam reaksi. Hal ini memunculkan sebuah lelucon di Sulawesi Tengah yang mengklaim bahwa kepanjangan PBB bukan lagi Perserikatan Bangsa-Bangsa, melainkan telah berubah menjadi Persatuan Orang Bungku (PBB/Persatuan Bungku-Bungku).

Sejarah

sunting

Momentum kenaikan tokoh yang berasal dari Bungku belum pernah terjadi sebelumnya secara historis, meskipun kejayaan Bungku dapat ditelusuri kembali sekitar 200 tahun sebelumnya. Pada tahun 1839, J.N. Vosmaer menggambarkan daerah ini sebagai permukiman yang dibentengi dan pusat perdagangan yang beroperasi secara independen dari pedagang Bugis dan Makassar yang sedang mencari siput laut yang dikumpulkan oleh para nelayan Bajau.[2][3] Sekitar tahun 1850-an, bagaimanapun, keterlibatan Bugis di daerah menyebabkan konflik Bungku dengan Sultan Ternate yang menghancurkan pemukiman pesisir di Bungku. Pedagang Bugis kemudian memperoleh pengaruh politik yang lebih besar di Sulawesi bagian timur, termasuk Bungku.

Pada awal tahun 1900-an, pemerintah Hindia Belanda menggolongkan Bungku sebagai daerah bawahan Ternate. Pada tahun 1908, Hindia Belanda mengklaim Bungku sebagai wilayah mereka dengan pusat administrasi yang terletak di Makassar dan kemudian di Manado pada tahun 1924. Peradaban di Bungku mulai sedikit berkembang pada abad ke-20, dengan meningkatnya jumlah kayu yang belum dimanfaatkan dan sumber daya alam lainnya dapat diekstraksi melalui jalan baru yang dibangun pada tahun 1980-an, yang diberi nama Jalan Nasional Trans Sulawesi. Tokoh dan pemimpin Bungku termasuk bupati masa depan menjadi politisi provinsi yang sukses dengan jaringan melalui Golkar dan Persatuan Mahasiswa Islam.

Kerusuhan Poso

sunting
 
Muin Pusadan, Bupati Poso tahun 1999 hingga 2004, tokoh sentral dalam politik Bungkuisme

Meskipun beberapa pengamat dari kerusuhan Poso telah berbicara tentang kondisi pra-konflik yang berlandaskan agama, yaitu "pembagian kekuasaan" dalam politik kabupaten, sebagian besar bupati pasca zaman kolonial adalah seorang Muslim dari pesisir Sulawesi atau dari Jawa.[a] Bupati beretnis Bungku yang diperjuangkan oleh gubernur baru, Aminuddin Ponulele, yang berterima kasih atas bantuannya dalam memobilisasi pendukung Golkar selama kampanye tahun 1999. Gubernur juga menanggapi tekanan dari pemimpin organisasi Muslim Al-Khairaat di Palu untuk menempatkan tokoh beretnis Arab di posisi Sekretaris Daerah Kabupaten Poso.[b] Damsik Ladjalani, seorang yang beretnis Arab adalah rekan dekat bupati Poso sebelumnya, Arief Patanga, dan salah satu mertuanya adalah produsen bagian senjata dengan hubungan bisnis untuk Pindad, pabrik amunisi pemerintah yang produknya muncul pada tahap selanjutnya dari konflik Poso.[c]

Pusadan sebagai Bupati Poso yang baru terus menjaga tindakan korupsinya di masa lalu tidak dapat 'disentuh', sementara dia menempatkan kerabatnya sendiri ke posisi yang menguntungkan. Anak sulungnya memiliki sebuah perusahaan kontrak bangunan, sementara anaknya yang lebih muda menjadi pemimpin asosiasi etnis lokal Bungku (Kerukunan Keluarga Bungku) untuk memfasilitasi operasi kontraktor di Poso.[4] Salah satu kontrak anak-anaknya adalah untuk merenovasi dan memperluas bangunan kantor bupati Poso, dalam rangka mengantisipasi kantor itu beralih fungsi menjadi kantor gubernur untuk provinsi baru yang diusulkan, Sulawesi Timur.

Bupati juga menempatkan sepupunya sebagai Kepala Kantor Pembangunan dan Kesejahteraan Bangsa (Kesbang) dari Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tengah, salah satu pihak utama dalam dana bantuan konflik Poso. Keponakannya ditempatkan sebagai pejabat di Departemen Transmigrasi. Mitra kontraktor ditunjuk sebagai direktur divisi pemerintah, seperti pendidikan atau transportasi, dan mereka diberikan kontrak perusahaan mereka sendiri untuk membangun sekolah-sekolah baru atau jalan. Beberapa dari mereka yang dipilih tidak selalu berasal dari Bungku, kesetiaan mereka kepada pemerintahan dibalas dengan penempatan mereka di posisi strategis. Damsik Ladjalani sebagai sekretaris kabupaten juga dimasukkan ke dalam posisi-posisi kunci, membuat lebih banyak dana yang tersedia untuk melobi pembentukan kabupaten baru, Kabupaten Tojo Una-Una, wilayah administrasi yang nanti akan dipimpinnya dengan menjadi bupati di masa depan.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Yang dimaksud adalah bahwa jika Bupati Poso dijabat oleh seorang Muslim, maka posisi Sekretaris Daerah atau jabatan eksekutif lainnya akan diberikan kepada tokoh Protestan untuk membuat pemerintah kabupaten lebih seimbang daripada tahun 1989. Lihat Suriadi Mappangara (2001) dan Rinaldy Damanik (2003).
  2. ^ Al-Khaira'at (juga ditranskripsikan menjadi Al-Khairaat atau Al-Khaerat), yang menjalankan sebuah jaringan besar dan populer dari madrasah dan sekolah Islam lainnya di Indonesia Timur, didirikan oleh migran campuran Bugis-Hadramaut, Al-Habib Sayyid Idrus bin Salim al-Juffrie, yang menetap di Palu pada tahun 1930. Foto-fotonya ditampilkan di banyak rumah masyarakat Muslim, dan posisinya digantikan putranya, yang menetap di Palu.
  3. ^ Perwira militer di Sulawesi mengatakan penggunaan senjata Pindad dalam Kerusuhan Poso tidak membuktikan keterlibatan TNI secara strategis, dan menyiratkan bahwa senjata tersebut dijual secara rutin di pasar gelap. Beberapa pesan di situs web Muslim juga mengklaim bangga atas penggunaan mereka terhadap senjata tentara yang diselundupkan di Poso.

Referensi

sunting
  1. ^ Mamar, Sulaiman (2001). Konflik dan Kekerasan. 
  2. ^ Velthoen, Esther; Acciaioli, Gregory (1993). Fluctuating States and Mobile Populations: Shifting Relations of Bajau to Local Rulers and Bugis Traders in Colonial Eastern Sulawesi. 
  3. ^ Velthoen, Esther (1997). Wanderers, Robbers and Bad Folk. Diakses tanggal 18 November 2016. 
  4. ^ Aditjondro, George (2004). Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya. Pro Patria. Diakses tanggal 18 November 2016.