Ananggawarman adalah seorang raja di kerajaan Malayapura antara tahun 1375 sampai 1417.[butuh rujukan] Ia adalah putra sekaligus pewaris dari Adityawarman, sebagaimana tersebut dalam Prasasti Batusangkar. Setelah Ananggawarman, pengaruh kekuasaan Majapahit dan agama Hindu-Buddha berangsur-angsur menghilang di wilayah kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau.

Arti nama

sunting

Nama Ananggawarman berasal dari bahasa Sanskerta. Artinya kurang lebih ialah "Yang perisainya tak berbadan".

Masa pemerintahan

sunting

Menurut cerita adat (tambo) Minangkabau, Ananggawarman adalah anak dari Adityawarman dan Puti Reno Jalito. Ananggawarman menikah dengan Puti Reno Dewi, dan memiliki tiga orang putri yaitu Puti Panjang Rambuik, Puti Salareh Pinang Masak, dan Puti Bongsu. Ketiga putrinya kemudian menikah dengan para pemuka adat, yang kemudian membentuk kaum bangsawan Pagaruyung.[butuh rujukan]

Pada masa Ananggawarman,[1] kerajaan Majapahit mencoba menundukan kembali bhumi malayu, hal ini dimulai pada tahun 1409, Majapahit yang saat itu di bawah kekuasaan Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk), sempat mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menaklukkan negeri ini. Ananggawarman dapat mengalahkan pasukan tersebut dalam pertempuran yang diperkirakan terjadi di Padang Sibusuk, sebuah nagari di Kabupaten Sijunjung. Legenda-legenda Minangkabau menyebutkan peristiwa heroik ini.[2]

Setelah meninggalnya Ananggawarman, pengaruh kekuasaan Majapahit dan agama Hindu-Buddha berangsur-angsur menghilang di wilayah kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau.

Penerus Ananggawarman

sunting

Karena Ananggawarman tidak mempunyai seorang putera pun, maka sepeninggalnya Pagaruyung mengalami huru-hara politik yang hebat seiring dengan kurangnya dukungan rakyat Pagaruyung atau Minangkabau terhadap sistem politik warisan Ananggawarman.

Minangkabau sebagai wilayah budaya atau Pagaruyung sebagai wilayah kekuasaan di Minangkabau mengalami kevakuman selama lebih dari satu abad kemudian. Di zaman ini banyak rakyat yang melakukan migrasi ke berbagai daerah rantau akibat ketidaknyamanan hidup di Luhak sebagai pusat kekuasaan. Sebagian merantau ke Kubuang Tigo Baleh terus ke Lubuk Kilangan dan sekitarnya (sebagian besar wilayah kota Padang sekarang) dan ke wilayah utara Bandar Sepuluh, sebagian lain migrasi ke Sungai Pagu Muaro Labuh terus ke Bandar Sepuluh bertemu dengan rakyat Kesultanan Inderapura dan berbagai daerah lainnya.

Menurut Tambo Silsilah Raja-Raja Pagaruyung, penerus Ananggawarman adalah menantunya sendiri yang bernama Wijayawarman[3] atau bergelar Yang Dipertuan Maharaja Sakti I, suami dari Puti Reno Bungsu Silindung Bulan, putri bungsu Ananggawarman.

Polemik keberadaan kisah Bundo Kandung dan Cindur Mato diduga terjadi pada zaman kevakuman yang penuh misteri ini.

Referensi

sunting
  1. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail, (1998), Sejarah Melayu, the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.
  2. ^ A Dt. Batuah & A Dt. Madjoindo, (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
  3. ^ http://imansubud.blogspot.com/2013/05/adityawarman-di-tanah-minang.html
Didahului oleh:
Adityawarman
Raja Malayapura
1375–1417
Diteruskan oleh:
Wijayawarman

Lihat pula

sunting