Kesultanan Bone
Kesultanan Bone (Bugis: ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ ᨑᨗ ᨅᨚᨊᨛ, translit. Akkarungeng ri Bone) merupakan salah satu Akkarungeng (terj. har. 'kerajaan') yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Kesultanan Bone ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ ᨑᨗ ᨅᨚᨊᨛ Akkarungeng ri Bone | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
1300–1905 | |||||||
Bendera | |||||||
Ibu kota | Watampone | ||||||
Bahasa yang umum digunakan | Bugis (resmi), Makassar, Mandar, dll. | ||||||
Agama | Dari Tolotang berpindah ke Islam[1] | ||||||
Pemerintahan | Monarki, Akkarungeng | ||||||
Sultan, Arung Mangkaue ri' Bone | |||||||
Sejarah | |||||||
• Didirikan | 1300 | ||||||
• Ditaklukkan oleh Belanda | 1905 | ||||||
• Wilayahnya dijadikan Kabupaten Bone | 1905 | ||||||
| |||||||
Dalam Attoriolong ri Bone (ARB) di Perpustakaan Negara Berlin, dicatat La Tenri Tompo adalah orang yang membuka Bone sebagaimana juga diriwayatkan dalam Lontaraq Akkarungeng Sulsel (ARS) di bagian Bone halaman 62 dimana La Tenri Tompo sebagai Arung Tanete Riawang yang turun temurun melahirkan generasi sampai pada La Pattikkeng Arung Palakka yang menikahi We Pattanra Wanua Arung Majang yang merupakan putri dari La Ubbi, ManurungngE ri Matajang, ArungPone Bone Pertama
Sejarah
suntingSejarah Awal
suntingTerbentuknya kerajaan Bone pada awal abad XIV dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. We Pattanra Wanua, Saudara perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga. Di masanya, kerajaan Bone semakin luas berkat keberaniannya.
Perluasan kerajaan Bone ke utara bertemu dengan kerajaan Luwu yang berkedudukan di Cenrana, muara sungai WalennaE. Terjadi perang antara Arumpone kelima La Tenrisukki dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir dengan kemenangan Bone dan Perjanjian Damai Polo MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik militer di era itu kemudian ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong pada Arumpone ketujuh La Tenrirawe BongkangngE yaitu dengan membangun koalisi dengan tetangganya yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu dikenal dengan Perjanjian TellumpoccoE.
Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam. Namun Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale Matinroe ri Tallo, Arumpone ke-12. Pada masa ini pula Arumpone mengangkat Arung Pitu atau Ade' Pitue untuk membantu dalam menjalankan pemerintahan. Sebelumnya yaitu La Tenriruwa telah menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade' Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan wafat di sana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap dipertahankan.
Bone berada pada puncak kejayaannya setelah Perang Makassar, 1667-1669. Bone menjadi kerajaan paling dominan di jazirah selatan Sulawesi. Perang Makassar mengantarkan La Tenritatta Arung Palakka Sultan Sa'adudin sebagai penguasa tertinggi. Kemudian diwarisi oleh kemenakannya yaitu La Patau Matanna Tikka dan Batari Toja. La Patau Matanna Tikka kemudian menjadi leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan.
Sejak kejatuhan Kerajaan terbesar di timur Nusantara Kesultanan Gowa oleh gabungan Belanda dan bone, Bone menjadi penguasa utama setelah melepaskan diri dari pendudukan dan perbudakan Gowa dan berada di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666 sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte. Setelah perang beberapa kali dimulai pada tahun 1824, Bone akhir berada di bawah kontrol Belanda pada tahun 1905 yang dikenal dengan peristiwa Rumpa'na Bone.
Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, tetapi Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé.
Keagamaan
suntingRaja Bone ke-13, La Maddaremmeng (1631-1644) sangat meyakini ajaran Islam dan berusaha mematuhi semua syariat Islam secara murni. Ia berguru tentang Islam dari Qadi Bone bernama Faqih Amrullah. Rakyat Kesultanan Bone diwajibkan melaksanakan ajaran Islam secara patuh. Selama masa kekuasannya, ajaran Islam menyebar dan ditaati oleh penduduk dalam waktu relatif singkat. Salah satu ketetapan pada masa pemerintahannya adalah larangan perbudakan dan kemerdekaan bagi hamba sahaya. Tiap budak yang telah merdeka harus diberi upah yang sama seperti pekerja lainnya.[2]
Hubungan luar negeri
suntingKesultanan Buton
suntingKesultanan Bone dan Kesultanan Buton telah menjalin hubungan kekerabatan sebelum masa pemerintahan Raja Bone ke-15. Hubungan kekerabatan ini dikukhkan melalui filosofi pameo yang menganggap Kerajaan Bone sebagai negeri orang Buton dan Kesultanan Buton sebagai negeri orang Bone. Para calon raja Bone juga dikirim ke Kesultanan Buton sebagai perwakilan sebelum menjabat sebagai raja.[3]
Kesultanan Gowa
suntingKesultanan Bone dan Kesultanan Gowa selalu bertentangan dan saling bermusuhan satu sama lain. Kedua kesultanan ini memiliki pengaruh kekuasaan yang besar di wilayah Indonesia Timur. Hubungan keduanya menjadi semakin buruk setelah Hindia Belanda ingin menguasai wilayah Kesultanan Gowa. Konflik antara kedua kesultanan ini dimulai sejak abad ke-17. Ini ditandai dengan adanya suku Bugis dan suku Makassar di Bantaeng yang menjadi garis perbatasan. Kesultanan Bone menjadikan Bantaeng sebagai pintu masuk ke pusat Kesultanan Gowa di Makassar melalui laut.[4]
Penguasa Bone
suntingPenguasa Bone menggunakan gelar Arung Mangkaue' ri Bone yang artinya "Raja yang berkedudukan di Bone", biasa disingkat menjadi Arumpone, MangkauE, atau ArungE' ri Bone.
Daftar Arumpone
sunting# | Nama[5] | Foto | Penobatan | Turun tahta | Jangka waktu kekuasaaan |
Ref. |
---|---|---|---|---|---|---|
1 | Manurunge Ri Matajangna Bone Mata Silompoe |
1330 | 1365 | 35 tahun | [6] | |
2 | La Ummasa Petta Panre Bessie |
1365 | 1368 | 3 tahun | ||
3 | La Saliyu Korampelua | 1368 | 1470 | 102 tahun | ||
4 | We Banrigau Daeng Marowa Mallajange Ri Cina |
1470 | 1510 | 40 tahun | ||
5 | La Tenrisukki Mappajunge |
1510 | 1535 | 25 tahun | ||
6 | La Uliyo Bote-E Matinroe Ri Itterung |
1535 | 1560 | 25 tahun | ||
7 | La Tenrirawe Bongkange Matinroe Ri Gucinna |
1560 | 1564 | 4 tahun | ||
8 | La Inca Matinroe Ri Addenenna |
1564 | 1565 | 1 tahun | ||
9 | La Pattawe Daeng Soreang Matinroe Ri Bettu Dampang Bulukumba |
1565 | 1602 | 37 tahun | ||
10 | We Tenrituppu Matinroe Ri Sidenreng |
1602 | 1611 | 9 tahun | ||
11 | La Tenriruwa Sultan Adam Matinroe Ri Bantaeng |
1611 | 1616 | 5 tahun | ||
12 | La Tenripale Matinroe Ri Tallo |
1616 | 1631 | 15 tahun | ||
13 | La Maddaremmeng Matinroe Ri Bukaka |
1631 | 1644 | 13 tahun | ||
14 | La Tenriaji Arungpone Matinroe Ri Pangkep |
1644 | 1672 | 28 tahun | ||
15 | La Tenritatta Arung Palakka Daeng Serang Malampe-E Gemme’na |
3 November 1672 | 6 April 1696 | 23 tahun, 4 bulan, 3 hari | ||
16 | La Patau Matanna Tikka Matinroe Ri Nagauleng |
1696 | 1714 | 18 tahun | ||
17 | We Bataritoja Daeng Talaga Datu Talaga Arung Timurung Sultanah Zainab Zulkiyahtuddin |
1714 | 1715 | 1 tahun | ||
18 | La Padassajati Toappeware Petta Rijalloe Sultan Sulaeman |
1715 | 1718 | 3 tahun | ||
19 | La Pareppa Tosappewali Sultan Ismail Matinroe Ri Sombaopu |
1718 | 1721 | 3 tahun | ||
20 | La Panaongi Topawawoi Arung Mampu Karaeng Bisei |
1721 | 1724 | 3 tahun | ||
21 | We Bataritoja Daeng Talaga Datu Talaga Arung Timurung Sultanah Zainab Zulkiyahtuddin |
1724 | 1749 | 25 tahun | ||
22 | La Temmassonge Toappawali Sultan Abdul Razak Matinroe Ri Mallimongeng |
1749 | 1775 | 26 tahun | ||
23 | La Tenritappu Sultan Ahmad Saleh |
1775 | 1812 | 37 tahun | ||
24 | La Mappasessu Toappatunru Raisman Sultan Ismail Muhtajuddin Matinroe Rilebbata |
1812 | 1823 | 11 tahun | ||
25 | We Imaniratu Arung Data Sultanah Rajituddin Matinroe Ri Kessi |
1823 | 1835 | 12 tahun | ||
26 | La Mappaseling Sultan Adam Najamuddin Matinroe Ri Salassana |
1835 | 1845 | 10 tahun | ||
27 | La Parenrengi Arungpugi Sultan Ahmad Muhiddin Matinroe Riajang Bantaeng |
1845 | 1857 | 12 tahun | ||
28 | We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara Sultanah Ummulhuda Matinroe Ri Majennang |
1857 | 1860 | 3 tahun | ||
29 | La Singkeru Rukka Sultan Ahmad Idris Matinroe Ri Topaccing |
1860 | 1871 | 11 tahun | ||
30 | We Fatimah Banri Datu Citta Matinroe Ri Bolampare’na |
1871 | 1895 | 24 tahun | ||
31 | La Pawawoi Karaeng Sigeri Matinroe Ri Bandung |
1895 | 1905 | 10 tahun | ||
32 | La Mappanyukki Sultan Ibrahim Matinroe Ri Gowa |
16 April 1931 | 1946 | 15 tahun | ||
33 | La Pabbenteng Matinroe Ri Matuju |
1946 | 1951 | 5 tahun |
Keruntuhan
suntingPerlawanan Rakyat Bone terhadap Belanda pada tahun 1905 dikenal dengan nama RUMPA’NA BONE. Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Pendaratan tentara Belanda secara besar-besaran beserta peralatan perang yang sangat lengkap di pantai Timur Kerajaan Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), disambut dengan pernyataan perang oleh Raja bone tersebut. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat dukungan penuh dari anggota Hadat Tujuh serta Seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari pernyataan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae gugur diterjang peluru tentara Belanda. Gugurnya Petta Ponggawae (putranya sendiri) sebagai Panglima Kerajaan waktu itu, membuat Lapawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Bone).
Salah satu putra terbaik Tana Bone dalam peristiwa heroik itu adalah Arung Ponre, La Semma Daeng Marola atau lebih dikenal dengan nama Anre Guru Semma. Dia berasal dari Watapponre, sebuah perkampungan tua yang dahulu menjadi pusat pemerintahan “kerajaan” Ponre. Pada zaman dahulu ketika Kerajaan Bone belum terbentuk, Ponre adalah sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Matowa atau Arung seperti halnya kerajaan-kerajaan kecil lain yang kemudian sama-sama melebur dalam kerajaan Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-3 yaitu Lasaliyu Karampeluwa (1424–1496). Letaknya berada di puncak Bulu Ponre, sebuah gunung yang berada tepat ditengah-tengah antara Palakka, Ulaweng Bengo, Lappariaja, Libureng, Mare, Cina dan Barebbo, saat ini.
Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November 1905) Daeng Marola senantiasa mendampingi Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae melakukan perlawanan dengan taktik gerilya secara berpindah-pindah mulai dari Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng hingga ke pusat pertahanan terakhir Bulu Awo (perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja), tempat gugurnya Petta PonggawaE.
Dalam hikayat Rumpa’na Bone yang terkenal itu, disebutkan bahwa ketika para pimpinan laskar kerajaan Bone seperti Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat, Daeng Massere Dulung Ajangale dari Bone Utara, dan Arung Sigeri Keluarga Arungpone serta sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya gugur dalam pertempuran melawan armada Belanda yang sangat lengkap persenjataannya, laskar Bone dibawah komando Panglima Perang Petta Ponggawae terdesak mundur dan bertahan di Cellu. Pada tanggal 30 Juli 1905, tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya. Sepeninggal Panglima Perang Petta Ponggawae, laskar-laskar kerajaan Bone terpencar-pencar. Meski perlawanan masih terus berjalan terutama Laskar-Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando Latemmu Page Arung Labuaja. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda terus menyisir pusat-pusat pertahanannya.
Tanggal 2 Agustus 1905, tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta. Dalam bulan September 1905, Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya. Daeng Marola Arung Ponre serta sejumlah laskar pemberani terus mendampingi Petta Ponggawae dan La Pawawoi Karaeng Sigeri hingga di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja. Di Bulu Awo inilah, pada tanggal 18 November 1905, laskar Kerajaan Bone dibawah komando Panglima Petta PonggawaE kembali bertemu dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen dan terjadi pertempuran habis-habisan. Pada saat itulah, Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda.
Lapawawoi Karaeng Sigeri akhirnya ditangkap dan dibawa ke Parepare, seterusnya ke Makassar lalu diasingkan ke Bandung dan terakhir dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah dia MatinroE ri Jakarta. Pada tahun 1976, ia dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone sehingga selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Adapun La Semma Daeng Marola, ketika Bone benar-benar telah di kuasai oleh Belanda, mengurungkan niatnya untuk pulang ke kampung halamannya, Ponre. La Semma Daeng Marola Arung Ponre memilih tetap berada di Bajoe dan menghembuskan nafas terakhirnya disana sehingga disebutlah ia sebagai Anre Guru Semma Suliwatang Matinroe Ribajoe.
Referensi
sunting- ^ Media, Kompas Cyber (2021-05-01). "Kerajaan Bone: Letak, Sejarah, Masa Keemasan, dan Keruntuhan". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-16.
- ^ Patarai, Muhammad Idris (2016). Arung Palakka Sang Fenomenal (PDF). Makassar: De La Macca. hlm. 3. ISBN 978-602-263-089 0.
- ^ Dirman, La Ode (2018). Sejarah dan Etnografi Buton (PDF). Kendari: Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia Sultra. hlm. 96. ISBN 978-602-60719-1-0. [pranala nonaktif permanen]
- ^ Kaungan, Haliadi, dan Rabani, L.O. (2016). Jaringan Maritim Indonesia: Sejarah Toponim Kota Pantai di Sulawesi (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 36. ISBN 978-602-1289-43-3. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-04-21. Diakses tanggal 2021-02-14.
- ^ "Raja Bone dari Masa ke masa". Pemerintah Kabupaten Bone. 20 September 2013. Diakses tanggal 23 Mei 2018.
- ^ "Raja Bone Ke-1 Manurunge Ri Matajang, 1330-1365". Telukbone.id. 11 April 2018. Diakses tanggal 23 Mei 2018.[pranala nonaktif permanen]
Pranala luar
sunting- M. Pamulu (2018) Sejarah Kerajaan & Silsilah Raja-Raja Bone
- M. Hadrawi, et al. (2020) Lontara Sakke, Attoriolong Bone. Inninawa, Makassar.
- A. Palloge (1990) Sejarah Kerajaan Tanah Bone. Yayasan Al Muallim, Makassar.
- A. Gottleben (1845) Buginesische Textsammlung.Staatsbibliothek Zu Berlin Ms.