Ama (Bahasa Jepang: 海人/あま; secara harafiah bermakna "orang laut", 海士; penyelam laki-laki, 海女; penyelam perempuan ) adalah kelompok masyarakat nelayan yang mahir dalam berbagai macam teknik menangkap ikan dan mengumpulkan makanan bawah laut.[1] Kemahiran mereka menjadikan ama sebagai kelompok nelayan yang bisa dibedakan dari nelayan biasa pada umumnya.[1] Ama pada dasarnya terdiri dari laki-laki dan perempuan, meskipun saat ini lebih sering diasosiasikan dengan perempuan. Asumsi bahwa ama adalah kelompok perempuan penyelam khususnya menyelam untuk mencari mutiara tidak sepenuhnya benar. Memang di daerah Shima, Prefektur Mie banyak perempuan yang terlibat dalam industri mutiara. Namun, hal ini tidak menjadikan kelompok ini sebagai kelompok yang ekslusif menyelam untuk mencari mutiara.[1]

海女(あま

Etimologi

sunting

Asal-usul istilah ama masih belum diketahui dan menjadi perdebatan. Nukada (1965) menyebutkan bahwa istilah ama awalnya bermakna "langit" atau "laut" sebelum sepenuhnya disematkan bagi kelompok nelayan penyelam.[1] Pendapat Nukada diaminkan penduduk di Kuzaki, Prefektur Mie. Menurut penduduk Kuzaki, nama ama berkaitan dengan asal-usul desa serta identitas mereka. Penduduk Kuzaki mengutarakan bahwa kata ama yang asli merujuk pada "langit" atau "surga", sekaligus merupakan potongan nama Dewi Matahari, Amaterasu (天照), salah satu dewi tertinggi dalam mitologi Jepang dan agama Shinto.[2] Mereka beranggapan bahwa kata ama pada dasarnya bukan istilah untuk menyebut kelompok nelayan. Kata ini berakar di daerah Kuzaki yang digunakan untuk menyebut diri mereka yang merupakan para pelayan Amaterasu yang berkedudukan di Kuil Besar Ise, Prefektur Mie.[2]

Pendapat masyarakat Kuzaki tersebut belum dapat dipastikan kebenarannya. Mengacu pada perkataan mereka, istilah ama ditujukan bagi laki-laki maupun perempuan. Untuk menyebut nelayan laki-laki, masyarakat Kuzaki menggunakan istilah ryoushi (ahli ikan). Sedangkan di Desa Chiba istilah ama hanya untuk perempuan sehingga Kanji yang digunakan adalah 海女.[2] Makna ama yang tidak tunggal ini bukan cuma soal perbedaan Kanji yang digunakan, melainkan berbeda pula antarsatu tempat dengan tempat lain dalam mendefinisikannya. Ama hanya sebagai kelompok penyelam perempuan biasa ditemukan dalam pustaka berbahasa Inggris.[2] Hal ini tidak dapat disalahkan karena walaupun terdapat penyelam laki-laki, di Kuzaki laki-laki umumnya baru menyelam dalam beberapa dekade terakhir saja. Sedangkan berpuluh-puluh tahun yang lalu, kegiatan menyelam dan mengumpulkan makanan bawah laut secara ekslusif dilakukan oleh perempuan.[2]

Sejarah

sunting

Banyak sumber yang mendukung bahwa ama merupakan salah satu budaya atau tradisi berusia ribuan tahun yang berkembang sejak Jepang kuno.[3] Nukada (1965) menyatakan bahwa tradisi ini telah ada dan bertahan lebih dari 2.000 tahun lamanya.[2] Argumentasi Nukada didasarkan pada penemuan arkeologi berupa gundukan kulit kerang (lihat: Kjokkenmoddinger) yang berasal dari Zaman Neolitikum. Kalland (1988) menyebutkan bahwa di gundukan kulit kerang yang ditemukan di Prefektur Fukuoka terdapat alat yang terbuat dari tulang paus dan menyerupai pisau yang digunakan kalangan nelayan dan ama untuk mencongkel kerang dari bebatuan dasar laut.[2]

Pada umumnya kelompok ama di Jepang dibedakan antara yang ada di Kyushu yang kemungkinan bermigrasi dari Korea dengan yang ada di pesisir Pasifik di Prefektur Mie dan Prefektur Wakayama. Kelompok ama di dua prefektur ini diduga sebagai kelompok ama yang asli.[4] Ide bahwa kelompok ama di pesisir Pasifik sebagai kelompok yang asli didasarkan pada hubungan spiritual mereka dengan Kuil Besar Ise serta Dewi Amaterasu.[4]

Catatan mengenai penyelaman sebagai teknik mencari ikan dan mengumpulkan makanan di Jepang Bagian Tengah didapat dari Zaman Dinasti Wei di Tiongkok antara 220-265 Masehi.[4] Catatan tersebut lebih kurang menyebutkan, "Mereka sangat mahir dalam mencari ikan, tak peduli seberapa dalam tempat tersebut. Mereka menyelam untuk menangkap ikan." Selain catatan Tiongkok, ama hampir tidak tercatat dalam Kojiki atau Nihongi. Baik sebagai kelompok nelayan atau penyelam, ama berkontribusi besar dalam rekonstruksi identitas bangsa Jepang modern sebagai bangsa pengonsumsi makanan laut. Namun, catatan tentang mereka dalam sejarah cukup menyedihkan dan marjinal.[4]

Pada Zaman Heian, ada puisi yang menuliskan kegiatan atau aktivitas yang kerap dikaitkan dengan kelompok ama, yaitu menyelam dan menyiangi air laut untuk mendapatkan garam. Dalam puisi yang terdapat dalam Manyōshū itu menggambarkan ama sebagai kelompok perempuan yang tangguh yang hidup secara sederhana dan bersahaja di sekitar laut.[5] Mereka digambarkan sebagai sosok-sosok yang romantis. Namun, pada abad ke-14 dan 15 pandangan tentang ama menjadi berubah, bukan sebagai sosok romantis yang sanggup membangkitkan nostalgia dan kerinduan, melainkan sebagai objek romansa itu sendiri. Hingga akhirnya ama dipandang sebagai kelompok perempuan seksi dan erotis.[5]

Label erotis pada penyelam perempuan kemungkinan berkenaan dengan asosiasi antara perempuan, air (dan laut), serta penciptaan masyarakat (genesis) di Jepang.[6] Laut dianggap sebagai perempuan, begitu pun dengan perahu dan dewi laut. Masyarakat Jepang awalnya memuja dewi laut sebelum akhirnya berpindah menjadi pemuja dewa-dewa di daratan yang direpresentasikan dengan pegunungan. Hal ini terjadi pada masa penyatuan Jepang di bawah keluar kaisar. Perpindahan ini juga tampaknya berkelindan dengan masuknya Buddha ke Jepang dari Kerajaan Baekje, Semenanjung Korea.[6]

Ama dan Perempuan

sunting
 
Ama dengan pakaian tradisional menyelam

Perempuan dianggap sebagai sosok paling ideal untuk menjadi ama karena kandungan lemak tubuhnya yang lebih tinggi.[7] Kandungan tersebut membantu mereka bertahan dalam suhu dingin mendekati beku saat menyelam ke dasar laut pada bulan-bulan musim dingin. Secara tradisional, perempuan di beberapa tempat di Mie dan Wakayama memulai pelatihan sebagai ama pada umur 12 tahun ditemani oleh keluarga yang lebih tua. Apabila berhasil dan bertahan mereka akan terus menyelam hingga usia 70 atau 80 tahun.[3]

Aktivitas

sunting

Awalnya ama tidak menyelam untuk mencari mutiara. Hal yang mereka cari adalah ikan dan makanan laut seperti tiram dan abalon. Namun, permintaan terhadap tenaga penyelam mutiara meningkat tajam saat Mikimoto Kōkichi menemukan metode pengembangbiakan mutiara pada 1863. Dalam rangka memproduksi mutiara, diperlukan irritant seperti bijih pasir untuk disusupkan ke dalam kerang. Ama akan menyelam untuk menyusupkan irritant tersebut ke dalam kerang dan menempatkan kerang-kerang tersebut secara hati-hati.

Peralatan dan Pakaian

sunting

Dahulu ama menyelam dengan pakaian seadanya, bahkan hampir telanjang. Pakaian tradisional untuk menyelam meliputi fundoshi (cawat) dan tenugui (badana).[3] Tenugui dipakai untuk melindungi rambut. Baru pada saat industri mutiara berkembang pesat ama mulai menggunakan pakaian selam serba putih yang menutupi seluruh tubuh. Bahkan setelah perkembangan industri mutiara pada 1863, sebagian penyelam tetap menyelam dengan hanya mengenakan fundoshi.[3]

Masa Kini

sunting

Setelah Perang Dunia II, Jepang menyaksikan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Sejak saat itu telah tersedia lebih banyak lapangan pekerjaan bagi perempuan. Pilihan lapangan pekerjaan yang lebih luas serta meningkatnya pendidikan di kalangan masyarakat yang mengenal tradisi ama menyebabkan jumlahnya terus turun.[3] Pada tahun 1950an, di seluruh Jepang ada lebih dari 17.000 ama, tetapi saat ini jumlahnya kurang dari 2.000 dan diperkirakan akan terus turun. Hal yang sama terjadi pada kelompok perempuan penyelam (Haenyeo) di Jeju, Korea Selatan. Aktivitas perikanan komersial dengan kapal-kapal dan peralatan modern secara umum mengancam kehidupan kelompok ini. Meskipun demikian, masih banyak ama yang aktif dan tidak meninggalkan teknik yang sejak lama mereka kenal. Mereka menggunakan teknik tersebut berikut kemahiran di laut untuk mengumpulkan makanan, sama seperti dulu sebelum adanya industri mutiara. Saat ini ama menjadi daya tarik wisata di Pulau Mikimoto yang sarat dengan industri mutiara.[7] Di pulau itu mereka biasa mengadakan demonstrasi atau pertunjukan menyelam. Hingga kini, hanya di Jepang dan Korea Selatan saja kita dapat menemukan kelompok nelayan penyelam tradisional yang mencari makanan laut tanpa peralatan modern.[8]

Pada 3 Oktober 2009 di Kota Toba, Prefektur Mie Forum Ama Pertama diselenggarakan.[9] Tujuan yang dicapai dalam forum tersebut adalah keinginan agar ama diakui sebagai warisan dunia nonbendawi.[10] Salah satu syarat agar dapat menjadi warisan dunia adalah harus diakui sebagai warisan nonbendawi tingkat nasional. Setelah forum ini terselenggara, Prefektur Mie sudah mendeklarasikan kelompok dan aktivitas ama di daerah Toba dan Shima pada Januari 2014. Beberapa bulan kemudian, pada Juni 2014, Prefektur Ishikawa juga mengakui kelompok dan aktivitas ama di wilayah Wajima sebagai warisan budaya tingkat prefektur.

Galeri

sunting

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d Martinez, D. P. (1957). Identity and Ritual in a Japanese Diving Village: The Making and Becoming of Person and Place. University of Hawai'i Press, Honolulu. hlm. 31. ISBN 0824826701. 
  2. ^ a b c d e f g Martinez, D. P. (1957). Identity and Ritual in a Japanese Diving Village: The Making and Becoming of Person and Place. University of Hawai'i Press, Honolulu. hlm. 32. ISBN 0824826701. 
  3. ^ a b c d e Shukla, Priya (8 Maret 2019). "Meet The Female Pearl-Divers of Japan: The 'Ama'". Forbes. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  4. ^ a b c d Martinez, D. P. (1957). Identity and Ritual in a Japanese Diving Village: The Making and Becoming of Person and Place. University of Hawai'i Press, Honolulu. hlm. 33. ISBN 0824826701. 
  5. ^ a b Martinez, D. P. (1957). Identity and Ritual in a Japanese Diving Village: The Making and Becoming of Person and Place. University of Hawai'i Press, Honolulu. hlm. 34. ISBN 0824826701. 
  6. ^ a b Martinez, D. P. (1957). Identity and Ritual in a Japanese Diving Village: The Making and Becoming of Person and Place. University of Hawai'i Press, Honolulu. hlm. 35. ISBN 0824826701. 
  7. ^ a b McCurry, Justin (24 August 2006). "Ancient art of pearl diving breathes its last: Japanese women who mine seabed one lungful of air at a time are last of their kind". The Guardian. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  8. ^ 済州の海女を紹介する写真、日本で展示へ Diarsipkan 2009-10-02 di Wayback Machine.(朝鮮日報日本語版 2009年10月1日)
  9. ^ 日本列島“海女さん”大集合 ~海女フォーラム~[pranala nonaktif permanen](鳥羽市)
  10. ^ 海女:「無形世界遺産登録を」三重・鳥羽でフォーラム Diarsipkan 2012-07-12 di Archive.is毎日新聞 2009年10月4日)… 参加した地域:岩手県久慈市小袖海岸千葉県南房総市白浜町石川県輪島市福井県坂井市三国町三重県鳥羽市、三重県志摩市徳島県美波町福岡県宗像市鐘崎長崎県壱岐市熊本県天草市韓国済州島

Pranala luar

sunting