Batintin, babondai, atau lagu gadang merupakan sastra lisan Minangkabau yang terdapat di 3 desa di Tanah Datar: Rao Rao, Kumango, dan Tabek. Sastra lisan ini berupa berbalas pantun. Ketiga desa tersebut menyebut sastra lisan ini dengan nama yang berbeda: di Kumango disebut dengan batintin, di Rao-Rao disebut dengan babondai, dan di Tabek disebut dengan lagu gadang.[1]

Tahun 1970-an, tradisi ini tidak ditemukan lagi di Desa Tabek.[1] Sementara itu, di Desa Rao-Rao dan Desa Kumango tradisi ini berubah menjadi sebuah pertunjukkan yang ditampilkan dalam pesta perkawinan. Namun, tradisi ini pun telah langka dipertunjukkan di kedua desa tersebut.[2]

Asal mula

sunting

Batintin pada mulanya merupakan kegiatan berbalas pantun oleh pemuda-pemuda desa yang sedang beronda malam atau bajago-jago. Kegiatan ini bermaksud untuk mengisi waktu dan menghilangkan kantuk. Dimulai dari pondok rundo (bahasa Indonesia: pos ronda), batintin berlangsung selama pemuda-pemuda mengelilingi desa sembari menjaga keamanan hingga kembali lagi ke pos. Kadang kala, batintin ini ditujukan pada gadis idaman si pemuda ketika melewati rumahnya. Bila beruntung dan si gadis belum tidur, si gadis akan membalas pantun tersebut dari beranda rumah.[1]

Pertunjukkan

sunting

Umumnya, batintin diadakan setelah Isya hingga menjelang subuh.[2]

Pertunjukkan batintin terdiri dari 2 kelompok, masing-masing beranggotakan 5 sampai 20 orang berusia 17 hingga 35 tahun. Kedua kelompok saling berhadapan dengan seluruh tubuh kecuali mata diselimuti sarung. Ini berfungsi untuk menutupi identitas diri agar tidak ada rasa malu antar pemain yang mungkin saja saudara mereka. Dengan demikian, pertunjukkan diharapkan dapat berjalan lancar. [2]

Untuk menambah kerahasian, pertunjukkan diadakan di halaman rumah atau lapangan terbuka tanpa penerangan. Penerangan biasanya berasal dari bulan bila sedang tampak.[2]

Pertunjukkan diawali dengan semua pemain berdiri. Setiap kelompok memiliki janang yang bertugas membuka pantun. Ketika janang telah berpantun, semua pemain berlajan melingkar dan melanjutkan membalas pantun secara bergantian. Setiap pemain meletakkan kedua tangan di bahu pemain di sebelahnya. Sementara itu, kaki digerakkan dua langkah ke depan dan satu langkah ke belakang untuk mengiringi pantun tiap-tiap pemain.[2]

Catatan kaki

sunting

Referesi

sunting

Lihat juga

sunting