Waduk Gajah Mungkur

salah satu danau di dunia
(Dialihkan dari Bendungan Gajah Mungkur)

Waduk Gajah Mungkur (bahasa Jawa: ꦮꦝꦸꦏ꧀ꦒꦗꦃꦩꦸꦁꦏꦸꦂ, translit. Wadhuk Gajah Mungkur) adalah sebuah waduk yang terletak 6 kilometer di selatan pusat perkotaan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Waduk ini dibuat dengan cara membendung sungai terpanjang di Pulau Jawa, yakni Bengawan Solo. Waduk ini adalah waduk terakhir di Indonesia yang dibangun sendiri oleh Kementerian Pekerjaan Umum tanpa melibatkan kontraktor.[2]

Waduk Gajah Mungkur
NamaWaduk Wonogiri
LokasiWuryorejo, Wonogiri, Wonogiri, Jawa Tengah
KegunaanSerbaguna
StatusBeroperasi
Mulai dibangun1976
Mulai dioperasikan17 November 1981
Biaya konstruksiUS$ 111.056.000
PemilikKementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
KontraktorProyek Bengawan Solo
PerancangNippon Koei
Bendungan dan saluran pelimpah
Tipe bendunganUrugan
Tinggi30 m
Panjang830 m
Lebar puncak10 m[1]
Volume bendungan1.220.000 m3
Ketinggian di puncak142 mdpl
MembendungBengawan Solo
Jumlah pelimpah1
Tipe pelimpahOgee
Kapasitas pelimpah1.350 m3
Waduk
Kapasitas normal560.000.000 m3
Kapasitas aktif440.000.000 m3
Kapasitas nonaktif120.000.000 m3
Luas tangkapan1.350 km2
Luas genangan7.360 hektar[2]
PLTA Wonogiri
PengelolaPLN Indonesia Power
JenisKonvensional
Jumlah turbin2
Kapasitas terpasang12,4 MW
Produksi tahunan32.600 MWh
Peta
Waduk Gajah Mungkur

Waduk ini dinamakan Gajah Mungkur, karena terletak tidak jauh dari Pegunungan Gajah Mungkur di sisi barat waduk. Luas daerah tangkapan air (DTA) dari waduk ini mencapai 1.350 km2, dengan airnya dipasok oleh Bengawan Solo dan sejumlah anak sungainya, seperti Sungai Keduang, Sungai Tirtomoyo, Sungai Parangjoho, Sungai Temon, dan Sungai Posong. Luas genangan maksimum dari waduk ini mencapai 9.100 hektar[2] yang mencakup tujuh kecamatan, yakni Kecamatan Wonogiri, Ngadirojo, Nguntoronadi, Baturetno, Giriwoyo, Eromoko, dan Wuryantoro. Bendungan dari waduk ini dibangun di Desa Pokohkidul, Kecamatan Wonogiri.

Sejarah

sunting

Ide pembangunan waduk ini sebenarnya telah dikemukakan pada tahun 1941 oleh Ir. R.M. Sarsito Mangunkusumo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pekerjaan Umum Mangkunegaran di Surakarta, tetapi pembangunan waduk ini belum dapat dilaksanakan, karena kondisi dan situasi saat itu yang belum memadai.[3]

Hingga pertengahan dekade 1970-an, Bengawan Solo pun selalu meluap di musim hujan, sehingga menyebabkan banjir seluas sekitar 93.600 hektar. Tetapi, di musim kemarau, debit air Bengawan Solo tidak terlalu besar, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan air dari masyarakat sekitar. Pada tahun 1975, JICA pun mulai mengadakan studi kelayakan mengenai pembangunan waduk ini, dan JICA kemudian menunjuk Nippon Koei untuk merancang waduk ini. Waduk ini lalu dibangun sendiri oleh Kementerian Pekerjaan Umum mulai tahun 1976 melalui Proyek Bengawan Solo (PBS). Selain pembangunan waduk, juga dilakukan pembangunan saluran listrik udara dari Wonogiri hingga Wuryantoro, serta pemindahan kabel telepon sepanjang 44 kilometer dan jalan raya sepanjang 43,4 kilometer dari Wonogiri hingga Talunombo.[2]

Untuk memungkinkan pembangunan waduk ini, sekitar 41.369 orang warga yang tinggal di 45 desa di 6 kecamatan di Wonogiri pun harus dipindah. Sebagian besar kemudian mengikuti program transmigrasi ke Sumatera. Selain itu, untuk memungkinkan pemindahan jalan raya, tanah seluas 10.156 hektar juga harus dibebaskan. Ganti rugi atas tanah-tanah tersebut pun diberikan secara bertahap untuk menghindari terjadinya fenomena "kaya mendadak". Bendungan dari waduk ini kemudian dibangun di dekat pertemuan antara Bengawan Solo dengan Sungai Keduang. Waduk ini lalu mulai diisi pada bulan Juli 1981, dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 17 November 1981. Pembangunan waduk ini menghabiskan biaya sebesar US$ 111,056 juta atau sekitar Rp 69,5 milyar saat itu.[2]

Pada tahun 1987, terjadi musim kemarau panjang, sehingga pola operasi PLTA dari waduk ini harus disesuaikan atas izin dari Gubernur Jawa Tengah, agar kebutuhan air irigasi tetap dapat terpenuhi. Musim kemarau panjang juga kembali terjadi sepuluh tahun kemudian.[2]

Sedimentasi

sunting

Waduk ini direncanakan berumur 100 tahun. Namun, terjadinya sedimentasi menyebabkan umur waduk ini diperkirakan tidak akan selama itu. Jasa Tirta I sebagai pengelola waduk ini pun berupaya semaksimal mungkin untuk merawat waduk ini, antara lain dengan melakukan pengerukan sedimen dan sampah, terutama yang menumpuk di depan lubang pengambilan air (intake) dari PLTA.[2]

Sedimentasi yang terjadi di waduk ini salah satunya disebabkan oleh parahnya kerusakan DAS Bengawan Solo.[4] Pernah dilakukan penghijauan di sekeliling waduk ini dengan menggunakan pinjaman dari Bank Dunia, tetapi sedimentasi tetap terjadi, karena adanya perubahan fungsi lahan di bagian hulu Bengawan Solo.[2]

Pada tahun 2003, untuk mencegah terjadinya penyumbatan terhadap lubang intake dari waduk ini, dengan menggunakan hibah dari pemerintah Jepang, antara lain dilakukan pembersihan terhadap sampah dan sedimen yang menumpuk di depan lubang intake, serta perbaikan terhadap pintu dan katup pengambilan air.[2]

Sedimentasi juga disebabkan oleh perubahan kegiatan masyarakat di sekitar waduk ini. Awalnya masyarakat hanya menanam sayur, tetapi kemudian mulai menanam tanaman sawah. Awalnya masyarakat hanya mencari kayu, tetapi kemudian mulai menebang kayu.[2]

Pemanfaatan

sunting

Dengan dibangunnya waduk ini, debit banjir maksimal Bengawan Solo dapat dikurangi dari 4.000 meter kubik per detik menjadi hanya 400 meter kubik per detik, sehingga wilayah seluas 11.000 hektar dapat terbebas dari banjir. Waduk ini juga direncanakan dapat mengairi lahan pertanian seluas sekitar 23.600 hektar di Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, dan Sragen. Air yang tertampung di waduk ini pun dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik melalui sebuah PLTA berkapasitas 12,4 MW yang dikelola oleh PLN Indonesia Power.[2]

 
Waduk Gajah Mungkur dari Bukit Gantole

Waduk Gajah Mungkur juga dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Di waduk ini, tersedia kapal yang dapat digunakan untuk mengelilingi waduk dan untuk memancing. Selain itu, tersedia juga wahana olahraga layang gantung (gantole). Terdapat juga taman rekreasi "Sendang" yang terletak 6 kilometer di selatan Kota Wonogiri. Pada musim kemarau, volume air waduk ini mengecil, sehingga sebagian dasar waduk dapat dilihat. Dasar waduk yang dapat dilihat tersebut pun dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk menanam tanaman semusim, seperti jagung.

Referensi

sunting
  1. ^ Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (1995). Bendungan Besar Di Indonesia (PDF). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. hlm. 142. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k Sinaro, Radhi (2007). Menyimak Bendungan di Indonesia (1910-2006) (dalam bahasa Indonesia). Tangerang Selatan: Bentara Adhi Cipta. ISBN 978-979-3945-23-1. 
  3. ^ Angoedi, Abdullah (1984). Sejarah Irigasi di Indonesia. Bandung: Komite Nasional Indonesia untuk ICID. 
  4. ^ "Jasa Tirta Kewalahan Atasi Sedimentasi Waduk Gajah Mungkur" Diarsipkan 2016-03-06 di Wayback Machine., tempo.co.id, diakses oktober 2011