Bollangi adalah sebuah Dusun yang masuk dalam wilayah Kabupaten Gowa tepatnya di Kecamatan Patalassang, Desa Timbuseng. Kira-kira berjarak 17 km dari Ibukota Kabupaten Gowa, Sungguminasa. Dusun Bollangi terdiri atas 4 Lingkungan yaitu Bollang 1, Bollangi 2, Bollangi 3 dan Bollangi 4. Dusun Bollangi dapat diakses melalui tiga jalur. Ketiga jalur tersebut adalah:

  1. Melalui Jalan Bollangi, yaitu poros Kecamatan Pattallassang ke Kecamatan Bontomarannu.
  2. Melalui Kompleks pemakamanan Tionghoa Bollangi,
  3. Melalui Poros Malino - Sunggumniasa
Gunung Bollangi tampak dari Dusun Teamate Desa Pallantikang

Dusun Bollangi merupakan daerah di lereng Gunung Bollangi dengan ketinggian sekirar 1000-1500 meter di atas permukaan laut. Dengan kondisi alam yang berada di lereng bukit, maka sebahagian besar penduduknya lebih mengandalkan hasil tanah sebagai sumber penghidupan yaitu bertani dan berkebun. Pekerjaan pertanian sawah mereka merupakan sawah tadah hujan sehingga praktis dalam setahun penduduk Dusun Bollangi hanya memperoleh hasil pertanian sawah sekirta 1 sampai 2 kali saja. Sedangkan untuk hasil perkebunan mereka mengandalkan hasil membuat gula merah yang berbahan nira enau, selain itu mereka juga mengadalkan buah-buah musiman seperti buah Dukuh, Langsat dan Rambutan.[1] Bollangi didiami oleh Orang Bugis yang merupakan masyarakat urban yang berasal dari Kabupaten Bone. Dulunya Bollangi ini di khususkan untuk orang Bugis Bone tapi sekarang sudah ada juga orang Makassar yang tinggal di daerah ini bahkan sudah banyak orang Bugis yang menikah dengan orang Makassar sehingga disini bisa menggunakan bahasa Bugis, dan bisa juga pakai bahasa Makassar.[2]

Asal usul bugis di Bollangi

sunting

Ketika Raja Gowa XI I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta menjadi raja pada tahun 1565 menggantikan saudaranya Karaeng Tunipallanga Ulaweng.[3] Upeti kerajaan Bone tidak kunjung datang. Sehingga, meyuruh 6 suro (orang suruhan) ke Bone untuk mengambil upeti tersebut. Setelah mendapatkan upeti dari Arung Pone ke-6 suro itu pamit untuk kembali ke tanah Gowa. dalam perjalanan salah satu suro itu mempengaruhi suro yang lainnya agar upeti tersebut dibagi rata saja dan diganti dengan pasir. Setelah sampai di Kerajaan Gowa, alangkah kagetnya raja ketika membuka upeti tersebut yang hanya berisikan pasir.

Raja Gowa I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta merasa tersinggung atas perlakuan Kerajaan Bone yang memberikan upeti pasir. Sehingga, dia memutuskan untuk menyerang Kerajaan Bone. Terjadilah pertempuran antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa yang menewaskan Raja Gowa I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta yang baru 40 hari menjadi Raja Gowa.

Akibat ketegangan yang terjadi di dua kerajaan tersebut, mayat Sombaya (I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta) yang masih berada di Bone akhirnya diantar ke Gowa oleh Kajao Lalido bersama kelima arung dengan menggunakan tandu dari sarung.

I Manggorai Daeng Mameta adalah anak dari Raja Gowa IX I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta yang menggantikannya mengucapkan terima kasih atas sudinya orang Bone mengembalikan jenasah tersebut.

Raja I Manggorai Daeng Mameta meminta kepada suruhan Kerajaan Bone agar dapat tinggal di tanah Gowa sebagai balas jasa yang telah mereka lakukan dengan berkata "Rierokku sareko Pakrasangang naniya tonja Pakrasangannu. Rierokku sareko tau naniya tonja taunnu. Naiya jiya punna lammorengasengmaki ri Butta Bigisi, Riniakku, Kusampakiki Arung Teko Ammantang ri Butta Gowa Nakipisakringi Tongi banbang dinginna butta Gowa" (Keinginanku memberikan wilayah/kampung, namun engkau juga memilikinya, keinginanku untuk memberikan orang/rakyat, namun engkau juga memilikinya. Namun demikian, sekiranya kalian semua ingin kembali ketanah Bugis, ku ingin agar Arung Teko sudi kiranya untuk menetap tinggal di Tanah Gowa untuk merasakan panas dinginnya tanah Gowa). Suruhan Kerajaan Bone (Arung Teko) menerima titah raja tersebut dengan mengajukan tiga syarat yaitu:

  1. Ku erokang erokku, Kugaukang gaukku,
  2. Tanisussung Pasarakku, Tani alle baratuku.
  3. Tani Pokai Uyung kayuku, tani alle jangang ganaku.

Selain tiga persyaratan tadi mereka juga menunjuk gunung Mallawi sebagai tempat tinggal mereka. Karena sebagian besar pengikut berasal dari daerah Wollo Langi Bone. Akhirnya nama daerah itu berubah menjadi Wollangi dan akhirnya berubah nama menjadi Bollangi seperti yang kita kenal saat ini.[4]

Jenasah I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta kemudian dimakamkan di Bukit Tamalate. Salah seorang pembesar dari Bone yang hadir adalah Arung La Moncong. Ia berpesan kepada pembesar dan rakyat Gowa kiranya besok lusa dia wafat agar dikubur disamping I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta . Betul, setelah Arung La Moncong meninggal dia di kubur di dekat makam I Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta.[4]

Mempertahankan kesukuan

sunting

Mempertahankan eksistensi keberadaan mereka dalam bidang pendidikan adalah dengan memberikan pelajaran-pelajaran tentang tata bahasa Bugis dalam keluarga mereka. Hal tersebut sangat memungkinkan karena bahasa ibu mereka adalah bahasa Bugis. Penuturan yang mereka lakukan dalam keseharian mereka adalah bahasa Bugis. Akan tetapi orang-orang Bollangi jika telah bergaul dengan orang luar Bollangi atau telah bersekolah setingkat SMA, mereka telah pandai berbahasa Makassar, begitupula dengan orang-orang tua sudah pandai menggunakan bahasa Makassar. Selain bahasa yang menjadi unsur utama dalam sebuah kebudayaan, maka unsur budaya lain yang menjadi identitas sebuah suku adalah upacara-upacara adat. Dalam tatanan masyarakat suku Bugis di dusun Bollangi berbagai macam upacara adat senantiasa diselenggarakan sebagai upaya untuk mendekatkan kembali masyarakat terhadap adat keBugisan mereka seperti Apaenre Nanre. Adat istiadat ini merupakan tradisi ini yang turun temurun dari nenek moyang di masyarakat Bollangi, tradisi ini dilakukan oleh sebagian besar warga bahkan orang-orang yang berada di luar pemukiman itupun sering kali berkunjung ke puncak gunung tersebut yang sering mereka sebut dengan “Appaenre Nanre”. Tradisi tersebut dilakukan saat seseorang atau sekelompok orang berniat untuk berkunjung ke puncak gunung tersebut. Selain niat, adapula warga yang berkunjung ke puncak gunung tersebut karena adanya janji atau nazar yang telah diucapkan. Misalnya seseorang bernazar jika anaknya lulus di suatu pekerjaan ia akan naik ke puncak gunung tersebut.[5]

Kekerabatan dan interaksi

sunting

Hubungan kekerabatan yang terjadi antara masyarakat Bugis dan Makassar di Bollangi menjadi salah satu faktor penting terwujudnya integrasi sosial. Berbicara mengenai kekerabatan tentu tidak akan lepas kaitannya dengan masalah pernikahan. Faktor kekerabatan adalah pengelompokan atas sejumlah orang yang masih berhubungan, baik karena keturunan maupun perkawinan yang mencakup identitas dan peranan yang digunakan oleh individu dalam berinteraksi di kehidupan sosial mereka. sistem kekerabatan terjadi karena keturunan dan perkawinan. Perkawinan antara suku Bugis yang mendiami Bollangi dengan suku Makassar sebagai penduduk pendatang membuat kekerabatan masyarakat di Bollangi ini menjadi luas. Ada pengokohkan rasa kebersamaan antara warga yang suku bangsanya berbeda menjadi semakin kuat. Dahulu kala di Bollangi hanya di khususkan untuk orang Bugis Bone dan masyarakat Mallawi saja tapi sekarang sudah banyak orang Makassar yang tinggal di daerah ini bahkan sudah banyak orang Bugis yang menikah dengan orang Makassar sehingga disini bisa pakai bahasa Bugis bisa juga pakai bahasa dengan demikian dapat diketahui bahwa hubungan kekerabatan yang terjadi akibat adanya perkawinan diantara masyarakat asli dan pendatang yang berbeda suku bangsa, menyebabkan terjadinya proses interaksi yang semakin meluas di antara kedua pasangan dan pihak-pihak keluarganya. Hubungan kekerabatan diantara mereka yang berbeda suku dan budaya pun dapat ditemukan pada Bollangi.[2]

Masyarakat Bugis Bollangi masih bersifat asosiatif dalam berinteraksi, di mana mereka masih saling menyapa antar warga jika bertemu di perjalanan atau pada saat berada dalam acara yang sama. Masyarakat Bugis Bollangi juga masih mengetahui silsilah keturunan keluarga setiap masyarakat yang berada didaerah itu kecuali orang yang memang merupakan pendatang yang menetap didaerah itu. Rasa kepedulian mengetahui silsilah itu merupakan kewajiban setiap masyarakat asli Bollangi agar kekerabatan mereka bertahan hingga anak cucu mereka. Dengan mengetahui silsilah keturunan mereka dapat memudahkan mengetahui seberapa dekat kekeluargaan mereka sehingga sangat mudah untuk kerjasama dalam berbagai bidang.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Muslim, Asrul (28 Oktober 2013). "Potret Masyarakat Suku Bugis di Dusun Bollangi Desa Timbuseng". Potret Masyarakat Suku Bugis. Diakses tanggal 05 Januari 2020. 
  2. ^ a b Ridha, Muh. Rasyid (2017). "INTEGRASI ORANG BUGIS DI KABUPATEN GOWA (Studi Sosiologi terhadap Orang Bugis Bone di Bollangi)". INTEGRASI ORANG BUGIS DI KABUPATEN GOWA (Studi Sosiologi terhadap Orang Bugis Bone di Bollangi). Diakses tanggal 08 Januari 2020. 
  3. ^ Tika, Zainuddin, dkk (2006). Profil Raja Raja Gowa. Makassar: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. 
  4. ^ a b Tika, Zainuddin (2009). Sejarah Pattallassang. Makassar: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. 
  5. ^ Mannan, Audah (2017). "TRADISI APPAENRE NANRE DALAM PERSPEKTIF AQIDAH ISLAM (Studi Kasus Masyarakat Desa Bollangi Kecamatan Pattalassang)". Ilmu Aqidah. 3.