Awaloeddin Latief
Awaloeddin Latief (14 September 1924 – 23 Februari 2005) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia pada masa PDRI. Ketika berusia 24 tahun, ia terlibat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari pendudukan Belanda yang kembali melakukan pendudukan yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II pada akhir tahun 1948.[1][2]
Awaloeddin Latief | |
---|---|
Lahir | Bawah Balai, Sungai Tarab, Batusangkar, Hindia Belanda | 14 September 1924
Meninggal | 23 Februari 2005 Jakarta | (umur 80)
Kebangsaan | Indonesia |
Dikenal atas | Pejuang kemerdekaan Indonesia |
Orang tua | Abdoel Latief Datuak Simaradjo (ayah) Salamah (ibu) |
Perjuangan
suntingSetelah Belanda berhasil menduduki Yogyakarta, mereka menyerang Sumatra Tengah, karena wilayah ini dijadikan basis perjuangan mempertahankan kemerdekaan setelah pimpinan republik yaitu Soekarno, Hatta, dan Syahrir ditawan oleh Belanda. Begitu gencarnya serangan Belanda ke wilayah Sumatra Tengah, sehingga para pejuang mengungsi ke pedalaman.[1][2]
Ketika masih di pedalaman, Awaloeddin pernah ditugaskan menyusup ke Bukittinggi yang tengah dikuasai Belanda. Ia ditugaskan mencari vaksin penyakit cacar untuk masyarakat yang dijangkiti penyakit tersebut di pedalaman. Ia masuk kota Bukittinggi dengan menyamar sebagai pokken bestrijder (pemberantas cacar). Tugas ini berhasil dilaksanakannya dengan baik. Tugas yang lebih berat pernah juga diembannya, yaitu ketika ia ditugaskan oleh Letnan Kolonel Dahlan Djambek untuk membentuk gerakan bawah tanah di kota Bukittinggi yang tengah dikuasai Belanda. Awaloeddin juga berhasil mengemban tugas ini dengan menyusupkan senjata dan keperluan lainnya dari kota Bukittinggi ke pedalaman untuk kebutuhan perjuangan gerilya. Namun suatu waktu ia tertangkap oleh pihak musuh. Ia pun ditahan dan mengalami siksaan yang kejam oleh pihak Belanda, sehingga sampai merusak kelelakiannya yang berpengaruh besar pada kehidupannya kemudian hari.[1][2]
Awaloeddin berhasil melarikan diri dari tahanan Belanda setelah ia menipu komandan dan opsir Belanda. Ia mengatakan bahwa pihak pejuang menguburkan 50 kilogram emas di sekitar Ngarai Sianok. Ketika ia dibawa ke ngarai itu, Awaloeddin meluncurkan dirinya ke tubir ngarai. Ia berhasil lolos. Pelarian ini ia lakukan karena ia tahu bahwa dirinya bersama teman pejuangnya yang lain akan dieksekusi mati.[1][2]
Kehidupan pribadi
suntingAwaloeddin Latief yang lahir di Kampung Bawah Balai, Sungai Tarab, Tanah Datar pada 14 September 1924, adalah putra dari Abdoel Latief Datuak Simaradjo (ayah) dan Salamah (ibu). Ayahnya berprofesi sebagai pengusaha pertanian yang cukup berada. Awaloeddin sempat menempuh pendidikan dasar di Batusangkar, Payakumbuh, dan Bukittinggi.[1][2]
Awaloeddin menjalani masa tuanya di Pulau Jawa. Sebagai penghargaan oleh negara, namanya tercatat sebagai veteran perang kemerdekaan, dan juga menerima penghargaan Bintang Gerilya pada tahun 1958 dan Piagam Veteran Pejuang Kemerdekaan RI pada tahun 1981. Ia juga sempat membuat memoar dengan judul Awaluddin Latief: kisah nyata pada masa revolusi; kepahlawanan, tragedi cinta dan pengorbanan yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1997.[1][2]
Awaloeddin meninggal dunia pada 23 Februari 2005 di Jakarta dalam usia lebih kurang 80 tahun. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.[1][2]