Bakobar merupakan sastra lisan Minangkabau yang tersebar di Kabupaten Pasaman. Tradisi ini berbentuk pembacaan kaba yang didendangkan diiringi oleh alat musik rebana atau rebano berjari-jari 20 cm. Bakobar berfungsi sebagai hiburan atau pengajaran tergantung dari kaba yang disampaikan. Bakobar yang berfungsi sebagai pengajaran biasanya berpenonton pemuda-pemuda.[1] Tukang bakobar hampir pasti laki-laki dan belum pernah dijumpai tukang bakobar perempuan. Hal ini biasanya karena alasan agama Islam.[2]

Pertunjukkan

sunting

Bakobar diadakan di rumah-rumah penduduk bila untuk memeriahkan acara pesta perkawinan, upacara turun mandi, sunatan, dan halal bi halal. Selain itu, bakobar diadakan di tengah kampung bila untuk memeriahkan kedatangan orang-orang rantau yang pulang kampung bersama-sama atau untuk merayakan hari-hari besar Islam. Di tengah kampung ini, biasanya dibuatkan tempat khusus berupa gelanggang untuk pertunjukkan bakobar. Umumnya disediakan kasur khusus untuk pertunjukkan ini. Kasur ini berfungsi sebagai alas duduk tukang bakobar selama pertunjukkan.[1]

Pertunjukkan bakobar baru dimulai setelah isya.[1] Sebelum dimulai, tukang bakobar akan berkonsentrasi berdoa terlebih dahulu dan dilanjutkan minum air putih dingin. Pertunjukkan dibuka dengan permintaan maaf dan pengantar cerita. Setelah permintaan maaf selesai, rebana baru dibunyikan.[2] Pertunjukkan berlangsung hingga subuh untuk istirahat sekitar 30 sampai 60 menit. Waktu istirahat ini biasanya digunakan tukang bakobar untuk berbalas pantun dengan penonton. Setelah subuh, pertunjukkan dilanjutkan hingga pukul 8 pagi.[1]

Ketika bakobar, tukang bakobar dibantu oleh 10 orang janang. Janang ini bertugas memperkuat suara tukang bakobar, terutama dalam menyuarakan akhir suku kata di setiap kalimat.[2] Ketika istirahat, janang ini jugalah yang menguji kemampuan berbalas pantut tukang bakobar bersama dengan penonton.[3]

Kepercayaan

sunting

Dalam bakobar, terdapat kepercayaan akan perlunya pamaga diri (bahasa Indonesia: pagar diri). Pamaga diri ini bersifat magis yang bertujuan agar tukang bakobar terhindar dari ganguan ketika bersuara. Gangguan ini dikenal dengan istilah ditungkek berupa korek api panungkek lidah. Bila ditungkek, tukang bakobar dapat kehilangan suara. Gangguan ini biasanya dikirim oleh orang tidak dikenal dan sifatnya magis pula.[3]

Catatan kaki

sunting

Referesi

sunting
  • Amir, Adriyetti; Anwar, Khairil (2006). Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau. Padang: Andalas University Press. ISBN 979109708-9.