Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi (bahasa Jawa: ꦧꦧꦢ꧀ꦠꦤꦃꦗꦮꦶ, bahasa Indonesia: Sejarah Tanah Jawa) adalah sebuah sastra berbentuk tembang macapat berbahasa Jawa, yang berisi mengenai sejarah pulau Jawa.
Terdapat beragam susunan, isi dan tidak ditemukan salinan yang berusia lebih tua daripada abad ke-18. Dibuat sebagai karya sastra bertema sejarah yang berbentuk tembang. Sebagai babad dengan pusat zaman kerajaan Mataram, naskah ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa.
Naskah ini juga memuat silsilah cikal bakal raja-raja tanah Jawa, dalam naskah ini penulis memberikan relasi hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu sampai Islam di tanah Jawa.[1]
Naskah ini dipakai sebagai salah satu referensi dalam melakukan rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis dan tidak menjadikannya sebagai rujukan primer.[2]
Versi
suntingBabad Tanah Jawi dikelompokkan menjadi dua kelompok induk naskah:
- Pertama, induk Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh Carik Tumenggung Tirtowiguno (Carik Braja)[3] atas perintah Pakubuwana III. Induk ini telah beredar pada tahun 1788. Pada tahun 1874, Johannes Jacobus Meinsma menerbitkan versi gancaran (prosa) dari induk ini yang dikerjakan oleh Ngabehi Kertapraja.[4][5] W. L. Olthof pernah mereproduksi ulang versi Meinsma pada tahun 1941. Pada kedua versi tersebut, nama Ngabehi Kertapradja tidak dicantum.[6] Menurut Merle Calvin Ricklefs, versi Meinsma bukan sumber utama yang bisa diterima untuk riset sejarah, dan sebaliknya mengakui edisi Olthof.[7]
- Kedua, induk Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh Carik Adilangu II yang hidup di masa Pakubuwana I dan Pakubuwana II. Naskah tertuanya bertanggal tahun 1722.[6]
Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan, sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Dua peneliti dari Belanda, Dr. G.A.J. Hazeu dan Dr. Th. G. Th. Pigeaud, menyebut Babad Tanah Jawi bukan termasuk karya ilmiah. Selain tidak bisa dipertanggung jawabkan, juga tak bisa dipercaya karena bercampur dongeng berbasis pujangga (non ilmiah). Sementara, H. J. de Graaf menyebut, apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya peristiwa sejarah pada abad ke-18. Namun, untuk sejarah di luar era itu, de Graaf tidak menyebutnya sebagai data sejarah karena sarat dengan campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.
Menjelang Perang Dunia II, Balai Pustaka juga menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.
Penguasa Jawa menurut Babad Tanah Jawi
suntingEra Jawa Kuno
suntingKerajaan Kadiri
sunting- Prabu Gendrayana
- Prabu Jayapurusa
- Prabu Sariwahana
- Prabu Batara Aji Jayabaya
- Prabu Jaya Amijaya
- Prabu Jaya Amisena
- Prabu Aji Pamasa
Kerajaan Pengging
sunting- Prabu Pancadriya
- Prabu Anglingdriya
- Prabu Darmamaya
Kerajaan Janggala
sunting- Lembu Amiluhur
- Raden Panji
- Kuda Laleyan
- Prabu Banjaransari
- Prabu Mundingsari
- Prabu Sri Pamekas
Kerajaan Majapahit
sunting- Raden Sesuruh
- Raden Anom
- Raden Adaningkung
- Raden Hayam Wuruk
- Raden Lembu Amisani
- Raden Bratanjung
- Raden Alit atau Prabu Brawijaya
Era Jawa Pertengahan
suntingKerajaan Demak
sunting- Raden Patah (1478 – 1518)
- Pati Unus (1518 – 1521)
- Trenggana (1521 – 1546)
- Sunan Prawata (1546 – 1547)
- Arya Panangsang (1547 - 1554)
Kerajaan Pajang
sunting- Jaka Tingkir, bergelar Adiwijaya (1568 – 1582)
- Arya Pangiri, bergelar Awantipura (1583 – 1586)
- Pangeran Benawa, bergelar Prabuwijaya (1586 – 1587)
Kerajaan Mataram
sunting- Panembahan Senapati / R. Ng. Saloring Pasar (1586 – 1601)
- Anyakrawati / Sunan Krapyak (1601 – 1613)
- Anyakrakusuma / Sultan Agung (1613 – 1645)
- Amangkurat I / Sunan Tegalarum (1645 – 1677)
- Amangkurat II / Sunan Amral (1680 – 1702)
- Amangkurat III / Sunan Mas (1702 – 1705)
- Pakubuwana I / Sunan Ngalaga (1705 – 1719)
- Amangkurat IV / Sunan Jawi (1719 – 1726)
- Pakubuwana II / Sunan Kumbul (1726 – 1742)
- Amangkurat V / Sunan Kuning (1742 – 1743)
Era Jawa Baru
suntingPerjanjian Giyanti membagi wangsa Mataram menjadi dua kekuasaan, kepada Pakubuwana di Surakarta dan Hamengkubuwana di Yogyakarta. Sedangkan Perjanjian Salatiga membagi kekuasaan baru dari Pakubuwana, yaitu Mangkunagara.
Kesunanan Surakarta
sunting- Pakubuwana II / Sunan Kumbul (1745 – 1749)
- Pakubuwana III (1749 – 1788), mengakui kedaulatan Hamengkubuwana I sebagai penguasa setengah wilayah kerajaannya.
- Pakubuwana IV / Sunan Bagus (1788 – 1820)
- Pakubuwana V / Sunan Sugih (1820 – 1823)
- Pakubuwana VI / Sunan Bangun Tapa (1823 – 1830)
- Pakubuwana VII (1830 – 1858)
- Pakubuwana VIII (1859 – 1861)
- Pakubuwana IX (1861 – 1893)
- Pakubuwana X (1893 – 1939)
- Pakubuwana XI (1939 – 1944)
- Pakubuwana XII (1944 – 2004)
- Pakubuwana XIII (2004 – sekarang)
Kesultanan Yogyakarta
sunting- Hamengkubuwana I / Pangeran Mangkubumi (13 Februari 1755 - 24 Maret 1792)
- Hamengkubuwana II / Sultan Sepuh (2 April 1792 - 1810) periode pertama
- Hamengkubuwana III (1810 - 1811) periode pertama
- Hamengkubuwana IV / Sultan Besiyar (9 November 1814 - 6 Desember 1823)
- Hamengkubuwana V (19 Desember 1823 - 17 Agustus 1826) periode pertama
- Hamengkubuwana VI (5 Juli 1855 - 20 Juli 1877)
- Hamengkubuwana VII / Sultan Sugih (22 Desember 1877 - 29 Januari 1921)
- Hamengkubuwana VIII (8 Februari 1921 - 22 Oktober 1939)
- Hamengkubuwana IX (18 Maret 1940 - 2 Oktober 1988)
- Hamengkubawana X (7 Maret 1989 - sekarang)
Kadipaten Mangkunagaran
sunting- Mangkunagara I / Pangeran Sambernyawa (1757 - 1795)
- Mangkunagara II / di masa muda bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi (1795 - 1835)
- Mangkunagara III (1835 - 1853)
- Mangkunagara IV (1853 - 1881)
- Mangkunagara V (1881 - 1896)
- Mangkunagara VI (1896 - 1916)
- Mangkunagara VII (1916 - 1944)
- Mangkunagara VIII (1944- 1987)
- Mangkunagara IX (1987 - 2021)
- Mangkunegara X (2022 - sekarang)
Referensi
sunting- ^ Olthof, W. L. (2017). Floberita Aning, A. Yogaswara, ed. Punika serat Babad Tanah Jawi wiwit saking Nabi Adam doemoegi ing taoen 1647 [Babad Tanah Jawi: Mulai Dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647]. Diterjemahkan oleh Soemarsono, H. R. (edisi ke-5). Yogyakarta: Narasi.
- ^ L., Olthof, W. (2007). Babad Tanah Jawi, mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647 (edisi ke-Cet. 1). Yogyakarta: Narasi. ISBN 9789791680479. OCLC 220090178.
- ^ Bakir; Fawaid, Achmad (2017). "KONTESTASI DAN GENEALOGI"KEBANGKITAN" ISLAM NUSANTARA:KAJIAN HISTORIOGRAFIS BABAD TANAH JAWI". Jurnal Islam Nusantara. 1 (1).[pranala nonaktif permanen]
- ^ Molen, Willem van der (2011). Kritik Teks Jawa: Sebuah pemandangan Umum dan Pendekatan Baru yang Diterapkan Kepada Kunjarakarna. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 9789794617878.
- ^ Meinsma, Johannes Jacobus. "Poenika serat Babad tanah Djawi wiwit saking nabi Adam doemoegi ing taoen 1647": Kaetjap wonten ing tanah Nèderlan ing taoen Welandi 1941, Volume 2
- ^ a b Kertapradja, Ngabehi (2014). Babad Tanah Jawi: Edisi Prosa Bahasa Jawa (dalam bahasa jw). Penerbit Garudhawaca. hlm. 3. ISBN 978-602-7949-46-1.
- ^ "Babad Tanah Jawi: Mulai Dari Nabi Adam Sampai Runtuhnya Mataram". www.gramedia.com. Diakses tanggal 2020-12-18.
Pranala luar
suntingNaskah digital
sunting- Babad Tanah Jawi (1862) koleksi Perpustakaan Kongres Amerika Serikat no. DS646.27